Lihat ke Halaman Asli

Amirudin Mahmud

TERVERIFIKASI

Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Membangun Budaya Literasi

Diperbarui: 4 April 2017   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Perpustakan harus menjadi lokomotif minat baca (www.konfrontasi.com/)"][/caption]Anda mungkin  terkejut membaca sebuah laporan penelitian yang menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang dilakukan oleh  Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).

Hasil penelitian di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang  dilhat dan didengar dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis selasar.com 29-5-2015,  pada tahun 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Kita belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Kita belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis  belum mengakar kuat dalam budaya bangsa kita. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis.

Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi. Peserta didik belum tertanam kecintaan membaca. Bahkan guru dan dosen, tak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Itu bisa dibuktikan dengan  minimnya jumlah buku yang dimiliki mereka. Perpustakaan sekolah yang tak terawat dapat menjadi saksi bisu betapa civitas akademika itu jauh dari  budaya literasi.  Sebab itu, di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan  telah mengeluarkan peraturan menteri (Permen), yang mewajibkan para siswa membaca buku 10 menit sebelum jam belajar dimulai.

Taufiq Ismail pernah melakukan penelitian. Pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia 0 buku. Ini tentu memperhatinkan.

Apa budaya litersai itu?  Budaya  seperti disebutkan wikipedia.org diartikan sebagai sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan literasi dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu Negara.

Latar belakang

Kenapa kita belum terbiasa membaca menulis? Secara umum, berikut yang melatarbelakangi. Latar belakang ini dipahami sebagai sebuah kondisi yang ada dalam masyarakat. Pertama, kesadaran yang sangat rendah  tentang pentingnya membaca. Mereka beranggapan membaca hanya menghabiskan waktu. Membaca tak mendatangkan manfaat atau keuntungan. Lebih baik bekerja, jelas menghasilkan uang. Padahal bekerja apa pun membutuhkan bacaan. Bacaan yang terkait dengan pekerjaan tentunya. Keyakinan seperti itu juga ada di kalangan sebagian pelajar. Mereka membaca hanya saat jelang ujian. Sebab itu bermanfaat untuk mendapat nilai baik dari guru. Mereka tak mau membaca untuk kepentingan yang lain.  

Kedua, harga buku mahal, minim perpustakaan. Harga buku yang sangat mahal membuat tak banyak orang mampu membeli buku. Lebih dari itu, membeli buku tidak dianggap sebagai kebutuhan. Apalagi bila hal itu dibandingkan dengan kebutuhan pokok. Jelas, buku akan dikesampingkan. Membeli buku hanya saat kuliah, itu pun tidak semua mahasiswa melakukannya. Hanya sebagian kecil, mereka yang mampu dan gemar membaca. Kalau untuk siswa (Pelajar SD, SLTP,SLTA), mereka hanya mengandal buku paket.

Perpustakaan juga sedikit. Setiap kabupaten/kota hanya satu perpustakaan daerah. Tidak semua sekolah memiliki. Perpustakaan yang ada tidak terkelola secara baik. Stok buku terbatas, membuat perpustakaan sepi pengunjung.

Ketiga, penghargaan sangat minim terhadap karya tulis. Menulis tidak memperoleh apa-apa selain membuang waktu dan energi. Persepsi khalayak seperti itu bukan tanpa aslasan. Sebab dari munulis, secara materi apa yang diperoleh tak sebanding dengan keringat yang keluar. Itu gambaran keadaan dunia tulis menulis di negeri ini. Tidak ada penghargaan yang setimpal untuk para penulis.  Bangsa kita belum bisa menghargai karya ilmiah seperti menulis. Maka tak heran jika sedikit orang yang bercita-cita menjadi penulis. Hanya mereka yang memiliki idealisme tinggi yang mau menulis.

Solusi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline