Lihat ke Halaman Asli

Kudeta Negeri Baliho

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Genderang kompetisi politik telah ditabuh. Komunikasi politikpun kian bersuara lantang menyuarakan keinginan. Iklan politik pun mulai ramai di berbagai media. Baik media cetak, elektronik dan media luar ruang. Tak hanya para politisi yang berkeinginan duduk di lembaga legislative, namun sejumlah orang yang ingin duduk di eksekutif negeri ini pun mulai menunjukan identitasnya.

Ya, mereka adalah para pencari simpatisan rakyat. Mereka kini tengah berjuang untuk bisa dikenal rakyat dan bisa dekat dengan rakyat. Mereka punya harapan agar rakyat menaruh kepercayaan kepadanya dalam menjalankan tugas kenegaraan baik di legislatif maupun eksekutif. Dalam negara demokrasi, apa yang mereka lakukan sah-sah saja.

Tak hanya iklan media luar ruang, dunia periklanan secara umum pun diprediksi mengalami peningkatan hingga tahun 2014 mendatang. Bahkan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia Harris Thajeb, pada tahun 2013 potensi iklan diperkirakan mengalami pertumbuhan sekitar 18 % dari tahun sebelumnya. Dia memprediksi, kalau iklan politik akan mencapai puncaknya pada akhir tahun ini.

Semakin ramainya iklan politik sudah barang tentu menjadi berkah tersendiri bagi dunia periklanan. Dalam sebuah obrolan, beberapa kawan pengelola iklan media luar ruang mengaku kalau sejak pertengahan tahun ini pesanan iklan luar ruang terus mengalami peningkatan. Sejumlah atribut politik, seperti kaos, baliho, spanduk, banner, poster terus mengalami lonjakan.Bahkan, tak tanggung-tanggung ada yang berinfestasi ratusan juta rupiah untuk menyongsong pesta demokrasi 2014

Jika ditelurusi, denyut nadi sosialisasi dan pencitraan para calon peminpin negeri ini, mulai terasa setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 15 partai politik (Parpol) sebagai peserta Pemilu 2014. Selang beberapa bulan kemudian, pasca penetapan daftar calon sementar (DCS) calon legisltatif (Caleg) dunia periklanan luar ruangpun kian ramai dan semakin marak di jalanan.

Senyum paling manis

Di berbagai tempat kini mulai marak baliho (poster berukuran besar) wajah-wajah politisi yang menghiasi berbagai sudut pandang mata kita. Baik di jalan, taman, pepohonan, tempat ibadah, bahkan di makam, mulai bermunculan wajah politisi calon pejabat legislatif maupun eksekutif masa depan.

Ada juga yang menampilkan wajah dengan senyum paling manis, ada pula foto bersama dengan tokoh nasional, ada juga yang bergandengan tangan dengan rakyat kecil. Singkat kata, berbagai foto aktifitas yang bisa menimbulkan kesan positif akan terus menghiasi pemandangan hingga tahun depan. Saat musim politik tiba laju pertumbuhan poster, lebih cepat dari pertumbuhan penduduk.

Saat menjelang bulan puasa, banyak baliho, spanduk maupun benner dari politisi yang tampil "Islami" dan mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa ramadhan. Ucapan pun berlanjut, kini saat hari Raya Idul Fitri sebagian “politisi baliho" pun berganti tema dengan ucapan Lebaran yang dibarengi dengan permohonan maaf. Nampak dari mereka masih sebatas ”jualan wajah” belaka. Jarang dari mereka yang sudah menawarkan program secara kongrit, apa yang akan dilakukan saat menjadi legisltatif atau eksekutif.

Kalimat yang menyertai baliho pun masih sangat dangkal karena sama sekali tak menyinggung soal program. Namun patut di acungkan jempol, karena mereka telah berani mengklaim sebagai orang yang jujur, inspiratif, amanah dan berbagai sifat yang baik dan sempurna.

Apa yang mereka lakukan saat ini tak ubahnya sebuah iklan produk yang menawarkan berbagai kebaikan, kualitas dan manfaat yang ada padanya. Mereka menawarkan kebaikan hati, pengabdian yang dalam, keinginan melayani orang banyak dan janji untuk menjadikan kehidupan bersama yang lebih baik. Lantas apakah ucapan yang dituangkan dalam tulisan itu nantinya sesuai dengan kenyataan ... ? hanya Tuhan yang tahu.

Karena terkadang, apa yang mereka sampaikan malah menjadi tanda tanya besar terhadap perilaku mereka sesungguhnya. Benarkah mereka itu orang baik, benarkah mereka itu orang amanah, benarkan mereka orang inspiratif dan lain sebagainya. Saya yakin pertanyaan serupa, pasti muncul dari ribuan orang yang melihat wajah mereka terpampang di jalanan. Namun suka atau tidak suka, poster politisi dengan berbagai “wajah kebaikan” akan terus bertambah dan menjadi hiasan jalan dan tempat keramaian.

Selain poster yang berisi foto dan ”kebaikan”, di sisi lain banyak reklame politik dipasang "asal-asalan” dan tak terawat lagi. Ada juga, jika kandidat lain pasang poster di suatu tempat, dalam waktu yang tak begitu lama akan muncul gambar dari kandidat lain. Karena ingin lebih tampak, tak jarang mereka pun saling tindih untuk menutupi poster milik kompetitor.

Kudeta ”Negeri Baliho”

Yang jelas, apapun ungkapan mereka, mereka tentunya berharap agar apa yang dilakukan (pemasangan baliho, spanduk atau benner) sebagai upaya menjaring pemilih dan mencari dukungan.Lantas yang jadi pemikiran adalah, apakah cara-cara mereka yang dalam mengenalkan dirinya (jika berlebihan dalam mengumbar ungkapan) tidak malah menjadi titik balik yang merugikan diri sendiri.

Ibarat produk, politisi telah mengibaratkan dirinya sebagai produk yang dijual bebas di pasar terbuka. Apa yang dilakukan oleh politisi dalam “mengiklankan” dirinya sendiri melui poster bukanlah sebuah kesalahan. Yang salah adalah pemasangan dan penempatan poster yang sebagian besar tidak mengindahkan estetika. Tak hanya itu, banyak dari poster politik yang tidak terawat sehingga kondisinya berantakan.

Dibalik semaraknya baliho, spanduk, banner, poster dan alat peraga kampanye lainnya menghiasi jalanan, beberapa hari lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat peraturan yang sangat mengejutkan semua pihak. KPU melakukan revisi terhadap Peraturan KPU No 1 / 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD

Sudah barang tentu, peraturan KPU tersebut akan merombak tatanan komunikasi para calon legislatif maupun calon eksekutif di ”negeri baliho” saat ini. Karena, dalam draf peraturan tersebut dijelaskan, bahwa alat peraga kampanye tidak boleh ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.

Sementara itu, alat peraga berupa baliho, banner dan billboard hanya boleh dipasang oleh partai politik (peserta Pemilu). Bahkan, peserta pemilu hanya diperkenankan memasang alat peraga kampanye yang berbentuk baliho paling banyak 2 (dua) titik pada setiap kecamatan. Pembatasan ”ruang gerak” bagi Caleg dalam melakukan sosialisasi ini tentunya memiliki konsekuensi yang luas. Kini, para Caleg maupun Parpol dituntut untuk lebih inovatif dalam melakukan kampanye yang cerdas dan mendidik masyarakat.

Meskipun terjadi pro dan kontra, peraturan KPU tersebut sepertinya tetap akan dijalankan. Ya, kini ”negeri baliho” telah dikudeta oleh peraturan KPU yang akan menertibkan semua aktifitas kampanye. Meski dalam pelaksanaanya nanti, tergantung pada para penyelenggaran Pemilu yang ada di daerah, baik itu KPUD maupun Panwas yang didukung oleh aparat pemerintah daerah. Keberanian mereka dalam menegakkan aturan ini akan di uji oleh waktu. Apakah kita tetap akan berada di dalam ”negeri baliho” atau menjadi ”negeri” yang penuh dengan aturan.

Semoga saja, rakyat bisa memilih produk politik yang benar-benar berkualitas. Jangan sampai seperti ibaratnya rakyat membeli kucing dalam karung. Jangan bodohi rakyat dengan janji-janji dan citra yang semu. Namun didiklah rakyat agar mereka menjadi pemilih yang cerdas demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Pilihan tidak ditentukan oleh seberapa banyak seseorang memasang posternya. Namun sejauhmana tindakan riil mereka untuk bisa bertemu, bertegur sama, bertatap muka dan bercengkrama akrab secara langsung dengan konstituennya. Sebanyak apapun poster dipajang, jika tak pernah bertemu langsung dengan konstituen akan percuma dan hanya buang-buang uang saja.

Demokrasi hanya sebagai sarana. Demokrasi hanya sebuah proses dalam menentukan arah dan tujuan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik. Semoga saja, berserakkannya poster berbagai ukuran setidaknya menambah semarak dinamika demokrasi dan sebagai proses seleksi alamiah untuk bisa mendapatkan pemimpin yang terbaik bagi bumi pertiwi..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline