Lihat ke Halaman Asli

Bola Itu Bulat, Kawan...!

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

“Prestasi nol, konflik jalan terus”. Demikian ungkapan dari beberapa kawan penggemar sepak bola dalam melihat perkembangan persepakbolaan di tanah air. Rebutan kekuasaan sebagai pengendali sepak bola, sepertinya tak kunjung padam. Masing-masing kelompok mengklaim sebagai yang paling benar dan paling berhak mengelola sepak bola di tanah air.

Persoalan terakhir inilah yang menjadikan tanda tanya besar, sebenarnya ada apa dibalik pengelolaan sepak bola itu. Persoalan bisnis kah ...? Persoalan politik kah ...? atau persoalan gengsi kelompok tertentu yang ingin ”mencari sesuatu” dari audien massa penggemar olah raga sepak bola.

Meski konflik di PSSI sudah lama terdengar yang seakan berbanding terbalik dengan prestasi persepak bolaan itu sendiri. Prestasi di ukir timnas Indonesia pada ajang Sea Games 1991 di Manila, seakan menjadi prestasi akhir dari perjalanan PSSI. Karena setelah itu, konflik seakan membayangi perjalanan ogranisasi sepak bola ini. Mulai mafia wasit, pengaturan skor, kerusuhan suporter, hingga perebutan kekuasaan dan bisnis yang semakin menambah panjang konflik PSSI.

Sabagai satu-satunya wadah yang mengelola sepak bola, sudah barang tentu PSSI memiliki peran sentral dalam mengelola kompetisi yang berhubungan dengan jutaan massa penggemar olahraga bola. Posisi yang demikian inilah, menjadikan PSSI sebagai organisasi yang seksi untuk diperebutkan. Apalagi sepak bola ditargetkan sebagai sebuah industri yang didalamnya akan berlaku hukum ekonomi yakni ”mencari keuntungan”. Meski untuk menjadi sepak bola industri pun, perjalannya masih terseok-seok.

Dalam perjalanannya, konflik perpecahan sendiri bermula saat organisasi ini di pimpin oleh Nurdin Halid yang mengendalikan PSSI dari balik jeruji besi. Pro dan kontra terhadap keberadaan Nurdin Halid pun kian kuat hingg memunculkan kelompok 78 yang di komandani oleh Arifin Panigoro dengan membuat LPI sebagai liga tandingan. Meski di kemudian hari LPI justru menjadi embrio masalah baru yang menjadikan konflik PSSI berkepanjangan hingga sekarang.

KLB Solo

Pada pertengahan 2011 lalu, masyarakat sepak bola tanah air sempat berharap pada hasil Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang dilaksanakan di Kota Solo sebagai awal dari bangkitnya persepakbolaan tanah air. Namun harapan tinggalah harapan, hanya berjalan beberapa bulan setelah terpilihnya Djohar Arifin Husain, konflik di tubuh PSSI terjadi lagi .

Pada kompetisi tahun 2011 – 2012 pun, akhirnya ada dua kompetisi yang sama-sama mengklaim sebagai liga legal, yakni Liga Prima Indonesia (LPI) dan Liga Super Indonesia (LSI). Tak hanya itu, konflik pun kian meruncing saat sejumlah komponan orang yang selama ini aktif dalam kepengurusan PSSI mendeklarasikan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) dengan memilih La Nyala Mataliti sebagai ketua.

Hingga akhirnya, terjadi pergeseran opini publik bahwa di Indonesia ada dua organisasi yang mengelola sepak bola, yakni PSSI dibawah pimpinan Djohan Arifin Husain dan KPSI dibawah komando La Nyala Mataliti. Nampaknya, semangat agar sepak bola bisa menjadi sarana pemersatu bangsa, bukan lagi sebagai sarana pemecah belah persatuan tinggalah isapan jempol.

Mensikapi kedua kelompok tersebut, kalau memang sudah nggak mau akur dan ingin selalu memaksakan kehendak dan maunya menang sendiri, harusnya pemerintah segera turun tangan. Pemerintah harus segera membekukan PSSI dan membubarkan sekelompok orang yang mengklaim dirinya sebagai Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).

Opsi terakhir, bekukan PSSI bubarkan PSSI merupakan harga mati agar konflik sepak bola bisa segera diakhirnya. Meski disisi lain ada FIFA sebagai induk organisasi dunia, namun dalam persoalan ini peran pemerintah sangat penting. Pemerintah harus berani ambil sikap, meski ada resiko lain seperti adanya sanksi dari FIFA terharap sepak bola tanah air. Sanksi adalah persoalan lain, fokus utama adalah menjadikan sepak bola sebagai sarana pemersatu bangsa.

Lantas setelah PSSI dibekukan dan KPSI dibubarkan, harus segera dibentuk sebuah badan yang bertugas menyelesaikan persoalan sepak bola. Namun badan penyelamat PSSI tersebut jangan sampai melibatkan mereka-mereka yang pernah terlibat dalam ”konflik” ini. Karena percuma, kalau mereka masih dilibatkan. Bisa-bisa hanya ganti baju, sementara badannya masih sama yakni untuk kepentingan kelompok mereka dan bukan lagi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Ya, bola memang bulat. Dan bola PSSI saat ini ada ditangan pemerintah. Bagaimana pemerintah memainkan bola ini untuk kepentingan bangsa itulah yang ditunggu oleh masyarakat sepak bola. Tentunya sebagai penggemar bola, sangat berharap pemerintah tidak menjadikab bola ini sebagai bola liar yang terus menerus diterpah masalah tanpa ada panggal dan ujungnya.

Harusnya bulatnya bola bisa menjadi semangat bagi mereka-mereka yang dipercaya mengelola persepakbolaan tanah air untuk membulatkan tekat guna meraih prestasi demi nama baik bangsa dan negara. Kita butuh orang yang bisa menghidupkan sepak bola bukan orang yang menjadi hidup dari sepak bola. Bagaimana kita memainkan bola itu, sangat tergantung pada niat kita. Ya, bola memang bulan kawan ...!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline