Pemprov DKI Jakarta kembali membuat geger masyarakat. Kegegeran tersebut masih ada kaitannya dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Masjid Fatahillah yang terletak di dalam kompleks perkantoran Pemprov DKI Jakarta mengadakan Kajian Bulanan dengan Pembicara Felix Siaw.
Sontak kegiatan tersebut menuai protes masyarakat luas. Yang diprotes bukanlah kegiatan kajian atau pengajiannya. Akan tetapi yang diprotes adalah pengisi atau narasumber kajian tersebut dikenal sebagai tokoh yang mendukung HTI.
Aktivitas Felix Siauw yang terkait HTI sudah diketahui publik sejak lama. Jejak digitalnya pun dengan mudah ditemukan di dunia maya. Salah satu yang menuai reaksi keras adalah tatkala yang bersangkutan menyatakan bahwa "membela nasionalisme nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya."
Hal ini tentu saja sangat melukai rakyat Indonesia yang mencintai negaranya. Terlebih para pejuang dan pahlawan NKRI, yang mengupayakan berdirinya negara dan bangsa Indonesia dalam semangat spiritual keagamaan, meskipun berbeda-beda agama. Yang beragama Islam, Kriten, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu berjuang bersama-sama demi kemerdekaan dan keberlangsungan NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Reaksi tanpa kompromi dari masyarakat yang nasionalis, yang cinta NKRI kembali berhasil menggagalkan kegiatan yang melibatkan unsur, tokoh atau pendukung HTI. Namun demikian, jelas muncul banyak keheranan masyarakat terhadap perilaku dari Pemprov DKI Jakarta ini.
Tentu saja akan muncul pertanyaan yang membuat penasaran. Ada apa antara Pemprov DKI dengan HTI? Apakah ada hubungan khusus antara Pemprov DKI dengan HTI? Sejauh apa pengaruh HTI pada birokrasi di Pemprov DKI? Apakah ada atau bahkan cukup banyak pendukung HTI di birokrasi Pemprov DKI? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan jawaban yang tegas dan jelas dari Pemprov DKI sendiri.
Apalagi kejadian yang melibatkan Pemprov DKI dengan HTI ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya, juga terjadi kehebohan karena Pemprov DKI mengundang Muslimah HTI untuk hadir dalam rapat dinasnya. Setelah mendapatkan reaksi keras secara luas, akhirnya rapat tersebut dibatalkan.
Sebagaimana telah diumumkan secara luas kepada publik di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), HTI dinyatakan sebagai organisasi terlarang di NKRI. Aktivitas-aktivitas HTI selama ini dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat. Selain itu doktrin HTI yang hendak mendirikan negara khilafah dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI).
Pelarangan HTI di NKRI juga telah dikukuhkan oleh Mahkamah Agung (MA). Menurut Mahkamah Agung, HTI sudah harus dibubarkan karena tidak sesuai dengan falsafah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Jadi sudah seharusnya semua jajaran pemerintah di NKRI mengetahui, memahami, mendukung dan melaksanakan ketetapan hukum positif di NKRI.
Terasa sangat vulgar keanehannya jika ada bagian dari Pemerintah NKRI yang berdasarkan Pancasila yaitu Pemprov DKI Jakarta, justru terlihat memiliki hubungan baik dengan HTI. Apakah jajaran Pemprov DKI dari atas hingga bawah tidak tahu jika HTI adalah organisasi terlarang di Indonesia. Otomatis, tokoh-tokoh dan pendukung HTI seharusnya tidak diberikan panggung dalam kegiatan di lingkungan birokrasi, karena bisa menjadi sarana untuk menyebarkan atau menyelipkan doktrin kepada birokrasi untuk Anti Pancasila sehingga membahayakan keutuhan NKRI.
HTI jelas-jelas dilarang oleh hukum positif di Indonesia yang berdasarkan konstitusi UUD 1945. Sudah seharusnya pelarangan terhadap aktivitas tokoh dan pendukung HTI juga tidak jauh berbeda dengan pelarangan yang diberlakukan pada PKI, NII dan sejenisnya yang membahayakan NKRI.