Pemilu 2019 telah selesai dilaksanakan dengan aman dan damai. Lembaga Survey telah mengumumkan hasil Quick Count dan Exit Poll. Segenap jajaran KPU pun sedang bekerja keras melaksanakan penghitungan suara yang menurut UU Pemilu paling lambat diumumkan pada tanggal 22 Mei 2019.
Saking kerasnya bekerja, cukup banyak jajaran KPU utamanya di tingkat KPPS yang kelelahan, stress hingga sakit bahkan ada yang meninggal. Begitu juga pihak lain yang turut bekerja keras demi keamanan Pemilu, sampai ada yang kelelahan, sakit hingga meninggal dunia.
Namun sayang, ada saja kalangan yang tidak menghargai kerja keras jajaran KPU. Berbagai tuduhan dan fitnah seringkali dilontarkan seenaknya meskipun tanpa bukti-bukti yang meyakinkan. Ada yang menuduh KPU curang, KPU berpihak, server KPU dibajak, ada yang suntik data ke server KPU, dan lain sebagainya sebagainya.
Sepertinya banyak masyarakat yang kurang memahami mekanisme penghitungan suara yang dilaksanakan oleh KPU, sehingga mudah percaya saja dengan informasi yang tidak benar bahkan informasi fitnah dan hoaks. Padahal jika mau membaca UU Pemilu, Peraturan KPU atau setidaknya bertanya pada pihak yang menguasai khususnya pada jajaran KPU, maka tidak akan mudah percaya begitu saja dengan berbagai informasi yang tidak jelas sumber dan kebenarannya.
Ada beberapa hal yang bila kita ketahui dan pahami, maka tidak akan galau, resah apalagi paranoid dengan hasil kerja KPU dan jajarannya dalam melakukan penghitungan suara Pemilu.
1. Penghitungan suara dilakukan secara manual di TPS yang diawasi banyak orang. Tentu saja akan ada saksi, petugas pengawas, petugas KPPS dan masyarakat yang protes jika melihat terjadinya kecurangan. Kecurangan hanya mungkin terjadi jika semua pihak tersebut sepakat untuk berbuat curang. Ini tentu saja sangat kecil kemungkinannya. Apa ada berbeda-beda pihak yang sepakat untuk berbuat curang menguntungkan salah satu pihak? Hampir bisa dikatakan mustahil.
2. Hasil penghitungan final di TPS dituangkan dalam Formulir C1 dan ditandatangani banyak pihak di TPS. Form C1 sendiri dibuat rangkap 6 (enam) untuk Pilpres, yang jelas isinya pasti/harus sama. Masing-masing Form C1 untuk saksi kandidat, pengawas TPS, panitia pemungutan suara (PPS) untuk ditempel di tingkat desa/ke lurahan, panitia pemilihan kecamatan (PPK) untuk keperluan rekapitulasi, KPU kabupaten/kota untuk di-scan dan diunggah ke website KPU. Untuk Pileg, rangkapnya lebih banyak lagi yang ditambahkan sesuai jumlah partai politik yang mengikuti Pemilu.
3. Apabila ada dugaan kecurangan, maka tinggal ditelusuri ke dalam Form C1. Form C1 yang rangkap 6 (enam) tersebut tinggal disamakan saja. Kalau ada yang berbeda (karena diubah, diedit, dan sebagainya), akan dengan mudah ketahuan. Hal ini juga sekaligus bisa diketahui potensi terduga pelaku kecurangan.
4. Apalagi jika banyak masyarakat yang ikut memfoto Form C1 yang asli/awal untuk dokumentasi pribadi, ataupun hingga menguploadnya ke server Kawal Pemilu yang juga melakukan penghitungan suara berbasis partisipasi masyarakat. Tentu akan makin sulit berbuat kecurangan. Bila ada yang coba-coba upload C1 palsu atau yang telah diedit/diubah, tetap bisa ketahuan karena ada banyak pembandingnya dari dokumen C1 yang rangkap 6 tersebut.
5. Jadi, camkan wahai Ferguso! Tidak semudah itu berbuat curang dalam Pemilu di jaman reformasi, jaman digital, jaman transparansi, jaman millenial seperti saat ini! Memangnya sekarang ini jaman Orde Baru yang Presidennya Soeharto?\