Lihat ke Halaman Asli

Amirsyah Oke

TERVERIFIKASI

Hobi Nulis

Paradigma Kepemimpinan Telah Berubah

Diperbarui: 13 Maret 2016   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pemimpin adalah pelayan. Bukan penakluk dan simbol ego masyarakat."][/caption]Tampaknya telah terjadi kemandekan berpikir di kalangan mereka yang masih menggunakan diskriminasi SARA khususnya terkait muslim atau non muslim sebagai pemimpin. Hal ini membuat mereka tidak merasa segan bahkan wajib menyitir dalil-dalil agama untuk mendukung calon kepala daerah muslim dan melarang serta menakut-nakuti yang lain untuk tidak memilih kepala daerah non muslim. Padahal penafsiran dan pemahaman terhadap dalil-dalil agama khususnya terkait kehidupan dunia dan kemasyarakatan bisa berbeda-beda sehingga tidak bisa dimonopoli dan dipaksakan. Apalagi paradigma kepemimpinan di era demokrasi dan modern sekarang ini telah jauh berubah dibanding masa lalu.

Bagi kalangan yang hobi menyitir SARA tersebut, pemimpin adalah simbol ego, kebanggaan bahkan terkait penaklukan. Pikiran mereka dipenuhi oleh cerita-cerita kepemimpinan di masa ratusan tahun lalu dimana belum ada demokrasi, pilkada bahkan sistem negara, konstitusi dan sosial budaya yang berbeda. Pemimpin harus ahli perang, ahli agama atau minimal seagama. Maka tak heran di Indonesia, ada kalangan yang menolak pemimpin seperti Jokowi yang muslim bahkan tetap memusuhinya walaupun telah terpilih menjadi pemimpin. Hal ini karena alam bawah sadar mereka masih memahami kepemimpinan model lama, akibat pengetahuan yang tidak berkembang dan terdoktrin. Maka tak heran bila mereka lebih keras lagi menolak orang-orang seperti Ahok yang non muslim. Apalagi karena ada faktor cina yang telah distereotipe negatif dalam pikiran mereka sejak mereka masih kecil baik karena pengaruh orang tua, keluarga maupun lingkungan.

Padahal era demokrasi modern sekarang ini, pemimpin seperti Kepala Daerah adalah PELAYAN. Mereka adalah jabatan administratif yang memanajemeni berbagai sumber daya agar dapat memberikan pelayan yang terbaik dan sebesar-besarnya untuk keuntungan rakyat, tanpa memandang SARA. Oleh karena itu yang diperlukan adalah pemimpin yang amanah, jujur, adil dan mau bekerja keras. Siapapun orangnya atau tokohnya, maka seharusnya tidak masalah apapun suku dan agamanya. Yang terpenting mau menjadi pelayan rakyat yang terbaik.

Silahkan yang muslim memilih kepala daerah muslim. Tidak pernah ada yang melarang! Hal ini juga berlaku bagi agama lainnya. Juga bila muslim memilih kepala daerah non muslim. Itu adalah hak masing-masing dan bukan diskriminasi SARA. Akan tetapi bila ada yang melarang muslim memilih kepala daerah non muslim, menghujatnya dengan menyatakan sesat, kafir, munafik dan sebagainya, maka hal tersebut adalah perbuatan diskriminasi SARA. Demikian juga bila dilakukan oleh umat beragama lain.

Diskriminasi SARA sangat bertentangan dengan keinginan para pendiri NKRI yang banyak diantaranya adalah muslim yang ahli dan memahami agamanya seperti Muhammad Hatta, K.H. Agus Salim serta ulama-ulama dari NU dan Muhammadiyah. Mereka lebih memilih NKRI dengan falsafah Pancasila yang mengayomi fakta Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Bukan piagam Jakarta yang hanya mengakomodasi umat Islam di Indonesia.

Ingatlah bahwa negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sistem demokrasi dan pemerintahan yang sama sekali berbeda dengan konteks masa lalu dimana dalil-dalil agama diturunkan. Bahkan sangat jauh berbeda dengan di kawasan Arab yang saat ini masih saling berperang dan bunuh-bunuhan walaupun sesama orang arab bahkan menganut agama yang sama. Namun demikian nilai-nilai kemuliaan dalam Islam terkait kepemimpinan adalah universal. Nilai-nilai tersebut bisa dilaksanakan oleh siapapun baik yang muslim ataupun non muslim.

Umat beragama sebaiknya tidak hanya terpaku pada dalil qauliyah yang ada dalam kitab suci dan cerita-cerita dalam konteks masa lalu, lampau dan terlalu jauh. Sangat banyak dalil-dalil qauniyah yang terus berkembang dan perlu dipelajari sebagai bagian ilmu dari Allah SWT yang tak terhingga banyaknya. Dalil-dalil qauniyah kekinian tetap bisa diterapkan dengan nilai-nila kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan yang universal dan bisa diterima oleh seluruh umat manusia apapun agamanya.

Salam NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline