Rejeki sekarang susah dicari. Jangankan yang halal, yang haram saja susah. Maka jadilah yang dipentingkan asal mendapat rejeki. Akhirnya yang syubhat dan haram pun dihalal-halalkan.
Kala datang ke undangan pesta pernikahan, banyak aneka hidangan menggiurkan. Itu adalah rejeki dan halal. Diperbolehkan makan sebanyaknya dan sesukanya. Namun bagi yang mengidap beberapa penyakit tertentu (kolesterol, diabetes, asam urat dan darah tinggi), tidak semua rejeki makanan tersebut baik untuk mereka. Bila berprinsip asal rejeki tak boleh ditolak, sikat saja, atau makan semua, maka konsekuensinya sudah jelas. :)
Ini contoh kecil bahwa yang halal saja belum tentu baik dan berkah. Apalagi asal mencari dan mendapatkan rejeki. Yang syubhat dan haram bukan lagi jadi persoalan dan tak perlu dipikirkan matang-matang. Apalagi bila sudah terbiasa melakukannya karena menghalal-halakkan semua rejeki. :)
Sama seperti dalam anggaran negara atau daerah yang asalnya dari uang rakyat atau milik rakyat. Ada anggarannya bukan berarti harus dipakai atau dihabiskan. Ada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yang harus diperhatikan. Pengeluaran negara harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan bukan pemborosan.
Rejeki dari anggaran negara/daerah juga belum tentu baik, halal dan berkah. Saat sudah mendapatkan penghasilan (remunerasi) setiap bulan dan ada uang lembur kala perlu kerja hingga malam, mengapa masih ada honor-honor segala macam? Sudah mendapatkan uang makan untuk setiap hari kerja mengapa masih membebankan pada negara untuk membeli makanan untuk melaksanakan kegiatan kedinasan yang sudah menjadi tugas sebagai abdi negara? Bahkan untuk rapat di hari kerja pun tetap memakai uang rakyat untuk makanan dan honor. Bukankah rapat adalah bagian dari pekerjaan? Masih banyak lagi rejeki-rejeki lainnya dari anggaran negara/daerah yang layak dan harusnya dipertanyakan. Setidaknya disesuaikan dengan standarnya dalam ajaran agama yang dianut.
Anggaran Negara Rp1.500 triliun, maka tidak harus habis juga sebanyak Rp1.500 triliun. Bila tujuan (kuantitas, kualitas, output, benefit, impact) dapat tercapai dengan biaya yang lebih murah dan efisien, mengapa harus pilih yang mahal hingga terjadi defisit lalu berhutang? Untuk keperluan pribadi dan keluarga saja kita selalu berupaya agar biaya yang dikeluarkan lebih kecil atau murah, namun bisa mendapatkan kualitas dan kuantitas yang terbaik. Mengapa untuk keperluan negara dan rakyat tidak bersikap yang sama?
Syukurlah sekarang beberapa kementerian sudah sadar sehingga bangga bisa menghemat triliunan uang negara atau uang rakyat, namun tujuan dan kinerja tetap tercapai. Bila semua kementerian dan lembaga negara beserta birokrasi dan aparatur negara di dalamnya mau mengerti, sadar diri dan tahu diri, tentulah makin banyak uang rakyat yang bisa diselamatkan.
Sikap-sikap yang demikian akan membuat defisit anggaran bisa dikurangi bahkan bila perlu tidak terjadi lagi sehingga hutang pun bisa dibatasi, dikurangi bahkan bila perlu dihentikan. Dengan demikian makin banyak masalah rakyat yang dapat diselesaikan karena uang negara atau uang rakyat bisa difokuskan untuk menangani permasalahan tersebut. Negara pun akan maju dan rakyat menjadi sejahtera.
Mungkinkah? Semua bermulai dari pemahaman para abdi negara terhadap rejeki yang diterimanya. Semoga Revolusi Mental bisa mewujudkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H