Ilustrasi 1: Peta Papua, wilayah yang luas
Saya pribadi kebetulan pernah mendapatkan kesempatan sekitar tiga tahun tinggal di Kota Jayapura Papua. Pengalaman tersebut membuat saya sangat yakin bahwa kejadian di Tolikara tidak mencerminkan mayoritas masyarakat Wamena khususnya Papua yang aslinya sangat menjunjung tinggi toleransi. Meskipun masih relatif banyak tertinggal dari daerah lain di Indonesia, khususnya di sektor pendidikan, masyarakat Papua adalah orang-orang yang baik dan ramah. Saya punya dua cerita yang mungkin bisa menggambarkan bagaimana baik dan ramahnya saudara-saudara kita di Papua.
Suatu hari saya sedang mengendarai motor di Kota Jayapura Papua tanpa menggunakan helm. Saat sedang berhenti di sebuah lampu merah, terdengar suara dari samping saya: “Hei Adek, kenapa kamu tidak pakai helm?” Saat menoleh, rupanya seorang Bapak warga asli Papua yang juga mengendarai motor sedang menegur saya. “Kau mau matika apa?” Saya merespon dengan senyuman dan menganggukkan kepala, tanda mengerti apa yang dikatakannya.
Bapak itu bukan polisi, namun mau memperingatkan saya. Pengalaman ini membuat saya terkesan. Kalau di Jakarta, jangan harap ada warga biasa yang peduli dan memberikan nasehat seperti itu. Hanya polisi lalu lintas yang kemungkinan besar akan menegur sekaligus menilang.
Ilustrasi 2: Jalan-jalan di Kota Jayapura
Di hari yang lain saya sedang berjalan kaki sendirian menyusuri jalan-jalan di Kota Jayapura. Sebagai orang yang baru beberapa bulan tinggal di Jayapura, saya sangat penasaran ingin mengetahui seluk beluk kota. Saat sedang asyik berjalan dan melihat-lihat suasana kota, ada seorang pria muda warga asli Papua yang menghentikan saya.
Ternyata ia berniat meminta uang kepada saya. “Kaka..., xxx (jumlah uang) kah!”. Melihat postur pria tersebut, saya langsung merasa terintimidasi. “Wah, di Jayapura ada juga tukang palak nih” batin saya. Sebagai anak muda yang tinggal di wilayah Tanjung Priok (yang katanya adalah wilayah paling rawan di Jakarta), tentu saja saya gengsi memenuhi permintaannya. Walau merasa ketar-ketir, saya diamkan saja sembari berjalan lebih cepat berusaha menghindar.
Pria tersebut juga terus bergerak menghalangi jalan saya. Ia terus meminta uang. Saya mencoba kukuh tidak mau memberikan. Tiba-tiba saya mendengar suara keras dari belakang saya. Logatnya khas orang Papua. “Hei, Pi (pergi) sana! Ko (kamu) mau uang, pi (pergi) kerja kah! Ko (kau) bikin malu orang Papua saja!” Sesaat kemudian muncul pria asli Papua lain yang menjajari saya. Saya pikir situasi akan lebih runyam karena akan terjadi perkelahian. Saya siap-siap mengeluarkan jurus kaki seribu alias lari.
Syukurlah hal tersebut tidak terjadi. Pria yang meminta uang memilih pergi dan menjauh. “Mas, kalau ada yang minta uang, jangan dikasih e…, bikin itu orang malas. Mas hati-hati di jalan.” Pria yang menolong itu pergi meninggalkan saya. Saya hanya terdiam, berusaha mencerna apa yang barusan terjadi. Ini merupakan pengalaman yang baru dan sama sekali tak terduga.