Lihat ke Halaman Asli

Amirsyah Oke

TERVERIFIKASI

Hobi Nulis

Berhaji Kosong demi Status

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam Islam, ibadah haji adalah sangat penting dan masuk dalam Rukun Islam yang kelima. Yang bisa melaksanakan semua rukun Islam dengan baik secara relatif diyakini telah menjadi muslim yang sempurna. Ibadah haji sebagai rukun Islam yang terakhir diyakini akan makin menyempurnakan keislaman seorang muslim. Kesempurnaan yang dimaksudkan tentunya bukan sempurna yang hanya dimiliki Sang Maha Pencipta, karena tidak mungkin ada yang bisa.

Faktor inginmencapai kesempurnaan dalam melaksanakan rukun Islam inilah yang menyebabkan umat Islam begitu menginginkan bahkan merindukan untuk pergi ke Mekah melaksanakan ibadah haji. Untuk itu banyak rakyat dengan ekonomi pas-pasan yang rela menabung hingga puluhan tahun demi berhaji. Meskipun ibadah haji adalah salah satu rukun Islam atau kewajiban, namun ajaran Islam tidak memaksakan setiap muslim untuk berhaji. Hanya mereka yang mampu yang wajib berhaji dan bila tidak dilaksanakan akan berdosa. Bagi yang belum mampu khususnya dari segi ekonomi tidak memiliki kemampuan keuangan untuk melaksanakan ibadah haji, maka tidaklah berdosa bagi mereka.

Mereka yang mengerti bahwa berhaji adalah untuk kesempurnaan rukun Islam dalam arti yang sebenarnya, berusaha jauh-jauh hari sebelumnya untuk mempersiapkan diri demi bisa melaksanakan ibadah haji dengan sebaik-baiknya. Kesehatan dan kekuatan fisik dipersiapkan agar lancar menjalankan berbagai prosesi ibadah haji yang memerlukan banyak waktu, tenaga dan konsentrasi pikiran. Ekonomi dan keuangan dipersiapkan untuk transportasi dan akomodasi agar dapat berhaji dengan relatif lancar dan nyaman. Bukan hanya keuangan untuk berhaji yang diperhatikan, namun juga keuangan yang dibutuhkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya misalnya istri, orang tua, anak-anak agar tidak menderita, kelaparan dan terlantar selama ia berhaji. Yang tak kalah pentingnya adalah mempersiapkan diri secara mental dan pengetahuan ibadah yang tidak sekadarnya. Mereka yang hendak berhaji selalu memperhatikan ibadah-ibadah wajib lainnya seperti sholat, puasa, zakat serta ibadah-ibadah yang terkait dengan muamalah dan kemaslahatan sosial.

Sayangnya tidak semua mereka yang berhaji mempersiapkan diri dan keluarganya dengan sebaik-baiknya demi mendapatkan manfaat haji yang sangat besar, bahkan mungkin saja banyak yang tidak mengerti untuk apa sebenarnya mereka pergi berhaji. Belum paham rukun Islam dan tidak mau melaksanakannya dengan sebaik-baiknya namun karena punya banyak uang dan kemudahan akses seperti pejabat lantas dengan mudah naik haji hingga berkali-kali. Sholat masih bolong-bolong, tidak puasa dan malas berzakat/infaq/shadaqah tidak masalah yang penting bisa berhaji. Bahkan juga tidak peduli bila uang yang digunakan untuk berhaji adalah berasal dari tindakan yang merugikan orang lain seperti korupsi, manipulasi atau dari aktivitas haram lainnya seperti berjudi, mencuri, merampok dan sebagainya. Pejabat atau keluarga pejabat dan mereka yang punya banyak uang dan koneksi dengan mudah naik haji berkali-kali sementara rakyat biasa harus mengantri hingga puluhan tahun. Bahkan sempat diberitakan berhajinya seorang germo.

Maka tak aneh bila mereka yang secara fakta dan nyata telah melaksanakan ibadah haji, namun terlihat tidak ada perubahan menjadi pribadi yang lebih sholeh dan membawa manfaat bagi orang lain dan lingkungannya. Sepulang dari melaksanakan ibadah haji tetap dengan kesehariannya yang buruk dan merugikan orang lain. Yang terbiasa korupsi tetap melakukan korupsi, yang menjadi germo tetap dengan usahanya di bisnis prostitusi, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak aneh bila sepulang haji tidak berkorelasi positif dengan perilakunya, hanya menjadi pengesah bahwa di depan namanya pantas disematkan karakter “H.” dan merasa bangga orang-orang memanggilnya Pak atau Bu Haji, bahkan tidak berkenan bila ada yang tidak memanggil atau mencantumkan namanya tanpa didahului kata “Haji”.

Haji seperti ini bisa dinamakan sebagai Haji kosong. Tidak mendapatkan apapun kecuali status ataupun gelar “Haji”. Bagaimana kita mengetahui bahwa haji seseorang diterima atau ditolak karena hanya Allah yang mengetahuinya dan berhak memberikan penilaiannya? Agama Islam menjelaskan beberapa parameter atau tanda-tandanya, salah satunya adalah mereka yang berhaji menjadi orang yang lebih baik dan bermanfaat dibandingkan sebelumnya serta tidak ingin merugikan orang lain seperti menipu, berbohong, manipulasi dan korupsi.

Bagi mereka yang hendak atau telah berhaji, semestinya sadar bahwa masyarakat dan lingkungannya bisa menilai kadar keberhasilan ibadah Haji yang telah dilaksanakannya. Mungkin saja orang-orang memanggil Haji, namun bisa jadi panggilan tersebut dimaksudkan sebagai hinaan, bukan kebanggaan, karena status Haji tidak membawa perubahan perilaku yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitar. Bagi mereka yang belum bisa atau belum mampu berhaji, tidak perlu berkecil hati, dalam Islam ada banyak hal yang bisa dilakukan baik dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam bentuk ibadah-ibadah yang memberikan nilai sama dengan melaksanakan ibadah haji yang diterima Allah SWT. Salah satu contohnya adalah yang sering diceritakan dalam ceramah/pengajian terkait haji, yaitu kisah seorang ulama yang bermimpi bahwa tidak ada seorangpun yang ibadah hajinya diterima kecuali hanya satu orang. Setelah mencari-cari orang yang dimaksud, akhirnya diketahui bahwa orang tersebut tidak jadi/batal berhaji karena uangnya menjadi tidak cukup lagi setelah memilih untuk memberikan uangnya pada oranglain yang sangat membutuhkan bantuan. Wallahu a’lam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline