Judul diatas adalah idiom dalam bahasa inggris yang merupakan kalimat metafora. Kurang lebih artinya adalah: jangan menilai seseorang hanya dengan melihat penampilannya apalagi bila belum mengenalnya.
Hal ini pernah saya dan istri lakukan pada orang lain di dalam angkot. Saat itu saya mengantar istri untuk memeriksakan kehamilannya di sebuah rumah sakit bersalin yang agak jauh dari rumah. Letak rumah sakit tersebut di daerah Taman Puring Jakarta selatan. Dari rumah kami menumpang angkutan umum berwarna merah, dulu namanya KWK.
Seperti biasa, saat naik angkutan umum istri memilih yang tidak ada perokok di dalamnya baik sopir maupun penumpang. Hal ini dalam rangka menjaga kehamilan istri agar tidak terlalu mudah dan banyak terkontaminasi asap rokok sesuai anjuran kesehatan dan anjuran dokter. Selain itu istri saya juga sangat alergi dengan asap rokok, bila menciumnya maka kepalanya pusing, perut mual dan mau muntah.
Setelah agak lama menunggu di pinggir jalan daerah kebayoran lama, akhirnya kami menyetop sebuah KWK yang melewati Taman Puring. KWK tersebut sopirnya tidak merokok dan hanya ada satu penumpang di dalamnya yang tidak begitu terlihat. Saya naik duluan untuk mempersiapkan tempat duduk yang nyaman bagi istri, suami siaga ceritanya. Namun saat di dalam, ternyata seorang yang sedang duduk dipojok adalah seorang laki-laki yang sekilas berdasarkan penampilannya maka orang-orang akan menyebutnya sebagai preman.
Laki-laki tersebut berambut panjang (gondrong), mengenakan baju kaos tanpa lengan dan bercelana jins, kelihatan tidak rapi dan urakan. Wajahnya terlihat sangar dan pada kedua tangannya terlihat jelas banyak tato. Lelaki yang terlihat sangar tersebut sedang asyik merokok sambil memandang jauh melalui kaca belakang. Tampaknya dia tidak peduli dengan kehadiran saya.
Melihat ada orang lain yang merokok di angkot, saya segera berniat turun, namun kalah cepat dengan istri saya yang sudah naik terlebih dahulu dan duduk di samping saya di belakang sopir. Sayapun segera mentowel tangan istri untuk mengajaknya turun dari angkot karena ada preman yang sedang asyik merokok. Tentulah tidak bisa diharapkan pengertian darinya, pikir saya. Bila ditegur bisa-bisa urusannya bahaya. Istri saya pun sadar ketika telah melihat laki-laki tersebut, mencium ada bau rokok reflek istri saya menutup hidung dan mengipas-ngipas berusaha mengusir asap rokok yang menuju ke arahnya.
Rupanya gerakan yang lumayan heboh dari istri saya menyadarkan laki-laki tersebut. Ia menoleh ke arah kami, tatapannya sejenak tertumpu memandang istri saya yang masih menutup hidung dan mengipas, wajahnya datar saja. Melihat hal ini saya mulai resah, takut laki-laki tersebut yang menurut saya seorang preman akan tersinggung lalu berbuat yang tidak-tidak.
Di luar dugaan saya ternyata, laki-laki tersebut segera mematikan rokoknya yang masih panjang, membuka lebar jendela di dekatnya dan membuang rokok tersebut. Melihat hal ini saya dan istri terkesima, sejenak kami berpandangan memperlihatkan wajah seolah tidak percaya dengan kejadian barusan. Saya merasakan cubitan di lengan, istri memberikan tanda, saya paham artinya. Segera saya memberikan senyum semanis mungkin kepada laki-laki tersebut, “terima kasih Pak” ucap saya. Istripun melakukan hal yang sama, “terimakasih ya pak”. Laki-laki itu membalas senyum kami, mengangguk dan kemudian meneruskan lamunannya melihat jauh ke luar melalui kaca belakang mobil.
Di Jakarta memang semuanya bisa terjadi. Salut untuk laki-laki menarik tersebut. Menarik adalah istilah saya dan istri untuk mengganti dugaan preman yang sebelumnya ditujukan pada laki-laki berpenampilan sangar namun memiliki perasaan selembut lagu-lagu ciptaan Rinto Harahap. Saya akan berusaha menghindari berperilaku sebagaimana idiom don't judge a book by its cover.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI