Pengalaman makan di warung padang di beberapa kota di Indonesia membuat saya menyimpulkan bahwa ada dua cara penyajian makanan bagi konsumen baik yang makan sendirian atau rombongan yaitu:
- Disajikan sesuai pesanan yang diminta. Konsumen memesan makanan yang inginkan, kemudian pelayan memberikan sesuai pesanan. Bila memesan dengan satu lauk misalnya rendang, biasanya pelayan akan memberikan satu piring yang berisi nasi yang disiram kuah, rendang, sayur nangka/daun singkong atau keduanya dan sambal. Selain itu juga akan diberikan piring kecil yang berisi satu porsi nasi putih siapa tahu konsumen ingin tambah. Bila nasi tambah dimakan maka akan dikenakan tambahan biaya. Bila memesan dua lauk misalnya rendang dan ayam bakar, ada warung padang yang menyajikannya dalam satu piring, ada pula yang menyajikan salah satu lauk di piring kecil lain secara terpisah.
- Disajikan secara relatif lengkap. Pelayan menyajikan aneka hidangan dalam beberapa piring terpisah yang berisi aneka lauk, sayur dan juga beberapa piring kecil nasi putih untuk tambah. Apa saja yang dimakan, disentuh atau terkontaminasi oleh konsumen dikenakan bayaran walaupun tidak dihabiskan atau hanya sedikit yang dimakan.
Saya sendiri lebih sering makan di warung Padang dengan cara yang pertama yaitu langsung disajikan dalam satu piring plus satu piring kecil nasi tambahan. Kadang saya minta tambahan kuah atau sayur dan sambal di nasi tambahan tersebut. Cara kedua hanya dialami tatkala ditraktir oleh teman atau bos atau ada jamuan makan dalam suatu kegiatan.
Seperti biasa saat berkunjung ke kota-kota lain, bila merasa lapar, maka warung Padang adalah pilihan pertama. Bila tidak ada, barulah apa saja yang bisa dimakan sambil cari-cari pengalaman kuliner baru di daerah setempat. Demikian juga ketika saya sedang ada tugas beberapa hari di Kota Benteng Ibukota Kabupaten Kepulauan Selayar di Provinsi Sulawesi Selatan. Waktu makan siang saya berjalan-jalan di pusat kota mencari warung Padang. Sekitar dua puluh menit berjalan kaki menyuri jalanan di pusat kota Benteng, saya menemukan sebuah warung Padang. Senangnya bukan kepalang. Saya segera masuk memesan makanan. Saya katakan pada pelayan bahwa saya hendak makan dengan lauk rendang. Asumsi saya pesanan akan dihidangkan dengan cara pertama, dalam satu piring berikut satu piring kecil nasi tambahan. Ternyata saya salah.
[caption id="attachment_316848" align="aligncenter" width="640" caption="Penyajian hidangan yang berbeda dari Warung Padang lainnya, khususnya bila sedang makan sendiri dan hanya memesan satu macam lauk."][/caption]
Pelayan pertama kali membawakan piring kosong dan nasi dalam wadah tersendiri yang menurut saya volumenya untuk empat orang. Kekagetan saya makin bertambah seiring hidangan yang diletakkan di meja satu persatu dalam beberapa piring terpisah. Ada sepiring kecil sayur nangka, sepiring kecil sayur daun singkong, sepiring kecil sambal merah, sepiring kecil yang berisi dua buah rendang, serta sepiring kecil hidangan berupa singkong diiris kecil tipis dicampur potongan kecil tempe, kacang tanah dan digoreng bersama gula merah dan sedikit cabai. Yang terakhir saya tidak tahu hidangan apa namanya karena belum pernah disajikan di warung Padang yang pernah saya datangi sebelumnya.
Sebelum menyantap hidangan, terpikir kira-kira berapa yang harus saya bayar untuk semua makanan yang sudah pasti tidak dapat dihabiskan tersebut. Variabel yang saya hitung adalah warung Padang tersebut berada di sebuah pulau yang akses transportasinya cukup sulit dan penyajian hidangannya bagi saya cukup kompleks, bila di warung Padang di kota besar seperti Jakarta atau Makassar tentulah harganya jauh lebih mahal daripada yang dihidangkan dalam satu piring saja. Rasa lapar membuat saya menepikan dulu perhitungan biaya. Sesaat kemudian saya sudah asyik masyuk menyantap makanan yang ada di meja.
Secara rasa di lidah dan aroma masakan, masih kuat khas masakan Padang. Tidak seperti warung Padang yang pernah saya datangi di Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat dimana sama sekali tidak terasa Padangnya. Sambalnya pun relatif lebih pedas dibandingkan sambal warung Padang di Kota Makassar. Sedangkan hidangan yang baru saya temui berupa irisan kecil tipis singkong bercampur tempe, kacang tanah yang digoreng dengan gula merah dan sedikit cabai, kurang cocok bila dimakan bersama dengan hidangan lainnya. Kemungkinan makanan tersebut adalah penyesuaian dengan selera masyarakat setempat di Pulau Selayar. Mungkin saja hal tersebut menjadi salah satu cara warung Padang tersebut sehingga bisa terus eksis diantara makanan lokal khas Pulau Selayar dan Sulawesi Selatan. Saat saya sedang makan, cukup banyak konsumen yang datang memesan nasi kotak atau nasi bungkus untuk keperluan acara resmi di perkantoran.
[caption id="attachment_316849" align="aligncenter" width="640" caption="Sajian utama makanan di warung Padang Pulau Selayar. Dua rendang, dua jenis sayur dan yang khas kuliner lokal adalah adanya tambahan makanan berupa irisan kecil tipis singkong, tempe, kacang tanah yang digoreng dengan gula merah dan sedikit cabai."]
[/caption]
Rupanya saya makan lebih banyak dari biasanya. Terpaksa harus membuka pengait celana agar perut bisa nyaman karena tidak tertekan. Baju terpaksa saya keluarkan untuk menutupi celana yang dilonggarkan. Meski begitu, saya tidak bisa menghabiskan semua nasi yang diberikan, masih tersisa satu rendang dan hanya sedikit mencoba hidangan singkong bercampur tempe dan kacang tanah. Merasa sudah nyaman, saya beranjak ke kasir dan bertanya berapa yang harus dibayar. Saya perkirakan minimal akan membayar Rp50 ribu untuk semua makanan tersebut. Lebih besar dari biasa yang saya bayar bila makan di warung Padang di Kota Makassar yaitu Rp15 s.d. 20 ribu. Saya anggap hal tersebut wajar karena banyaknya hidangan dan cara menyajikannya sangat berbeda.
“Dua puluh ribu Pak” Jawab kasir. “Berapa Bu?” Saya condongkan kepala mendekat karena merasa tidak yakin dengan yang didengar. “Dua puluh ribu Pak” Kasir mengulanginya kembali dengan suara lebih keras. “Oww, oke” saya berusaha mengontrol keterkejutan. Saya menyerahkan uang Rp50 ribu. Saya seolah tidak percaya harganya semurah itu. Siapa tahu kasir salah hitung atau salah ucap. “Ada uang pas Rp20 ribu Pak?” Kasir bertanya pada saya saat melihat uang yang diserahkan. Hal ini menghilangkan keraguan saya. Saya segera serahkan uang satuan Rp20 ribu.
Keluar dari warung Padang tersebut, saya sempatkan memandang kembali kaca etalasenya. Terlihat aneka hidangan dan makanan lauk pauk untuk mengundang perhatian orang-orang yang lewat. Di kaca depannya terdapat tulisan berwarna merah. Hanya tulisan “Rumah Makan” yang terbaca jelas. Tulisan lainnya sudah terkikis mungkin karena pengaruh terlalu sering dilap/dibersihkan dan juga terkena angin laut yang bergaram. Walaupun begitu, bila diperhatikan dengan seksama dapat diketahui tulisan lengkapnya, “Rumah Makan Padang, Khas Masakan Padang, JL. Emmy Saelan Benteng Selayar”.
[caption id="attachment_316851" align="aligncenter" width="637" caption="Warung Padang di Kota Benteng Pulau Selayar, sajian lengkap dan khas dengan harga relatif murah dan terjangkau."]
[/caption]
Warung Padang di Pulau Selayar ini telah memberikan sensasi yang berbeda dengan warung Padang lainnya. Sensasi tersebut berupa penyajian hidangan dan makanan yang relatif berbeda khususnya dengan adanya tambahan makanan lokal sebagai adaptasi/akomodasi dengan kuliner masyarakat setempat. Pengalaman ini membuat saya makin penasaran, seperti apa rasanya makan di Rumah Makan Padang yang ada di kota asalnya yaitu Kota Padang di Sumatera Barat. Jika saja saya bisa berkesempatan mengikuti perjalanan ke lima kota di Indonesia (Padang, Palembang, Balikpapan, Denpasar dan Manado) bersama Daihatsu, tentulah akan sangat menyenangkan. Pastinya hal tersebut akan jadi pengalaman yang seru, karena bisa mendapatkan banyak bahan dan masukan untuk membuat tulisan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H