Lihat ke Halaman Asli

Amirsyah Oke

TERVERIFIKASI

Hobi Nulis

Guru SD Mencontohkan Ketidakjujuran

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sudah beberapa kali anak saya yang bersekolah di kelas empat sekolah dasar (SD) mengeluh tentang perilaku guru di sekolahnya. Perilaku tersebut berupa kecurangan yang dilakukan saat ujian. Sang guru memberitahukan jawaban soal ujian kepada murid-murid tertentu. Ironisnya hal ini dilakukan secara terang-terangan. Akibatnya murid yang mendapat keistimewaan tersebut memperoleh nilah yang tinggi karena jawabannya benar semua, sebaliknya murid-murid lainnya mendapatkan nilai sesuai kemampuannya sendiri.

Anak kami yang mendapatkan nilai delapan merasa kecewa karena kali ini ada murid yang mendapat nilai ujian lebih tinggi yaitu sepuluh. Memang biasanya ia selalu mendapatkan nilai tertinggi diantara teman-temannya. Ia lantas menyampaikan pada kami bahwa hal tersebut dikarenakan ada murid yang dibantu oleh guru saat ujian sehingga jawabannya benar semua. Kami maklum dengan kekecewaannya dan berusaha menghiburnya. Kami katakan bahwa tidak penting berapa nilai yang berhasil didapatkan, yang terpenting adalah usaha yang dilakukan dengan jujur dan sungguh-sungguh. Meskipun tidak mendapatkan nilai tertinggi, namun apa yang telah dipelajari akan selalu teringat yang akan membuat makin pintar. Sebaliknya, nilai yang tinggi namun didapatkan dengan kecurangan tidak akan bermanfaat dan tidak bisa membuat menjadi pintar. Syukurlah anak kami menerima apa yang orang tuanya jelaskan.

Cerita anak kami tersebut membuat saya teringat dengan kejadian yang sama saat masih SD dulu. Kebetulan saat itu saya baru saja pindah sekolah dari kota kecil ke kota besar. Di sekolah yang lama, guru-guru tidak pernah mengajarkan berbuat curang dalam ulangan/ujian di sekolah. Bila ada yang ketahuan mencontek, maka akan mendapatkan hukuman yang bagi kami saat itu sangat berat, yaitu berdiri di depan kelas untuk beberapa waktu sambil melipat satu kaki ke belakang. Mungkin saat ini bila ada guru yang memberikan hukuman tersebut, maka akan dilaporkan ke Polisi atau KPAI dengan aduan kekerasan terhadap anak.

Beberapa bulan di sekolah yang baru, saya langsung menghadapi ujian akhir kelas enam SD berupa Ebta-Ebtanas. Tentu saja saya sudah mempersiapkan diri dengan dibimbing orang tua dan kakak dalam rangka menghadapi ujian tersebut. Saat ujian berlangsung saya sangat percaya diri dan konsentrasi penuh menjawab semua soal. Perhatian saya terpecah saat seorang guru memberikan kertas kecil yang dilipat. Awalnya saya tidak tahu untuk apa kertas tersebut, namun akhirnya saya mengerti bahwa itu adalah jawaban soal-soal ujian pilihan ganda. Guru membisikkan, untuk cepat menyalinnya dan segera mengopernya ke teman saya yang ada di belakang. Saat itu saya bingung, karena belum pernah mencontek sebelumnya. Apalagi saya telah banyak menyelesaikan dan menjawab soal ujian. Teman saya yang dibelakang tampak tidak sabaran, ia ingin buru-buru mendapatkan operan kunci jawaban tersebut. Saya segera menyerahkan kertas kecil tersebut kepadanya tanpa sempat menyalin, setelah itu kembali melanjutkan mengerjakan soal-soal ujian.

Ironis memang, sekolah dan guru yang seharusnya memberikan pelajaran dan teladan bagaimana bersikap jujur, ternyata melaksanakan yang sebaliknya secara terang-terangan. Apalagi hal ini telah terjadi sejak masa SD yang masih masuk dalam kategori usia dini, dimana anak-anak akan mengingat kuat apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Bila sejak SD sudah diajarkan tidak jujur dengan mencontek, maka tidak aneh bila berlakku sama saat SMP dan SMA, apalagi bila hal ini juga dibiarkan oleh para Guru dan orang tua. Makanya tidak aneh, bila banyak terjadi berbagai kecurangan saat pelaksanaan ujian nasional dari tingkat SD-SMA. Diperguruan tinggi pun ketidakjujuran akan terus terbawa, mencontek dan plagiat bukanlah masalah.Hal ini jelas sangat berpengaruh hingga dewasa dan memasuki dunia kerja atau bermasyarakat. Besar kemungkinan mereka akan berlaku sama dengan apa yang biasa dilihat dari orang tua dan gurunya. Bukan mustahil, anak-anak tersebut saat dewasa nanti akan tetap berlaku tidak jujur sehingga tidak segan berbohong dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, seperti menipu dan korupsi.

Sebagai orang tua kita tidak boleh menyerahkan dan mengandalkan semua pendidikan anak kepada pihak lain termasuk sekolah. Orang tua harus turut berperan aktiv dalam membentuk karakter sang anak agar menjadi manusia yang jujur. Orang tua berkewajiban mengajarkan pada anak-anaknya nilai-nilai moral khususnya mengenai kejujuran, hal ini harus didukung dengan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan oleh sang anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline