Polemik terkait Ahok dan Instruksi Gubernur No.150 Tahun 2013 tentang Penggunaan Kendaraan Umum Bagi Pejabat dan Pegawai di Lingkungan Pemprov DKI Jakarta makin ramai. Pro dan Kontra bersahut-sahutan dengan argumentasinya masing-masing, bahkan ada yang mengatakan hal ini dipolitisasi. Penulis setuju memang ada yang menjadikan hal ini komoditas politik, namun jangan sampai menafikan bahwa banyak juga yang mengkritik tindakan Ahok ini yang merupakan pegawai biasa dan masyarakat umum. Mereka melakukannya karena rindu dengan pemimpin yang memberikan teladan, tidak hanya omong doang, tong kosong nyaring bunyinya, hangat-hangat tai ayam, tebang pilih dan sebagainya.
Mari kita semua tenangkan diri, baca sama-sama Instruksi Gubernur tersebut. Semua pasti menemukan kalimat pertama yang berbunyi: Dalam rangka mendukung dan penghematan bahan bakar minyak (BBM), dan mengurangi kemacetan serta memberi contoh kepada masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum. Kata-kata “MEMBERI CONTOH PADA MASYARAKAT” tidak perlu penafsiran yang membutuhkan keahlian tertentu. Semua tentu bisa paham maksudnya. Cukup tanyakan kepada akal sehat dan nurani masing-masing.
Dalam kehidupan bermasyarakat, pemimpin adalah teladan terbaik dan utama bagi mereka yang dipimpinnya. Teladan terbaik dalam keluarga adalah Ayah dan Ibu, di sekolah adalah para guru, di suatu kantor adalah kepala kantor dan jajaran manajer, di pemerintahan adalah Pimpinan Pemerintahan baik dalam skup nasional maupun daerah. Di DKI Jakarta, tentulah sangat masuk akal bila teladan dan contoh yang baik tersebut diharapkan oleh masyarakat datang dari Jokowi dan Ahok.
Tindakan Ahok, bila dicari-cari pembenarannya, selalu saja banyak argumen yang bisa dikedepankan. Hal ini sangat baik dilakukan oleh Ahok sendiri maupun pendukung setianya yang fanatik. Tidak efektif, repot, banyak kerjaan, hanya untuk PNS, seperti instruksi senam setiap Jumat, tidak aman, peraturan bukan kitab suci dan masih banyak lagi alasan lainnya. Tindakan Ahok bukanlah permasalahan yang sepele, karena status Ahok sebagai pimpinan di DKI Jakarta, Wakil Gubernur, yang terpilih karena masyarakat percaya dengan janjinya bersama Jokowi, akan membuat perubahan yang lebih baik. Pelaksanaan peraturan dengan banyak tujuan positif yang membuat jajaran pemerintahan DKI harus berkorban meninggalkan kenyamanannya menggunakan kendaraan pribadi/dinas, apakah akan berjalan dengan baik bila pimpinannya tidak memberikan teladan dengan melakukan yang sama? Hal ini sangat disadari oleh Jokowi, namun sayang, Ahok khilaf.
Jokowi menunjukkan keelokan sebagai pemimpin. Ia melaksanakan peraturan dengan tidak menggunakan mobil dinas yang nyaman. Mencontohkan secara langsung. Sebaliknya Ahok, mungkin Ia khilaf dan lupa, terlena dengan tingginya jabatan dan nyamannya hidup mewah, sehingga enggan melepaskan kenyamanan mobil dinas hanya satu hari dalam setiap bulannya. Bila Ahok konsisten dengan kata-katanya akan membela peraturan/konstitusi sampai mati, lantas mengapa tidak mencari cara agar bisa menjalankan peraturan namun relatif dapat mengurangi kerepotan? Tidak perlu berganti angkutan umum sampai tiga kali. Ada banyak cara elegan yang bisa dilakukan bila fokusnya memberi contoh dan teladan bagi bawahan dan masyarakat untuk menaati peraturan tidak menggunakan kendaraan pribadi yang menjadi biang kemacetan, borosnya BBM dan polusi udara. Namun Ahok ogah, malah lebih frontal berargumen bahwa ia tidak salah, dengan berbagai dalih hingga mulut berbusa.
Okelah, mari kita fokus pada penyelesaian polemik ini. Penyelesaian polemik ini sebenarnya sangat mudah dan sederhana. Bukan dengan menarik peraturan untuk direvisi apalagi membatalkannya. Peraturan baru sekali dilaksanakan, belum bisa terlihat efeknya. Tujuan dan manfaat peraturan tersebut sangat baik untuk masyarakat Jakarta yang dikenal banyak yang bersikap individualistis, egois dan maunya enak/nyaman sendiri. Tinggal dilaksanakan dengan baik dan konsisten, lalu dilihat efeknya dalam jangka menengah. Polemik ini bisa dianggap selesai bila bulan depan, di bulan Februari yang katanya adalah bulan perayaan kasih sayang, di hari Jumat minggu pertama, sang Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok, rela sedikit berkorban untuk tidak menggunakan kendaraan dinasnya yang mewah dan nyaman tersebut hanya saat berangkat dan pulang kantor.
Terserah Ahok dan protokoler Wagub bagaimana caranya. Mereka orang-orang cerdas, tentu bisa mensiasati bagaimana caranya peraturan bisa dilaksanakan, namun Ahok tetap relatif nyaman, aman, tidak repot harus berganti angkutan umum tiga kali serta bisa sampai di kantor tepat waktu. Bisa dengan naik taksi, mengarahkan rute Bus jemputan karyawan untuk mampir menjemput Ahok, bersepeda seperti Jokowi atau yang lainnya. Bila bulan depan Ahok mau menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia adalah pemimpin yang ingin memberi contoh bagaimana melaksanakan peraturan dengan baik dan konsisten, maka polemik tersebut akan selesai dengan sendirinya. Mereka yang masih mengangkat dan membahas kekhilafan Ahok yang lalu tersebut, kepadanya pantas disematkan sebagai orang yang gagal move on dan mempolitisasi.
Mudah dan sederhana sekali untuk menyelesaikan polemik ini. Pertanyaannya: Apakah Ahok mau instropeksi dan mendamaikan hatinya agar dapat melaksanakan peraturan yang telah diparafnya tersebut? Semoga Ahok mau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H