Instruksi Gubernur DKI Jakarta No.150 Tahun 2013 tentang Penggunaan Kendaraan Umum Bagi Pejabat dan Pegawai di Lingkungan Pemprov DKI Jakarta kini menjadi polemik, gara-gara sang Wakil Gubernur bersikeras menggunakan mobil dinas mewahnya yang jauh lebih nyaman dari pada susah-susah naik angkutan umum, taksi atau alternatif lain, yang jelas tidak nyaman baginya. Padahal instruksi gubernur tersebut ditandatangani oleh Gubernur dan diparaf oleh Wakil Gubernur sebelumnya. Jokowi sendiri sang Gubernur dengan legowo rela tidak meninggalkan kenyamanan mobil dinasnya, memilih naik sepeda. Jokowi paham benar psikologi rakyat, bahwa yang terpenting dalam penegakan peraturan adalah keteladanan dari sang pemimpin tanpa banyak omong apalagi berkelit dan berkilah, plintat-plintut.
Kini banyak yang menyalahkan instruksi gubernur tersebut, perlu ditinjau-lah, direvisi-lah, bahkan ada yang menginginkan dibatalkan saja. Instruksi Gubernur tersebut baru saja satu kali dilaksanakan, belum bisa dikatakan gagal sehingga harus direvisi apalagi dibatalkan. Padahal bila mau sama-sama instropeksi, pokok permasalahan bukanlah pada tekstual peraturan. Polemik ini tidak akan terjadi bila sang Wagub legowo dan paham suasana hati rakyat. Polemik ini juga otomatis akan berhenti bila bulan depan sang Wagub mengikuti langkah Gubernurnya, merelakan untuk satu hari tidak merasakan kenyamanan dan kemewahan mobil dinas yang merupakan fasilitas dari rakyat.
Terlepas dari polemik yang jelas diketahui siapa biang keroknya, penulis ingin fokus pada tujuan dan manfaat dari Instruksi Gubernur tersebut. Tujuan dari Ingub dapat dilihat dalam kalimat pertama, Dalam rangka mendukung dan penghematan bahan bakar minyak (BBM), dan mengurangi kemacetan serta MEMBERI CONTOH kepada masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum. Khusus pada kata-kata dengan huruf kapital di atas, semua yang memiliki hati nurani pasti paham maksudnya. Siapa lagi yang bisa sangat efektif memberikan contoh kepada jajaran di bawahnya dan juga masyarakat? Tentulah pimpinan tertingginya yang terpilih dalam pilkada, yang mendapatkan mandat dan kepercayaan rakyat Jakarta, yaitu satu paket pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur, Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama alias Jokowi dan Ahok!
Pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada keteladanan terkait efektivitas penggunaan kendaraan dinas yang secara tidak langsung memberi kontribusi pada penghematan dan mengurangi kemacetan.
Selama bertugas menjadi abdi negara atau pelayan masyarakat, penulis cukup sering bertemu dengan pejabat/pemimpin yang low profile atau egaliter. Mereka tidak mentang-mentang, merasa lebih tinggi atau lebih istimewa dari orang lain khususnya pada bawahannya. Pemimpin/pejabat tersebut tidak sungkan berbagi kendaraan dinas yang merupakan fasilitas yang melekat dalam jabatannya. Mereka ikhlas kendaraan dinasnya ditebengi oleh bawahan yang minta ikut serta saat menuju ataupun pulang dari kantor. Seringkali para pemimpin tersebut menepikan kendaraannya saat melihat ada bawahannya yang sedang menunggu angkutan umum, lalu menyuruh mereka ikut naik mobil dinas. Mereka juga tidak keberatan mobil dinasnya dipinjam oleh bawahannya untuk keperluan kantor bahkan kadang-kadang untuk keperluan pribadi seperti mengantar istri yang akan melahirkan atau mengantar pegawai yang sakit ke dokter/rumah sakit. Bahkan penulis sendiri sering merasa malu saat punya pemimpin/pejabat yang selalu mengajak naik mobil dinasnya setiap hari, sedangkan beliau sendiri yang langsung menyetir mobil. Penulis memang tidak bisa menyetir mobil. Atasan penulis malah menjadikan hal ini lelucon yang memotivasi, “Belajar nyetir dong Mir, biar gantian kamu yang nyetir. Biar saya gak disangka sopir kamu.”
Bayangkan jika banyak pejabat/pemimpin seperti ini. Tidak ada yang berkelit pejabat ini itu lebih penting, banyak pekerjaan atau alasan lain yang mengedepankan kepentingan/arogansinya dengan tameng kepentingan rakyat/masyarakat. Hal ini akan menginpirasi lalu para bawahan dan masyarakat juga mencontohnya. Tentu tidak perlu lagi setiap orang membawa kendaraannya sendiri-sendiri. Hal ini jelas menjadi kontribusi yang positif dan signifikan dalam menghemat penggunaan BBM dan juga mengurangi kemacetan. Egoisme dan arogansi berhasil diminimalisir. Semua menjadi mau berbagi dan saling membantu.
Siapapun yang punya atasan, pemimpin, pejabat seperti kisah dalam paragraph diatas tentulah akan gembira, bangga sekaligus terinspirasi. Indonesia memerlukan banyak pemimpin dan pejabat yang seperti itu. Mereka yang egaliter dan tetap membumi meskipun memiliki jabatan tinggi lengkap dengan berbagai fasilitas yang memberikan kenyamanan. Pemimpin seperti itu sangat sadar bahwa jabatan yang sedang disandangnya adalah amanah sehingga tidak menjadi besar kepala, arogan atau merasa lebih istimewa dari orang lain, walaupun berdasarkan jabatannya mereka memang adalah orang penting. Pemimpin seperti ini bukan saja akan dihormati karena jabatannya, akan tetapi dihormati karena sikap mulia dan keteladanannya. Pemimpin seperti akan menginspirasi bawahannya, orang lain dan masyarakat sehingga akan melahirkan pemimpin-pemimpin dengan kualitas yang setara bahkan bisa lebih baik lagi.
Negara dan rakyat Indonesia sangat membutuhkan banyak pemimpin yang egaliter, memberi teladan dan menginspirasi. Bila banyak pemimpin yang demikian baik dalam skala nasional maupun tersebar di berbagai daerah di seluruh nusantara, maka Indonesia akan segera menjadi Negara dan Bangsa yang maju dan adil, rakyatnya sejahtera dan makmur, toto tenterem kerto raharjo, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H