[caption id="attachment_369789" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi toilet. (Shutterstock)"][/caption]
Salah satu tantangan utama dan terberat pemerintahan Jokowi-JK adalah membenahi birokrasi pemerintah. Berbagai upaya dalam membenahi birokrasi telah dilakukan oleh Presiden sebelumnya. Sudah tampak keberhasilan yang mulai dirasakan masyarakat, namun demikian masih sangat banyak hal terkait birokrasi yang sepertinya belum berubah.
Hal dikarenakan selama puluhan tahun birokrasi terbiasa dengan budaya organisasi dan kerja yang kurang/tidak sehat seperti merasa lebih tinggi statusnya dari masyarakat biasa, enggan melayani, malas, kurang/tidak kreatif, tidak terbiasa dengan perubahan dan inovasi, menunggu perintah, dan merasa nyaman dengan apa yang ada. Hal mengakibatkan birokrasi yang masih belum berorientasi kinerja dan prestasi, apalagi sistem yang menghargai birokrasi yang berkinerja dan berprestasi belum berjalan sebagaimana mestinya.
Dari mana harus membenahi birokrasi? Banyak teori yang dikemukakan para ahli. Namun penulis tidak ingin membahas teori-teori tersebut. Penulis ingin menceritakan suatu pengalaman tak terlupakan terkait pembenahan birokrasi. Pembenahan birokrasi dapat dilakukan dari hal yang sangat sederhana bahkan mungkin dianggap remeh- temeh, yaitu bermula dari toilet. Mengapa dimulai dari toilet? Mungkin karena toilet adalah salah satu indikator kebersihan suatu kantor. Dan sebagaimana agama mengajarkan bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Kantor pemerintah yang toiletnya bersih dan tidak jorok, kemungkinan diisi oleh birokrasi yang relatif bersih, efisien dan lebih melayani.
Setiap kantor biasanya memiliki beberapa toilet (toilet wanita dan pria tidak dihitung). Ada toilet yang khusus diperuntukkan bagi pejabat tertinggi di kantor, toilet untuk pejabat/pegawai biasa, dan toilet untuk masyarakat yang datang/dilayani. Kadangkala toilet untuk pejabat/pegawai biasa juga menjadi satu dengan toilet pengunjung/tamu. Khusus untuk toilet pejabat tinggi biasanya terjamin kebersihannya, namun hal ini tidak selalu terjadi pada toilet pejabat/pegawai biasa dan toilet tamu. Kadangkala toilet selain untuk pejabat tinggi kurang terawat, kurang bersih bahkan bau dan jorok. Bila hal ini sampai terjadi, maka bisa jadi pertanda adanya ketidakberesan pada birokrasi yang ada di kantor bersangkutan. Terkait hal ini, penulis pernah memiliki pengalaman berkesan beberapa tahun yang telah lalu.
Suatu waktu penulis sempat bertugas di suatu kantor, di mana menurut penilaian profesional penulis, kantor tersebut tidak melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang ditetapkan peraturan. Hal ini sebenarnya disadari oleh semua pegawai namun terkesan dibiarkan saja dan dianggap tidak ada yang salah. Apalagi manajemen yang seharusnya bertindak untuk memperbaiki kondisi, juga seolah tidak peduli. Penulis yang merupakan bagian kantor berusaha untuk memperbaiki baik dengan memulai dari diri sendiri maupun memberikan masukan, saran dan kritik kepada manajemen.
Karena cara yang halus tidak berhasil, penulis menempuh cara yang tegas dan frontal namun malah dimusuhi manajemen dan pendukungnya. Namun penulis tidak bisa menyerah begitu saja, apalagi sudah banyak keluhan dari anggota yang menginginkan perubahan dan perbaikan, termasuk dari masyarakat/pihak-pihak yang tidak puas dengan pelayanan yang diberikan. Apa daya, penulis yang hanya pegawai rendahan tidak dapat berbuat banyak karena manajemen yang tidak ingin melakukan perubahan/perbaikan. Akhirnya ada pihak yang komplain/melaporkan kantor bersangkutan ke pihak/manajemen yang lebih tinggi.
Pada suatu hari datanglah pihak manajemen yang lebih tinggi ke kantor yang dipimpin langsung oleh seorang pejabat yang menjadi atasan Kepala Kantor bersangkutan. Karena sudah tahu akan ada kunjungan, maka segala hal pun dipersiapkan agar terkesan tidak ada yang salah. Namun ada hal yang luput dan dilupakan oleh manajemen kantor, bahwa pimpinan yang datang memahami seluk beluk peraturan dan standar yang harus dipenuhi serta memiliki teknik tersendiri untuk mendeteksi adanya ketidakberesan.
Setelah ramah-tamah dan formalitas penyambutan kedatangan pejabat, pejabat yang datang tanpa permisi menuju toilet kepala kantor yang dikunjungi. Pejabat tersebut mendapatkan toilet yang menurut penilaiannya adalah kotor berdasarkan bau tidak sedap dan juga terdapat kecoa yang berkeliaran bebas. Selanjutnya dicek juga toilet lainnya yang ada di kantor tersebut. Toilet pemimpin tertinggi saja kotor, maka bisa diduga bahwa toilet pegawai dan tamu juga tidak akan jauh beda bahkan bisa jadi lebih kotor lagi. Dan ternyata dugaan tersebut benar.
Setelah melakukan pengecekan toilet, pejabat tinggi tersebut melakukan pertemuan dengan manajemen kantor. Tanpa melakukan pengecekan yang menyeluruh, sudah bisa terlihat adanya ketidakberesan di kantor tersebut hanya dengan melihat kondisi toiletnya yang kotor dan bau. Apalagi sebelumnya sudah ada laporan masyarakat yang masuk terkait ketidakberesan yang terjadi. Pejabat tinggi tersebut memberikan teguran dan arahan yang tegas kepada manajemen agar segera melakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Selesai memberikan arahan, sang pejabat tinggi memutuskan untuk segera meninggalkan kantor tersebut pada hari yang sama sebagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan atas apa yang terjadi. Padahal rencananya pejabat tinggi dan timnya akan tinggal beberapa hari untuk melakukan kegiatan semacam peninjauan dan audit.
Dengan pengalaman tersebut, penulis jadi mengerti bahwa toilet bisa menjadi pertanda bahwa suatu kantor di dalamnya terdapat birokrasi yang baik ataupun sebaliknya, birokrasi yang kurang baik, kurang melayani dan tidak menaati peraturan. Tanda-tanda ketidakberesan birokrasi bisa dilihat dari hal-hal yang kecil. Toilet yang kotor, bau dan tidak bersih bisa jadi pertanda ketidakberesan birokrasi bahkan mungkin pula masyarakat sekitarnya. Toilet yang kotor bisa jadi adalah representasi birokrasi yang malas, tidak efektif, tidak berkinerja bahkan birokrasi yang kotor? Penulis jadi paham mengapa beberapa pejabat tinggi seperti Dahlan Iskan tidak segan masuk ke toilet di bandara yang diperuntukkan bagi pengunjung. Banyak kalangan yang mencibir tindakan tersebut sebagai berlebihan atau bahkan pencitraan, padahal bisa jadi Dahlan Iskan bisa memperkirakan baik-buruknya suatu manajemen dari hal-hal yang sepele seperti kebersihan toilet yang disediakan bagi pengunjung.
Toilet hanyalah sebuah simbol untuk mendeteksi suatu ketidakberesan yang terjadi pada suatu komunitas birokrasi pada suatu tempat/kantor/daerah. Bahwa dari hal-hal kecil dan terlihat remeh-temeh, bisa jadi merupakan fenomena gunung es yang menyembunyikan ketidakberesan yang lebih besar. Hal ini sepertinya disadari betul oleh beberapa pemimpin Indonesia yang sedang naik daun seperti Dahlan Iskan, Ignatius Johan, Ahok, Ridwan Kamil, hingga Jokowi yang sekarang menjadi Presiden Republik Indonesia. Publik tentu saja masih ingat bagaimana Jokowi tiba-tiba masuk ke dalam sebuah gorong-gorong di jalanan Jakarta yang tentu saja bisa dibayangkan pengap dan bau yang tidak sedap. Hal ini untuk mengecek langsung kondisi/keadaan yang sebenarnya, tidak hanya menerima laporan lisan maupun tertulis.
Hal-hal remeh-temeh seperti yang dilakukan beberapa pemimpin dan pejabat yang diuraikan di atas ternyata cukup efektif untuk mendeteksi adanya ketidakberesan yang terjadi di birokrasi. Selain itu, apa yang dilakukan tersebut dapat menjadi terapi kejut bagi birokrasi agar tidak asal kerja. Hal ini akan membuat birokrasi berusaha melaksanakan tugasnya dengan baik bahkan bila perlu hingga detil dari hal-hal yang kecil sampai hal-hal yang besar, karena birokrasi tidak ingin suatu waktu dan sewaktu-waktu akan ketahuan hal-hal tidak becus yang telah dilakukan atau pun beberapa hal yang diabaikannya.
Dahlan Iskan kini sudah tidak lagi menjadi menteri sehingga kita tidak akan lagi melihat media memberitakan tindak-tanduknya yang out of the box dalam melaksanakan tugas-tugasnya mulai dari hal-hal yang remeh seperti memeriksa toilet ataupun membuka sendiri gerbang tol yang ditutup. Namun masih ada orang-orang seperti Ignatius Johan yang kurang lebih sama caranya dalam memastikan birokrasi yang ada di bawahnya bekerja dengan baik. Juga masih ada beberapa kepala daerah yang tindak-tanduknya seringkali tak terduga demi memastikan birokrasi bekerja sebaik mungkin dalam melaksanakan tugas dan memberi pelayanan seperti Rismaharini.
Jangan lupa pula bahwa Jokowi yang kini menjadi Presiden adalah pemimpin yang out the box dan dengan metode blusukannya dapat mendeteksi ketidakberesan yang terjadi meskipun bagi sebagian kalangan dianggap bukanlah suatu masalah, padahal hal tersebut bisa jadi pertanda ketidakberesan birokrasi yang lebih besar lagi. Apakah apa yang dilakukan Jokowi akan dilakukan juga oleh para menteri dan pejabat yang ada di bawahnya? Kita lihat saja nanti. Mari kita doakan bersama, semoga birokrasi di Indonesia akan semakin baik lagi ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H