Setiap menjelang pesta demokrasi seperti pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah hingga pemilihan presiden, isu-isu berbau SARA selalu menjadi salah satu andalan baik oleh kandidat maupun tim kampanye. Isu-isu berbau SARA tersebut sepertinya dirasa cukup efektif untuk mendiskreditkan kandidat lain sehingga rakyat tidak berkenan memilihnya, sekaligus menaikkan pamor kandidat yang didukung untuk mendapatkan suara pemilih. Salah satu isu SARA yang gencar dihembuskan adalah yang terkait dengan agama, khususnya agama yang saya anut, yaitu Islam.
Mencermati isu-isu SARA yang mengaitkan ajaran agama Islam yang sangat saya hormati, membuat risih dan menjadi terganggu dengan hal tersebut. Pengetahuan agama Islam saya memang tidak seberapa, masih sangat jauh dari level ustads, tidak pernah sekolah di pesantren apalagi kuliah di perguruan tinggi Islam hingga ke Mesir atau Arab Saudi, naik haji pun masih belum mampu baik dari segi ekonomi maupun ilmu agama. Meski demikian, dari pengalaman mengikuti pengajian-pengajian serta membaca literatur-literatur keislaman baik dari buku-buku ataupun di dunia maya, sedikit banyak saya bisa merasakan, mana yang berbuat sesuatu untuk agama Islam dan mana yang bawa-bawa agama Islam untuk mendapatkan sesuatu.
Beberapa isu yang sepertinya sudah keterlaluan dan salah kaprah sehingga berpotensi mencoreng citra agama Islam itu sendiri, yaitu:
1. Meragukan keislaman orang lain
Isu seperti ini sangat banyak di media internet/media sosial dan juga disebarkan dari mulut ke mulut. Selain terang-terangan menyatakan seseorang bukan muslim, hal ini juga dilakukan dengan membuat informasi yang menyatakan seorang tokoh bukan berasal dari keluarga muslim sehingga diragukan keislamannya.
Hal ini sangat bertentangan dengan materi agama Islam yang saya pelajari dari kecil baik secara formal maupun non formal. Seseorang dianggap muslim apabila yang bersangkutan telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tidak dibenarkan muslim yang lain mengatakan seseorang itu bukan muslim kecuali yang bersangkutan memang terang-terangan mengatakannya. Setiap muslim sepertinya pernah mendengar sebuah sirah/kisah baik dalam pengajian ataupun membaca di literatur-literatur terkait dilarangnya mencurigai atau meragukan keislaman seseorang.
Kisah tersebut adalah tatkala dalam sebuah peperangan, seorang pasukan berduel dengan musuhnya. Musuh yang telah terdesak dan dalam posisi terjepit menyerah dan mengatakan ia telah menjadi orang Islam/bersyahadat. Pasukan tersebut tidak percaya dan beranggapan pengakuan itu dilakukan karena posisinya yang terdesak saja, akhirnya sang musuh pun dibunuhnya. Mengetahui hal ini Rasulullah bukannya membela, malah tidak berkenan dan memberikan hukuman kepada yang bersangkutan atas tindakan tersebut. Kepada pasukan tersebut dikatakan “Tidakkah kamu belah dadanya, lalu kamu keluarkan hatinya supaya kamu mengetahui, apakah hatinya itu mengucapkan kalimat itu (syahadat) atau tidak?”
2. Mengibaratkan pemilihan presiden sebagai perang badar
Hal ini baru-baru saja dikatakan oleh seorang tokoh penting yang merupakan pendukung capres tertentu dalam suatu kegiatan penggalangan dukungan. Tokoh tersebut meminta para pendukung yang beragama Islam untuk meniru semangat perang badar dalam memenangkan capres yang mereka dukung. Beberapa tokoh Islam pun sontak tidak setuju dengan apa yang diucapkan sang sesepuh sebuah partai politik tersebut. Siapapun yang pernah membaca kisah Perang Badar yang merupakan perang suci dan sangat menentukan dalam kiprah Islam hingga sekarang, tentu akan maklum dengan ketidaksetujuan tersebut.
Perang Badar adalah perang dimana pasukan muslim hanya berjumlah 300-an orang dengan persenjataan dan logistik yang seadanya, melawan pasukan musuh, ingin menghancurkan Islam. Jumlah musuh lebih dari tiga kali lipat yaitu 1.000-an orang dengan persenjataan lengkap dan logistik yang berlimpah. Dalam perang tersebut, atas ijin Allah SWT pasukan muslim meraih kemenangan.
Jelas saja karakteristik situasi, kondisi dan personel dalam rangka pemenangan pemilihan presiden sangat tidak sepadan dan tidak relevan dengan perang Badar. Perang Badar adalah kontak fisik dengan senjata, sedangkan pilpres adalah perang visi, program dan janji. Pemilihan presiden ini sangat jelas penuh intrik dan berorientasi kepentingan kekuasaan, bukan perang suci. Kedua capres-cawapres yang akan dipilih sama-sama beragama Islam. Masing-masing capres memiliki parpol berbasis masa tradisional Islam. Para pendukung capres pun terdiri dari orang-orang Islam atau muslim, begitupun juga para capres mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia lainnya yang bukan beragama Islam. Masing-masing capres mendapat dukungan dari berbagai pemeluk agama, Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu dan kepercayaan lainnya.
Penggunaan istilah perang badar dalam pilpres bisa saja berpotensi kurang baik dalam kehidupan masyarakat. Bagian masyarakat yang belum mengerti mungkin saja menanggapinya dengan cara yang ekstrim. Apalagi sebelumnya sudah ada isu sara yang meragukan keislaman capres yang lain.
3. Pendukungnya mencerminkan sang tokoh
Materi kampanye yang ketiga ini sangat memaksakan analogi dalam rangka mendiskreditkan seorang capres demi menguntungkan capres yang didukungnya. “Golongan X yang berseberangan dengan agama Islam mendukung capres A, sehingga capres A pasti mendukung golongan X. Oleh karena itu jangan pilih capres A” Demikian kurang lebih informasi yang berseliweran baik dari mulut ke mulut ataupun di internet seperti beberapa website dan media sosial.
Logika dan analogi ini terlihat sangat memaksa. Apa salah sang Capres A, jika golongan X mendukungnya menjadi presiden? Apakah sang Capres A harus menolak dukungan tersebut? Apakah sang Capres A yang didukung oleh golongan X otomatis sepaham dan sepemikiran dengan ideologis golongan X? Presiden yang dipilih akan mengurusi banyak hal, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, insfrastruktur dan ribuan persoalan lainnya. Tidak hanya ideologi tertentu saja. Bisa jadi golongan X yang walaupun berseberangan dengan agama Islam, memilih capres A karena pertimbangan non Idiologi, meskipun ada juga kemungkinan berlatar ideologi. Namun demikian, siapa yang bisa memastikan si Capres A karena mendapat dukungan golongan X akan mengakomodir penuh keinginan ideologi golongan X? Apakah si capres A juga akan begitu saja mengabaikan konstituennya yang juga banyak beragama Islam? Atau apakah ada jaminan si Capres B yang tidak didukung golongan X akan sepenuhnya mengakomodir keinginan pendukungnya yang beragama Islam untuk memberangus golongan X?
Demikianlah beberapa isu sara terkait agama Islam yang dilontarkan tokoh, tim kampanye, pendukung dan simpatisan, khususnya dalam mengupayakan agar capres yang didukungnya bisa menang dalam pemilihan presiden tanggal 9 Juli 2014 yang akan datang. Isu-isu sara tersebut menurut saya sangat berlebihan dan tidak sepantasnya dilakukan. Kecintaan kepada agama sendiri memang dibenarkan dan sangat dianjurkan. Namun demikian, harus tetap diselaraskan dengan ajaran agama yang mengedepankan keluhuran moral dan cara-cara yang benar, baik dan jujur. Bukan hanya karena sangat mengiginkan kemenangan, maka segala cara dihalalkan dan dibenarkan.
Mungkin hal tersebut dilakukan karena menganggap rakyat Indonesia masih bodoh dan mudah terpengaruh isu sara terkait agama. Bisa jadi, orang-orang tersebut lupa, bahwa isu sara justru berpotensi memukul balik mereka. Bukannya mendapatkan dukungan, malah memanen antipati dan rakyat menjadi tidak mau memilihnya. Indonesia memiliki banyakmasalah yang masih sangat elementer terkait kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, insfrastruktur, keterpencilan dan korupsi. Hal inilah yang lebih dibutuhkan dan mendapatkan perhatian dari rakyat Indonesia. Oleh karena itu lebih baik fokuskan energi dan pemikiran untuk memamerkan visi, program dan kinerja terkait hal-hal tersebut. Mengapa kita bangga mengail di air keruh? Bahkan berusaha membuat air di Indonesia terus menjadi keruh? Mari jadikan air tersebut jernih, agar bisa kita minum bersama bahkan bisa dibuat untuk berkaca dan saling menebar senyuman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H