Lihat ke Halaman Asli

Amirsyah Oke

TERVERIFIKASI

Hobi Nulis

Semoga Tidak Banyak Guru SD yang Seperti ini

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

DKI Jakarta sekitar sepuluh tahun yang lalu, seorang anak kelas satu SD bertanya kepada penulis terkait pekerjaan rumah (PR) yang diberikan guru di sekolahnya. Sekolahnya adalah Sekolah Dasar Negeri di dekat rumah kami.

PR-nya adalah soal yang sangat sederhana berdasarkan buku yang ada dalam LKS (Lembar Kerja Siswa). Pertanyaannya terkait perubahan bentuk zat cair: Bila air dituangkan ke dalam gelas maka akan berubah bentuk menjadi? Bila air dituangkan ke dalam mangkuk maka akan berubah bentuk menjadi? Demikian seterusnya.

Sebelum membantu anak tersebut belajar dalam mengerjakan PR nya, penulis tergelitik ingin tahu bagaimana guru menjelaskan pelajaran tersebut di sekolah. Penulis tanyakan bagaimana guru menjelaskan materi pelajaran sebelum memberikan PR. Dari jawaban sang anak, penulis dapat memastikan bahwa guru di sekolahnya tidak menggunakan metode mengajar yang seharusnya bisa mudah di mengerti dengan contoh-contoh yang melibatkan murid.

Penulis segera mengambil beberapa peralatan rumah tangga yang terbuat dari kaca atau plastik bening seperti gelas, piring, mangkuk dan benda-benda lainnya dalam berbagai bentuk dan ukuran. Penulis letakkan di atas meja lalu menyuruh si anak untuk mengisinya penuh dengan air. Air yang digunakan terdiri dari tiga warna yaitu bening (tanpa warna), serta warna merah dan hijau yang berasal dari sepuhan makanan yang biasa digunakan istri saat membuat kue.

Setelah si anak mengisi penuh air ke dalam berbagai peralatan rumah tangga, penulis lantas menanyakan satu bersatu, air tersebut berubah bentuk menjadi apa saja? Dengan mudah sang anak menjawabnya dan akhirnya selesailah PR dari sekolah tanpa penulis memberikan satu jawaban pun. Setelah praktek sederhana tersebut, penulis menjelaskan sedikit tentang sifat zat cair yang salah satunya adalah akan berubah bentuk sesuai dengan ruang yang ditempatinya. Si anak tampak berbinar-binar mengikuti penjelasan penulis yang disertai contoh-contoh sederhana menggunakan peralatan sederhana yang ada di setiap rumah tangga. Penulis pun mencoba mengetes dengan bertanya menggunakan benda-benda lain yang tidak dipakai dalam praktek/contoh, bila air berada di drum atau bak mandi atau tangki atau bola maka bentuknya akan menjadi? Si Anak pun dengan mudah dan cepat bisa menjawabnya.

Barusan hari ini, anak penulis yang baru kelas satu SD bertanya mengenai PR-nya. Anak penulis bersekolah di sebuah SD negeri di Makassar, kota tempat penulis sedang bertugas. Pertanyaannya adalah: Cabang dahan adalah..... ? Pertanyaan yang sangat mudah untuk dijawab. Tinggal menjawab ranting, maka terjawab sudah. Namun lagi-lagi penulis tergelitik mengenai apa saja yang dipelajari si anak di sekolah dan bagaimana cara sang guru mengajar murid di sekolah.

Penulis bertanya pada anak, apakah guru di sekolah pernah mengajak murid-murid untuk datang langsung ke sebuah pohon dan mengajarkan mengenai pohon tersebut terkait bagian-bagian pohon dan kegunaannya. Penulis juga bertanya pada istri dan sang kakak yang secara bergantian sering menunggui di sekolah. Jawabannya: TIDAK PERNAH! Penulis pun geleng-geleng kepala. Bukankah kurikulum 2013 katanya bertujuan agar guru mengajar murid dengan metode yang menyenangkan, disertai contoh dan juga agar anak terbiasa menggunakan pikirannya?

Penulis juga melihat-lihat buku yang digunakan di sekolah. Di sampulnya tertulis “Buku Pendamping Cemara, Cerdas Mandiri dan Kreatif”. Penulis mencari materi bacaan terkait pembahasan pohon di buku tersebut, namun tidak ada. Yang ada hanya gambar pohon tanpa disertai penjelasan bagian-bagian pohon. PR yang ditanyakan anak penulis terkait dengan pelajaran di buku yang bertema “Mari Mengenal Sekitar Kita”. Akhirnya penulis menyimpulkan, kejadian sepuluh tahun lalu terulang kembali, dimana sekolah/guru sepertinya tidak tahu bagaimana pola mengajar yang baik dan tepat untuk muridnya, khususnya yang baru kelas 1 SD.

Penulis pun memutuskan menghentikan aktivitas membaca di Laptop. Penulis menyuruh anak untuk menggambar pohon yang ada di halaman rumah. Bila menggambarnya sudah selesai, baru menjawab soal-soal PR dari sekolah. Anak penulis segera mengerjakannya dengan gembira karena memang hobinya adalah menggambar.

Selesai menggambar, penulis mengajak anak menuju pohon mangga besar yang ada di halaman rumah. Di sekitar pohon mangga tersebut ada beberapa pohon kecil lainnya seperti pohon jambu, pohon bunga kertas dan pohon mengkudu. Penulis jelaskan satu persatu bagian-bagian dari pohon mangga beserta fungsi dan kegunaannya. Sambil menjelaskan penulis mengajak anak untuk menyentuh bagian-bagian pohon, dari akar hingga daun. Penulis pun meminta pada anak untuk menyebutkan dan menunjukkan bagian-bagian pohon pada pohon-pohon lainnya yang ada di halaman rumah. Nama-nama bagian pohon pun dituliskan dalam gambar pohon yang sudah dibuat sebelumnya. Dengan mudah sang anak bisa melakukannya. Sesi mengenal pohon dadakan pun berakhir setelah anak penulis mengatakan telah mengerti dan bisa menjawab sendiri soal-soal dalam PR dari sekolahnya. Penulis merasa puas dan bahagia melihat sang anak yang dengan mata berbinar dan senyum senang bisa menyelesaikan PR nya.

--

Kejadian di minggu pagi ini, dan juga kejadian sebelumnya membuat penulis sangat prihatin dengan kualitas pendidikan kita khususnya terkait kualitas guru dan cara mereka mengajar/mendidik di sekolah. Apa jadinya masa depan Indonesia apabila banyak guru-guru yang sepertinya tidak mengerti bagaimana cara mengajar/mendidik yang baik, efektif dan optimal. Padahal semua hal di sekitar kita bisa digunakan untuk mengajar dan mendidik anak-anak agar lebih paham dan mengerti. Semua itu sangat sederhana, mudah dikenali bahkan tidak perlu mengeluarkan biaya sama sekali.

Apakah hal-hal seperti ini tidak diajarkan atau dipelajara mereka yang akan atau telah menjadi guru? Tidakkah mereka dengan mudah bisa menjumpai hal ini dalam berbagai literatur atau bacaan terkait bagaimana mengajar/mendidik anak/murid? Penulis saja yang bukan guru mengetahui hal ini. Atau jangan-jangan guru tersebut tidak peduli dan tidak mau menerapkan apa yang telah mereka pelajari? Atau jangan-jangan guru-guru dalam kasus yang penulis angkat di artikel ini hanyalah satu atau dua oknum?

Penulis berdoa semoga apa yang penulis alami hanyalah segelintir dari sekian banyak guru-guru yang berkualitas di Indonesia. Semoga saja hanya satu atau dua guru-guru yang seperti itu. Semoga guru-guru tersebut segera berbenah untuk meningkatkan kualitasnya karena kesejahteraan mereka pun sepertinya relatif jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Semoga tidak banyak Guru SD seperti yang ada dalam pengalaman penulis. Aamiin. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline