Lihat ke Halaman Asli

Amirsyah Oke

TERVERIFIKASI

Hobi Nulis

Sekolah, Antara yang Adil dan yang Tidak

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tuntutan tugas yang berpindah-pindah, membuat kami memiliki pengalaman yang beragam. Salah satu diantaranya adalah saat berurusan dengan pihak sekolah dalam rangka mengurus kepindahan anak-anak. Ada pihak sekolah yang sangat kooperatif bahkan bisa dikatakan sangat simpatik dan berlaku adil, namun ada juga yang sebaliknya.

Pengalaman pertama saat harus memindahkan anak yang baru saja masuk di sekolah TK swasta umum. Belum juga satu semester bersekolah, di semester berikutnya pada awal tahun harus pindah sekolah mengikuti kami yang ditugaskan di daerah yang cukup jauh pada pulau yang berbeda. Pengurusan pindah begitu mudahnya, dan para guru tampak sedih kehilangan muridnya. Bukan itu saja, pihak sekolah malah mengembalikan uang yang telah kami bayarkan untuk satu tahun yang harus dibayar dimuka sebagai syarat untuk bersekolah di tempat tersebut. Mereka mengembalikan setengahnya, karena menurut mereka anak kami hanya bersekolah satu semester.

Kami tidak menyangka akan seberuntung itu. Padahal kami sudah pasrah dan berusaha mengikhlaskan pengeluaran tersebut. Meskipun secara logika memang seharusnya dikembalikan, namun situasi sekarang yang penuh materialisme membuat kami berpikir realistis. Apalagi banyak sekolah saat ini jadi ajang bisnis, untuk memperbanyak penghasilan dan keuntungan. Sekolah negeri saja kadangkala banyak pungutan, apalagi sekolah swasta seperti tempat anak kami bersekolah. Syukurlah ternyata fenomena tersebut tidak terjadi di sekolah TK swasta umum tersebut. Semoga sekolah tersebut dan para gurunya selalu konsisten mengimplementasikan integritas dan keadilan dalam menjalankan kegiatannya. Semoga Tuhan memperbanyak rejeki mereka dan memberikan pahala dan kebahagiaan yang berlimpah.

Pengalaman lainnya saat harus kembali memindahkan sekolah anak yang sama. Bedanya sekarang sudah kelas lima SD di sekolah swasta, sebuah sekolah dasar islam terpadu (SDIT). Sekolah yang mengklaim memberikan pengajaran agama yang lebih banyak dan lebih baik dari sekolah umum baik negeri atau swasta. Kebetulan waktunya juga sama yaitu di semester pertama, semester kedua akan pindah ke sekolah lainnya di tempat tugas kami yang baru.

Di sekolah ini, untuk mengurus kepindahan relatif ada hambatan. Namun setelah berusaha menjelaskan, akhirnya surat pindah pun bisa dibuatkan. Sekolah tersebut juga mengharuskan membayar uang bulanan sekolah (SPP) pada bulan Januari di semester berikutnya. Awalnya kami mencoba berargumen bahwa di bulan Januari tersebut anak tidak lagi mendapatkan pelayanan pendidikan, seharusnya tidak lagi dibebankan biaya pendidikan bulanan. Kami juga mengingatkan bahwa sudah melunasi beberapa komponen biaya sekolah bulanan yang diwajibkan dibayar setahun penuh di awal tahun. Seharusnya kami mendapatkan pengembalian separuhnya.

Pihak sekolah bersikeras. Uang yang sudah dibayar setahun dimuka tidak dapat dikembalikan. Demikian juga kami tetap harus membayar biaya bulanan pendidikan untuk bulan Januari. Akhirnya kamipun terpaksa mengikuti keinginan pihak sekolah, demi segera mendapatkan surat pindah sekolah. Selain itu kami tak ingin berlama-lama, khawatir malah terjadi perdebatan yang panjang dan membuat suasana menjadi tegang bahkan menjadi keributan. Sungguh malu membayangkannya.

Dari dua kejadian yang bertolak belakan tersebut, kami mendapat pelajaran berharga. Bahwa dalam institusi pendidikan belum tentu nilai-nilai kebaikan dan keadilan akan dilaksanakan dengan semestinya. Sangat mungkin dalam institusi pendidikan itu sendiri, malah terjadi hal-hal yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya melekat dalam dunia pendidikan. Sekolah yang mengklaim berdasarkan nilai-nilai agama dan mengajarkan moral agama lebih banyak dari sekolah umum pun belum tentu lebih baik dari sekolah umum yang pelajaran agamanya relatif terbatas.

Dunia pendidikan seharusnya menjadi contoh perilaku berintegritas, jujur, dan adil. Semua itu menjadi satu dalam pemikiran yang mengedepankan akal sehat untuk memberikan kebaikan dan keadilan bagi sesama. Sayangnya tidak semua hal ideal dalam teori-teori pendidikan mau diterapkan atau berusaha diterapkan dalam dunia pendidikan, khususnya di intitusi pendidikan seperti sekolah. Dalam pengalaman kami ini, sekolah umum ternyata relatif bisa menerapkannya dibanding sekolah yang mengklaim berbasis agama. Semoga hal ini hanya merupakan dua pengalaman kami yang hal-hal negatifnya tidak terjadi di sekolah-sekolah lain di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline