Lihat ke Halaman Asli

Jokowi

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

JIKA ada birokrat yang aktivitasnya diekspos layaknya selebritas, itulah Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo alias Jokowi. Apapun yang dilakukan Jokowi menjadi berita. Garuk-garuk kepala menjadi berita. Membeli tabloid wanita jadi berita. Naik sepeda jadi berita. Jokowi bagai magnet berita untuk wartawan. Setiap sisi dari Jokowi sepertinya selalu diberitakan. Khususnya oleh media online dan cetak.

Dalam dunia jurnalistik, ada idiom,“Orang digigit anjing bukanlah berita, tetapi anjing digigit orang itu baru berita.” Sebuah peristiwa mempunyai nilai berita karena peristiwa itu unik atau menarik. Terkecuali “yang digigit anjing” itu adalah publik figur atau tokoh terkenal. Jokowi dalam konteks ini adalah “orang yang digigit anjing,” karena itu ia menjadi sumber berita walaupun yang dilakukannya hal yang biasa-biasa.

Benar bahwa mantan wali kota solo itu sekarang menjadi pemimpin Jakarta. Kemenangannya unik dan fenomenal, kebijakannya sampai hari ini pun luar biasa—dibandingkan pemimpin sebelumnya. Tetapi berita tentang Jokowi tidak selalu berkaitan dengan tugasnya sebagai gubernur. Banyak hal yang remeh temeh ditulis seperti berita infotainment.

Derasnya berita tentang Jokowi hampir selalu ada di setiap hari. Maka tak heran penggemar musik rock tersebut dianggap sebagai kekasih media (media darling). Jokowi tak sekadar menjadi sumber berita. Media juga selalu menempatkan Jokowi dari angle yang positif. Ini bisa dilihat dari judul-judul berita yang “berpihak” pada Jokowi. Dan sebagai seorang pejabat, sangat jarang media yang menyebutkan Jokowi di judul maupun di tubuh berita dengan sebutan gubernur, misalnya. Selalu Jokowi, Jokowi dan Jokowi. Kebijakan dan program pemerintahan provinsi dipersempit seolah hanya kebijakan Jokowi. Tetapi itulah nikmatnya menjadi media darling. Karena itu jangan sekali-kali berseberangan atau mengkritik kebijakan Jokowi,—setidaknya untuk sekarang ini—jika tak ingin dihakimi media (dan) massa. Terutama di-bully.

Dalam hal tertentu, media massa itu seperti birokrasi. Jika menjadi kawan, media bisa menjadi kawan yang menyenangkan, tetapi jika menjadi musuh, akan menjadi musuh yang menyebalkan dan menjijikkan. Saat ini sepertinya media sedang berkawan mesra dengan Jokowi. Simbiose mutualisme terjalin antara keduanya. Wartawan mendapatkan berita dengan mudah “hanya” dengan mengikuti suami dari Iriana tersebut. Sementara Jokowi mendapat untung dengan publikasi gratis.

Tetapi menjadi sorotan media sebenarnya dilema. Seperti dua sisi mata pisau yang sama-sama tajam. Sebagai pejabat tokoh partai popularitas Jokowi akan semakin naik, citranya menjadi positif. Program-programnya yang sudah terrealisasi maupun yang belum terwujud mudah diketahui masyarakat. Tetapi kerugiannya, ia harus selalu tampil dan bersikap “sempurna,” tak boleh ada kesalahan sekecil apapun. Dengan pemberitaan yang terus-menerus tentang Jokowi, ekspektasi atau harapan masyarakat akan semakin tinggi pada sang figur. Semakin tinggiharapan, semakin berat beban bagi Jokowi. Ibaratnya, masyarakat menginginkan nilai sembilan, tetapi Jokowi hanya mampu meraih nilai delapan, masyarakat bisa kecewa. Walaupun pada dasarnya nilai delapan itu sudah bagus. Tetapi karena harapan yang terlalu tinggi maka Jokowi bisa dicap tidak becus seperti yang lainnya.

Bercermin dari kepemimpinannya di Solo, masyarakat Jakarta berharap Jokowi bisa mengatasi permasalahan di provinsi terpadat tersebut. Jokowi diharapkan bisa mengurai kemacetan Jakarta, banjir, sampah, kemiskinan dan lainnya. Media massa dalam hal ini mendorong Jokowi—dan Basuki “Ahok” Purnama tentunya—menjadi pahlawan untuk membongkar-bangun Jakarta. Tetapi yang dilupakan banyak orang dan juga media adalah masalah Jakarta tidak hanya sistem, birokrasi, tata-ruang, banjir dan kemacetan. Masalah besar Jakarta adalah keserakahan, mentalitas, gengsi dan egoisme penduduknya. Jakarta saat ini menjadi korban oleh keserakahannya sendiri. Nah, mengurangi keserakahan dan egoisme yang membuat Jakarta macet, banjir dan sumpek ini yang sangat berat bagi Jokowi untuk mewujudkannya. Apalagi jika Jokowi hanya bekerja “one man show” tanpa mampu menggerakkan seluruh elemen masyarakat Jakarta.

Cobaan pertama Jokowi adalah ketika sang gubernur ingin memberlakukan kebijakan nomor ganjil-genap pada kendaraan. Gengsi dan egoisme masyarakat mulai terlihat. Masyarakat mulai mengkritik efektivitas program tersebut. Jika benar-benar diterapkan, penduduk Jakarta bersiap-siap membeli kendaraan lagi dengan nomor berbeda. Yang ironisnya justru akan semakin memperbanyak kendaraan dan memperparah kemacetan.

Mengharapkan Jokowi menjadi pahlawan Jakarta, tapi masing-masing individu tak mau berubah mulai dari hal-hal kecil sama saja bohong. Keruwetan Jakarta tak bisa diubah dengan “bim salabim.” Media massa yang selalu menuliskan hal-hal sepele tentang Jokowi secara tidak langsung telah menjadi humas Jokowi. Apalagi jika tidak mengambil jarak dan disertai dengan sikap kritis. Atau mungkin media sengaja menjadikan Jokowi sebagai komoditas untuk meraih keuntungan bisnis. Lihat dan anggaplah Jokowi sebagai manusia pada umumnya, bukan superman. Jangan buru-buru dipuja dan jangan terlalu dini dicela. Jangan paksa Jokowi “menggigit anjing,” sekadar untuk menjadi bahan berita. []




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline