Seperti yang telah kita ketahui bersama, korupsi merupakan salah satu masalah utama yang sedang diperangi oleh negara ini. Di pertengahan 2024 sahaja, publik sudah digemparkan dengan kasus korupsi tambang timah yang kerugiannya mencapai 300 triliun rupiah. Sebuah nilai yang jauh melebihi total kerugian negara akibat korupsi yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada rentang waktu tahun 2013 sampai 2022 yang hanya sebesar 238,14 triliun rupiah. (1)
Layaknya sebuah gunung es, korupsi tambang timah sejatinya berada di puncak tertingginya sahaja. Perlu diingat, nilai ratusan triliun tersebut bukanlah nilai total kerugian negara akibat seluruh kasus korupsi di Indonesia. 300 triliun rupiah tersebut hanya berasal dari satu kasus sahaja, yang padahal, kasus korupsi di Indonesia sangat amat banyak jumlahnya jikalau ingin diusut sampai ke akarnya.
Jikalau kita benar-benar ingin menelisik lebih dalam tentang kasus korupsi di Indonesia, mungkin nilai total dari seluruh kasus korupsi yang ada dapat menggratiskan setiap anak di Indonesia sampai sarjana dengan fasilitas yang jauh lebih baik dari yang ada sekarang ini di tiap universitas. Bagaimana tidak? Korupsi dan turunannya terjadi di hampir setiap tingkat instansi kepemerintahan. Mulai dari jenjang pemerintah tingkat desa, sampai nasional, korupsi terjadi hampir setiap harinya.
“Sudah seperti makan siang sahaja korupsi ini.“
Kenapa hal ini bisa terjadi? Kenapa sepertinya korupsi menjadi semakin terlihat normal, wajar, dan manusiawi setiap harinya?
Menilik dari pengalaman pribadiku yang beberapa kali menjadi ‘saksi’ tindak korupsi dan turunannya, yang jumlahnya hanya ratusan ribu rupiah sehingga mungkin KPK tak akan sampai hati untuk mengusutnya, merasa berhak mendapatkan reward atas pekerjaan/jasa yang telah dilakukan merupakan alasan terbesar kenapa korupsi tak pernah mati di bumi Indonesia.
Para tikus berdasi yang merampas uang rakyat ini mungkin merasa bahwa mereka telah melakukan pekerjaan/jasa yang hanya mereka sahaja yang bisa merealisasikannya. Sebagai permisalan, penyelewengan dana desa untuk pengecoran jalan desa bisa dikorupsi oleh kepala desa beserta perangkat desanya dengan dalih ‘biaya operasional’ untuk mewujudkan jalan desa yang halus tanpa lubang.
Permisalan lainnya, ‘pemotongan’ dana bantuan sosial sebanyak satu persen per kepala sebagai ‘ucapan terima kasih kepada pahlawan pencetus program bantuan sosial’ juga sangat amat mungkin untuk bisa terjadi.
Mereka-mereka ini, para koruptor, merasa bahwa dirinya adalah pahlawan yang harus diberi apresiasi atas kinerjanya. Mereka haus akan validasi sehingga mereka lupa bahwa gaji yang selama ini mereka terima setiap bulannya merupakan wujud nyata apresiasi yang telah diberikan oleh seluruh rakyat Indonesia atas segala hal yang mereka kerjakan selama ini. Mereka bahkan merasa congkak, merasa kastanya berada di atas rakyat biasa, hanya karena mereka menjadi pejabat publik.
Mereka lupa bahwa sejatinya mereka hanyalah wakil dari rakyat, yang dibayar oleh rakyat untuk mengelola kepentingan rakyat. Dan mereka lupa bahwa inovasi, aksi, dan reaksi yang mereka lakukan adalah tuntutan atas kewajiban mereka sebagai seorang pejabat publik.
Akan tetapi, ada sebuah kondisi khusus dimana aku secara pribadi tidak bisa menyalahkan seseorang melakukan korupsi. Sebagai permisalan, ketika seorang guru honorer, yang kita semua tahu gajinya tidak sebanding dengan beban pekerjaan yang dipikulnya, melakukan korupsi pengadaan buku.