Akhir-akhir ini, berita tentang penangkapan terduga pelaku tindak pidana korupsi sangat marak di Indonesia. Berita-berita ini dapat kita temui tidak hanya di media massa, tapi juga di media sosial yang seharusnya menjadi tempat kita bersuka-cita. Yang menjadi masalah adalah, ada beberapa di antaranya yang merupakan individu yang terlihat alim dan taat dengan ajaran agamanya. Bahkan di lingkunganku pribadi, ada beberapa oknum pemuka agama yang jelas-jelas terlibat korupsi di beberapa proyek di daerah. Hal ini mengundang sebuah pertanyaan di benakku, apakah agama bisa benar-benar menjadi solusi dari maraknya tindakan koruptif yang ada saat ini?
Secara teori, korupsi adalah tindakan tidak jujur yang memanfaatkan jabatan atau kuasa untuk mendapatkan keuntungan bagi pribadi dan atau pihak tertentu. Dalam praktiknya, korupsi merupakan tindakan yang merampas hak orang lain, yang mana hal itu dilarang keras oleh semua agama yang diakui di Indonesia. Namun, larangan ini nampaknya tidak cukup kuat untuk menggerakkan hati para koruptor di Indonesia yang jumlahnya jutaan jiwa.
Bagaimana tidak? Saat ini, takut tidak bisa makan esok hari saja masih menjadi salah satu ketakutan terbesar rakyat Indonesia. Selain itu, tuntutan lingkungan sekitar agar kita dapat 'terlihat' hidup berkecukupan, dengan segala standar hidup yang tidak jelas asal-usulnya, juga menjadi pilar terbentuknya sistem yang korup di segala lini. Tak heran jika rasa takut manusia akan Tuhannya seringkali kalah oleh ketakutan akan masa depan yang tidak pasti seperti ini.
"Menghina Tuhan tak perlu dengan umpatan dan membakar kitab-Nya. Khawatir besok kamu tak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan,"
kata Sudjiwo Tedjo. Pernyataan ini seharusnya cukup menohok untuk banyak orang, mengingatkan bahwa kepura-puraan dalam kesalehan demi menutupi perbuatan haram seperti korupsi adalah penghinaan terhadap agama itu sendiri.
Nyatanya banyak orang berpikir bahwa korupsi haruslah bernominal fantastis. Padahal, memalsukan harga ayam geprek pesanan ibumu dengan menaikkannya sebesar dua ribu rupiah juga merupakan korupsi. Memasukkan kembalian uang fotokopi berkas yang diamanahkan oleh guru ke dalam kantong sebagai 'upah' tanpa bilang-bilang juga merupakan tindakan korupsi. Namun, hanya karena nominalnya kecil, banyak orang yang tidak mempermasalahkannya. Normalisasi tindakan-tindakan kecil ini dapat melahirkan jiwa koruptif yang akan mencaplok yang bukan haknya dengan nominal lebih besar di kemudian hari.
Untuk dapat mencegah segala kemungkinan kebangkitan para koruptor di masa depan, revolusi mental yang dibarengi dengan peningkatan mutu pendidikan perlu dilakukan. Tentu saja, unsur keagamaan juga menjadi hal yang wajib diselipkan guna memperkokoh pondasi moral para generasi penerus bangsa. Dengan menanamkan jiwa amanah yang dibarengi dengan pola berpikir kritis dan logis, bibit-bibit koruptor dapat diberantas bahkan sebelum menjadi janin.
Namun, hal ini butuh pengorbanan yang tidak sesederhana itu. Orang-orang dari generasi sebelumnya perlu mengalahkan ego dan kepentingannya masing-masing jika hal ini ingin direalisasikan. Sehingga muncul satu pertanyaan baru, maukah kita berjuang dan berkorban untuk generasi mendatang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H