Rasanya, baru kemarin kita berkutat dengan makalah, jurnal, seminar, penelitian, dan juga kongkalikong dengan rekan seperguruan agar paraf senantiasa terisi di lembar kehadiran, sebab raga menolak hadir.
Perasaan rindu dengan aktivitas semasa kuliah, seakan menghantui kita yang baru sebulan menerima gelar sarjana. Biasanya, rindu seperti itu hadir saat liburan semester. Dan, hanya cukup kata "rindu" yang terlontar dari mulut si rajin sampai si pemalas, sebagai dalih untuk segera melakukan pertemuan. Namun, kali ini sulit rasanya melontarkan kata "rindu".
Masing-masing dari kita perlahan mulai tersadar untuk benar-benar pergi dari lingkungan yang kadang menjengkelkan, menuju ruangan yang penuh sesak dengan alat-alat penunjang pekerjaan. Masih baik bila aktivitas baru tersebut berpihak kepada kita.
Kalau tidak? Ya...mau tidak mau harus meratapi lembaran masa lalu sendirian---Di dalam kamar, jamban, angkot, bahkan saat menunggu lampu lalu lintas berganti warna menjadi hijau.
Nasib memang nasib! Rindu datang tidak pernah bernegosiasi dengan kondisi kita yang belum berhasil mendapat pekerjaan pertama seusai lulus.
Sekarang kira baru tahu. Rindu memang berat, sekaligus menyusahkan. Bagaimana tidak! Pasalnya, di tengah ambisi untuk hidup mandiri belum berhasil di turuti, rindu malah sengaja ikut-ikutan menuntut agar kita menuntaskan bagiannya. Khususnya rindu bertemu dengan kawan atau pacar. Atau, bisa juga sepaket---kawan yang telah berhasil dinaturalisasi menjadi pacar. Tak pelak, kita selalu ingin kembali ke masa-masa di mana segala kebutuhan hidup selalu di tanggung oleh orang tua.
Jangan kaget! Keduanya (rindu dan ambisi) memang gemar menghantui sebagian besar kaum Fresh Graduate.
Dalam benak kita, mungkin sesekali terpikir rencana untuk membunuh rindu. Bagaimana pun caranya, rindu harus lenyap secepatnya. Tapi sayang, kita langsung dihadapkan dengan kenyataan bahwa setiap manusia yang masih memiliki kesehatan, pasti bakal merasakan rindu. Berbeda hal nya dengan mereka yang mengidap penyakit pada otak, sampai harus kehilangan ingatannya.
Para penderita "amnesia" diakui merasa kesulitan untuk mengingat kembali segala kenangan yang pernah dialami, bahkan terkadang melupakan dirinya sendiri. Dari situ lah, seharusnya kesadaran kita sudah harus tumbuh, dan kembali menjalani kehidupan. Sembari merumuskan sendiri antonim dari "rindu" yang sebenarnya bukan lah "benci", melainkan "amnesia".
Meskipun rasanya tidak etis menggantikan "benci" dengan jenis penyakit yang menyerang kinerja otak manusia. Namun, jikalau kita menengok pada realitas yang sebenarnya. Mungkin akan menjadi lebih terang. Menyatakan keyakinan pribadi ke hadapan publik memang berat, sama seperti rindu. Apalagi jika harus menjelaskan tentang siapa yang dapat merindu.
Ingat kata orang tua dulu "Waktu tidak dapat di putar; di jilat; apalagi di celupin"