Lihat ke Halaman Asli

Selamat Jalan Masa Lalu

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk". ( QS. Al Qashash [28] : 56) Suara bising kendaraan yang lalulalang di jalan raya sudah menjadi bagian dari kehidupanku setiap hari. Pukul 07.00 pagi, aku sudah stand by di jalan Tangerang – Jakarta untuk menunggu bis yang akan membawaku ke tempat kerja. Kadang, kalau beruntung tak perlu menunggu lama di halte. Sinar matahari yang keemasan, pagi ini menemaniku. Rasanya begitu sejuk dan memberiku kekuatan untuk menatap hari esok agar lebih baik. Tak terasa aku sudah 3 tahun menjalani aktivitas ini. Dengan teman-teman kantor, suasana kantor dan bahkan pelanggan dari kantorku yang itu-itu saja. Jika dibilang aku tak bosan, salah. Padahal rasa itu sudah sering datang menghampiriku. Tetapi apa boleh buat, sekarang mencari pekerjaan sulit, apalagi mendapatkan pekerjaan seenak yang saat ini sudah ku raih. Butuh pengabdian dan pengorbanan yang ekstra untuk dapat jabatan ini, lantas kenapa aku tidak menikmatinya. Sambil menunggu bis, aku duduk di halte. Duduk seorang diri dengan sesekali ku lihat blackberry yang sudah agak jadul. Berharap ada pesan dari Angga yang ingin mengabariku. Sudah tiga bulan aku dekat dengan laki-laki asal Palembang ini. Dalam keadaan yang serba tidak karuan, aku teringat masa-masa kelamku. Masa di mana aku merasa jijik dengan diriku sendiri jika mengenang aku yang dahulu. Ya semua ini berawal dari keluarga dan teman sepermainan. Keluarga yang tidak utuh, membuatku mencari kasih sayang di luar. Hingga aku berkenalan dengan Heri; kakak kelas di sekolahku. Masa-masa kelam dan kehidupan penuh dosa aku mulai kala dekat dengan Heri. Sebagai ketua geng, ia sangat disegani dan sekaligus ditakuti. Apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi oleh kawan-kawannya, meskipun barang tersebut hasil dari iuran masing-masing. Tampangnya tidak terlalu keren, bahkan menurutku ia biasa-biasa saja. Apalagi jika dibandingkan dengan Rio, si anak pintar dan juara kelas. Penampilan Rio selalu rapi, wangi dan terlihat bercahaya wajahnya. Hanya saja Rio lebih pendiam dan memilih untuk tidak pamer kehebatan. Karena pacarku ketua geng jadi aku pun bisa ikut disegani. Satu sekolahan tak ada yang berani menggangguku, apalagi menjailiku. Berani mereka seperti itu, bisa-bisa habis dihajar Heri si ketua geng. Pokoknya aku aman dan tak ada yang berani mengusik. Hanya saja kadang Heri memintaku untuk aneh-aneh. Tak terhitung berapa kali aku pernah tidur dengannya. Bahkan hubungan seperti suami istri pun sering kami lakukan. Aku tak kuasa menolaknya, karena aku selalu diberi uang dan barang-barang mewah, entah dari mana ia mendapatkannya. Saat itu aku takluk dan tak bisa berbuat apa-apa. Hidupku merasa cukup dan apa yang aku inginkan terpenuhi. Meskipun ada ketidaktenangan dalam batin ini. Hingga suatu hari aku mengalami keanehan dan seolah ditegur oleh sang kuasa. Siang itu, entah kenapa aku merasa kantuk yang sangat berat. Tanpa pikir panjang, setelah tiba di rumah aku langsung menuju kamar dan tidur. Waktu itu aku tak sempat mengganti seragamku terlebih dahulu. Dalam mimpi tersebut aku dipertemukan dengan Ibu kandungku, dan ia seolah sedang menangis tersedu karena melihat ku. Lantas karena penasaran aku bertanya kepadanya, "ibu kenapa menangis terus..?" Tanyaku sambil memegang bahu ibu. "Nak, apa engkau tidak kasihan dengan ibu dan hidupmu kelak.. jika perbuatan dosa yang sering kau lakukan..." sambil terisak tangis ibu memandang wajahku. Seketika itu juga aku langsung panas dingin. Tubuhku mengeluarkan keringat, padahal cuaca tidak terlalu panas dan juga tidak gerah. Keringat dingin itu terasa begitu banyak, karena seragamku setengah basah. Lalu aku terbangun. Dengan sejadi-jadinya aku menangis dan ingat akan pesan almarhumah ibu. Sejak saat itu aku memutuskan untuk menjauhi dunia gelap dan pergaulan yang tidak baik. Meski mereka masih merayu ku, aku katakan bahwa aku sudah berubah. Aku kasihan pada ibu dan diriku sendiri. Ini pesan khusus dari ibuku. Ada yang percaya dan tidak, tetapi itu hak mereka mau percaya atau pun tidak. Yang jelas saat ini aku sudah menutup masa kelam ku dan membuka lembaran baru. Biarlah masa kelam ini menjadi masa lalu dan menjadi pelajaran berharga untuk hidupku. Aku sudah bertekad dan berjanji untuk menjadi manusia yang baik. Aku ingin kelak mendapatkan tempat yang terbaik. Serta mati dalam keadaan baik (Husnul khatimah). Tiba-tiba bunyi SMS itu membuyarkan lamunanku. Kubaca isi SMSnya "sudah sampe mana?.. sudah naik bis belum...?" demikian isi pesan singkat dari Angga.   "Belum ini masih nunggu, paling sbntar lagi.." kukirim balik ke Angga. Selesai membalas SMSnya Angga, Handphone nokia N1280 warna hitam langsung kumasukan ke dalam tas. Hanya beberapa detik setelah itu, bis yang ku tunggu rupanya telah tiba. Secepat kilat aku berdiri dan langsung meraih pintu masuk. Aku langsung duduk di kursi yang lumayan empuk. Tampaknya masih sepi, sehingga banyak kursi yang masih kosong. Secepat kilat bis itu meninggalkan halte tempatku menunggu tadi. Seperti halnya aku meninggalkan masa kelam menuju masa depan yang lebih cerah. Selamat tinggal masa kelam. Selamat datang masa depan yang penuh dengan kebaikan dan kebahagiaan. Memasuki tahun 2015 ini, merupakan tahun ke 5 aku berusaha menjaga pesan ibu tercinta. Semoga beliau kini selalu tersenyum bahagia menyaksikan aku yang berubah. Terima kasih ibu dan terima kasih ya tuhanku.. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline