Lihat ke Halaman Asli

Amira Aufa

Mahasiswa

Permasalahan Beras di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang: Sebuah Review Artikel Benedict Anderson

Diperbarui: 11 Mei 2021   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Artikel “The Problem of Rice” oleh Benedict Anderson yang termuat dalam INDONESIA Journal terbitan Cornell University Press edisi Oktober 1966 merupakan laporan stenografi dari diskusi Sanyo Kaigi pada 8 Januari 1945. Sanyo Kaigi sendiri adalah dewan penasihat bentukan Jepang setelah ‘Janji Koiso’ diberikan. Dewan ini berisi penasihat senior Indonesia untuk setiap departemen dalam pemerintahan militer Jepang dan dibentuk berdasarkan kekurangmampuan Jepang untuk memahami permasalahan-permasalahan yang bersifat praktis di masyararakat. Pembentukan dewan ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan Jepang terkait masalah yang muncul selama pemerintahannya. Susunan anggota Sanyo Kaigi ini juga bisa disebut sebagai embrio kabinet, dimana setiap departemen/bidang berkumpul dan mendisukusikan masalah kenegaraan.  Hal ini terbukti setelah Indonesia meraih kemerdekaannya. Susunan kabinet yang terbentuk merupakan replika dari Sanyo Kaigi, dengan beberapa pengecualian.

Stenografi yang diterjemahkan oleh Anderson berisi pandangan-pandangan kaum intelektual yang duduk dalam Sanyo Kaigi terkait permasalahan pertanian di Indonesia. Masalah yang dibahas berputar pada pengumpulan dan pendistribusian beras di Pulau Jawa. Diskusi dipimpin oleh Ir. Soekarno dan dilanjutkan oleh paparan komite khusus. Untuk menyelidiki dan memperoleh informasi yang dibutuhkan, dibuat suatu komite khusus untuk masalah ini, yang diketuai oleh R. Otto Iskandardinata.

Kebijakan setor padi wajib bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tentara dan para pejabat, ataupun golongan-golongan penting yang ada. Beras didistribusikan ke posisi-posisi vital untuk menghindari mereka dari inflasi yang terjadi di pasar. Pendistubisan dilakukan secara seragam dan terkendali untuk mencegah kurangnya logistik atas pendaratan sekutu di Indonesia. Besaran kuota yang harus disetor di tiap residen berbeda, pada dasarnya pembagian kuota dihitung melalui jumlah ladang/sawah yang tersedia, namun pada pelaksanaannya berbeda-beda. Padi yang telah dipanen oleh petani kemudian dibawa ke pusat pengumpulan dan dihitung, setelah itu dibawa ke pusat penggilingan. Beras kemudian didistribusikan secara hirarkis dari bawah ke pusat, kemudian didistribusikan lagi ke desa-desa. Hal ini terkesan tidak efektif, ditambah transportasi yang tidak memadai.

Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh R. Otto Iskandardinata, dapat dismpulkan pokok-pokok yang perlu dibenahi dalam pelaksanaan kebijakan Jepang di bidang pertanian. Masalah yang terjadi dapat dikelompokkan dalam proses pengumpulan padi, pendistribusian beras, masalah pasar gelap, dan kekurangan bahan pangan sebagai akibat dari kebijakan tersebut.

Masalah pertama yang dibahas dimulai dari proses pengumpulan padi. Latar belakang permasalahan ini adalah musim kemarau hebat pada 1944 yang berpengaruh terhadap menurunnya produksi padi dan kurangnya penjelasan atau pendekatan yang dilakukan pihak berwenang kepada petani terkait pengiriman padi kepada pemerintah, yang berujung pada menurunnya kepercayaan petani terhadap kebijakan.

Untuk memahami bagaimana kondisi di pedesaan Jawa kala itu, perlu dilihat struktur dan kondisi sosial yang terjadi di sana. Pada masa itu kesadaran kolektif untuk membantu perang “Asia Timur Raya” belum terbentuk, dan tidak seperti situasi di kota besar, sebagian rakyat belum beradaptasi dengan situasi perang, sehingga solidaritas sosial cenderung kurang. Hal ini terjadi terutama di kalangan petani kaya dan orang-orang berpengaruh di desa. Pada saat kebijakan setor padi wajib mulai dilaksanakan di desa-desa, petani kecil merasakan situasi yang sangat memberatkan, salah satunya karena tidak meratanya kebijakan setor padi ini diterapkan di desa. Kepala desa yang memiliki sawah atau petani kaya seringkali menimbun hasil panennya, atau contohnya di Banten, ulama sangat dihormati sehingga kepala desa tidak meminta ulama tersebut untuk ikut menyetor panennya. Bahkan orang-orang yang berperan melakukan propaganda di desa juga menimbun padi. Sehingga, petani-petani kecil yang ketakutan lah yang meminggul beban setor dan menjadi korban. Situasi ini tidak separah di Jawa Tengah, di mana mereka sudah terbiasa menyetor hasil panen mereka, namun mereka tetap memiliki masalah dengan harga yang terlalu rendah.

Berdasarkan paparan Otto Iskandardinata, terdapat kekurangan-kekurangan yang menyebabkan pengumpulan padi belum berjalan dengan baik:

  1. Lambatnya proses dalam pengumpulan padi dari petani ke penggiling dan pusat ditambah sulitnya transportasi menyebabkan kualitas padi yang menurun. Hal ini berujung pada berkurangnya hasil padi yang seharusnya didapat seperti yang sudah dihitung di awal. Hal ini disebabkan oleh faktor teknis (seperti kebocoran dalam perjalanan) ataupun dengan sengaja ditimbun oleh warga, seperi terjadi di Semarang dimana jumlah yang ditimbun hampir sama dengan yang seharusnya disetor. Pendistribusian beras berada di tangan pemerintah, jadi selama beras belum disetor oleh individu, daerah tersebut tidak akan mendapat pembagian beras.

  1. Beragam bentuk kecurangan, mulai dari penimbunan padi hingga black market

  2. Kurangnya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Pemerintah melakukan pengawasan dengan baik hingga tahap pengiriman padi sampai ke pusat pengumpulan, namun setelah tahap itu tidak ada kontrol lebih lanjut. Kekurangan juga timbul dari orang-orang yang berwenang untuk mengumpulkan padi di desa dari segi kualitas. Tenaga kerja di sawah yang kurang juga bisa dijadikan faktor.

Dalam proses pendistribusian beras, didapat informasi berikut:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline