Lihat ke Halaman Asli

Pibu antara Po Bouw Oh dan Jo Ko Oei di Atas Luitai

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14303478361970476707

[caption id="attachment_413777" align="aligncenter" width="600" caption="Gambar: World Martial Arts Tournament Arena, http://gamrx.do.am/1/19463064.jpg"][/caption]

KPU (Komite Pertarungan Unifikasi) sudah menyelesaikan semua persiapan pertarungan tersengit sepanjang sejarah persilatan ini. Empat perguruan silat terkuat dan paling berpengaruh di negeri ini akan mengirim petarung terbaiknya untuk mengikuti pibu (pertandingan silat terbuka) menentukan Pemimpin Dunia Persilatan. Biasanya Ketua Perguruan sendirilah yang maju bertanding memperebutkan gelar Thian-he Te-it (nomor satu sedunia) itu.

Saat itu petahananya adalah Su Shi Lou yang sudah dua kali menjadi ketua, namun kali ini ia absen dari pertarungan unifikasi karena banyak masalah internal perguruannya. Pada mulanya ia menyiapkan adik iparnya, seorang goanswe (jenderal), namun dibatalkan karena ilmu silatnya masih jauh dari tingkatan para datuk persilatan dari penjuru angin lainnya. Jadi kali ini perguruan dari selatan ini tidak mengirim wakilnya.

Dunia kang-ouw (rimba persilatan) memiliki empat datuk sakti yang paling disegani dari masing-masing penjuru angin, yaitu Lam-ong (Raja Selatan) Su Shi Lou dari Sam-kwa Pai (Perguruan Bintang Tiga), Tung-Houw (Macan Utara) Po Bouw Oh dari Ang-peng Pai (Perguruan Garuda Merah), Pak-kwi (Setan Utara) Ie Cha dari Bi-bian Pai (Perguruan Padi Kapas), dan See-sian (Dewi Barat) Ma Tai-bo dari Hek-gu Pai(Perguruan Kerbau Hitam).

Perguruan dari utara pun tidak mengirim wakilnya untuk bertarung. Ie Cha, sang ketua, telah pontang-panting berusaha ingin mengikuti pertarungan paling bergengsi di dunia persilatan ini, namun ia dianggap tidak memenuhi persyaratan karena perguruannya yang sedang meredup. Akhirnya ia cukup puas menjadi pemandu sorak dari Po Bouw Oh.

Ma Tai-bo pun gentar menghadapi Po Bouw Oh yang gagah perkasa. Kalau Ma benar-benar maju, cukup dengan satu kebasan lengan baju saja, Po sudah berhasil melempar Ma ke luar luitai (panggung pertandingan). Tapi secara tak terduga Hek-gu Pai yang dipimpin Ma memiliki seorang anggota yang berilmu silat sangat tinggi tiada banding. Anggota itu adalah Jo Ko Oei yang bergelar Bu-beng Siauw-cut (orang kecil tanpa nama). Sesungguhnya Jo bukanlah hasil didikan atau binaan perguruan Hek-gu Pai. Dulu ia adalah seorang saudagar dengan pergaulan yang luas dan belajar silat dari guru satu ke guru yang lain, sampai ia menemukan sebuah kitab silat kuno peninggalan Tat-mo Couwsu, pendiri Siauw-lim-pai (Partai Siauw-lim). Ia dengan tekun berlatih jurus-jurus sakti itu sampai mencapai tingkat para datuk persilatan. Karena latar belakang Jo itulah, Ma sangat yakin akan kemampuan Jo dan mengirimnya mewakili Hek-gu Pai melawan Po Bouw Oh sang Ketua Ang-peng Pai.

Belum pernah ada pertarungan unifikasi gelar kejuaraan silat yang seseru ini. Pada pertarungan lima dan sepuluh tahun sebelumnya, pada pertandingan final, dengan sangat mudah Su Shi Lou membuat Ma Tai-bo terkapar-kapar dan babak belur hanya dalam beberapa gebrakan tanpa mengeluarkan keringat setetespun. Itulah sebabnya, kali ini Ma keder untuk mencoba-coba menghadapi Po Goanswe (Jenderal Po) dalam pertarungan terakbar ini.

Ketegangan menjelang pertarungan tinggi sekali. Para pendukung kedua petarung ramai memuji-muji dan mengagul-agulkan jagoannya masing-masing. Pasaran taruhan mencapai rekor masukan tertinggi sepanjang masa, dengan pasangan lek-lekan atau tanpa voor. Perselisihan, pertengkaran, sampai tawuran antar pendukung pun tidak dapat dihindarkan. Inilah pertarungan tersengit yang bisa dibayangkan.

Setelah aneka ritual dan pernak-pernik pertandingan berlalu, kini tibalah saatnya pertarungan yang ditunggu-tunggu itu, pibu antara Tung-Houw Po Bouw Oh melawan Bu-beng Siauw-cut Jo Ko Oei!

Po yang duduk di kursi baja itu melompat sambil memamerkan cian-kin-tui (ilmu memberatkan badan seribu kati)-nya sehingga kursi baja itu hancur berantakan dan semua patahannya masuk, melesak ke dalam lantai, sambil tubuhnya melesat ke udara dan melakukan salto tiga putaran sebelum mendarat seringan daun kering di atas luitai. Para pendukungnya bersorak dan berteriak-teriak memuji.

Jo segera bangkit dari kursinya, berjalan ke arah Ma Tai-bo, berhenti, menundukkan kepala, dan menjura seraya berkata, “Perkenankanlah boanpwe (hamba yang bodoh) bertarung demi perguruan.” Ma mengebaskan lengan bajunya dan meneruskan mengipas-ngipas wajahnya yang bulat seperti wajah Buddha.

Jo menggunakan gerak ceng-thing-cui (capung menotol air), tubuhnya melesat ke atas luitai. Di atas udara dengan tangan terentang ia menekan udara seperti burung mengepakkan sayapnya sehingga tubuhnya melejit, mengapung tinggi, dan dengan kedua tangan tetap terentang tubuhnya turun perlahan-lahan di atas luitai bagaikan seekor rajawali mendarat. Kali ini para pendukungnya dan para penonton umumnya gemuruh bagaikan Gunung Himalaya longsor.

Kedua petarung menjura ke arah empat penjuru, kemudian keduanya saling menjura. “Silakan Ciangkun (panglima) mulai,” Jo berujar.

Tanpa basa-basi, Po melancarkan pukulan keras dan panas mengarah dada Jo yang juga tidak sungkan untuk menyambutnya sehingga beradu pukulan. Po kaget karena tangan Jo terasa sangat dingin dan lembut bagaikan kapas. Dari pukulan penjajagan itu, kedua petarung menjadi maklum kalau lwekang (ilmu tenaga dalam) keduanya praktis seimbang meskipun tadi mereka menggunakan tenaga yang berlawanan. Po menggunakan yangkang (tenaga keras dan panas), sedang Jo menggunakan imkang (tenaga lunak dan dingin).

Tidak terasa, puluhan jurus sudah mereka lalui. Penonton benar-benar disuguhi tontonan yang menghibur dan mencengangkan. Mereka menyaksikan bagaimana kedua petarung berkelebatan saling menunjukkan kemampuan dan kelihaian ilmu silat sempurna tingkat dewa yang langka. Kelebihan Po dalam gwakang (ilmu tenaga luar) diimbangi dengan baik dengan kelebihan Jo dalam ginkang (ilmu meringankan tubuh). Mulai menjadi jelas kalau Jo unggul seurat dari Po.

Merasa yakin sudah menguasai keadaan, Jo dengan sengaja membuka pertahanan sisi kirinya, tipis sekali, seolah tanpa celah. Po yang jeli tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu, segera melancarkan tabokan yang merupakan jurus kelima dari houw-jiauw-kang (ilmu cakar harimau) yang diandalkannya. Itulah saat yang dinanti-nanti Jo yang dengan tangan kirinya lurus ke depan menotok dada kanan Po menggunakan gerak pek-coa-pok-goan (ular putih menyambar bulan). Robohlah Po tergeletak lemas di atas luitai. Riuh rendahlah suasana, dunia persilatan mendapat ketua baru.

Catatan: Saya tidak bisa berbahasa baik Mandarin maupun Hokkian, tapi ingin sekali menulis sepenggal cerita silat ini, maka selama dua hari mempelajari istilah-istilah silat dalam Bahasa Hokkian di dunia maya. Jadi, saya mohon maaf kalau ada banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini.

♦♦Ω♦♦

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline