Lihat ke Halaman Asli

Amira Alaniyah

it's me, Era Reidana

Mengais Sayang di Masa Tua (1)

Diperbarui: 13 Februari 2022   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Panggil aku, Yaumi. Perempuan tak beruntung yang kini hanya dapat meratapi nasib tanpa suami. Semua anakku telah dewasa tapi tidak ada satu pun yang memahami perasaanku. Mereka sungguh tidak tahu diuntung memilikiku. Mereka tidak tahu pahitnya kehidupan yang pernah aku lalui dan kuusahakan mereka tidak mengalami hal yang sama. Tahun lalu, si Bungsu memaksa ijinku untuk membiarkannya menjadi model kalender.

"Apa untungnya jadi model, ha?. Kau merasa paling cantik sedunia?. Cuih!, wajah begitu kok mau dipamerin. Wajahmu itu jelek!", ujarku sambil membalik ayam goreng di wajan. Tak lama berselang, aku mendengar suara isak tangis tertahannya. Hmm...rupanya dia tidak sadar. "Harusnya, kau bersyukur punya ibu macam mamak kau ini. Mana pernah kubilang cantik agar kau terhindar dari penyakit 'ain karena pujian manusia. Makan, gih!. Mamak sudah masak ayam goreng, lalapan dan seraya kesukaanmu".

Arini tetap mengalirkan air mata tapi tangannya mulai meraih piring dan aneka lauk. Sebentar lagi pasti akan mereda sendiri. Arini adalah satu-satunya anak perempuanku, dia haruslah kuat dan tidak kena sakit 'ain. Sayang, kalau wajah cantik dan badan langsingnya penyakitan karena pujian manusia yang berlebihan. Semoga dia selalu mengingat pesanku hingga detik ini telah lulus kuliah di Malang dan dibawa sampai mati.

Hanya Arini yang menjadi harapan terahirku dapat menghabiskan masa tua bersama anak. Tiga anak lelakiku sudah tidak bisa diharapkan. Bobby, putra pertama yang sangat kuidamkan bisa merawatku malah memilih tinggal di antah berantah bersama istri dan anaknya. Dahulu, Bobby pernah bersumpah saat bungsuku Arini lahir, akan mengangkatnya sebagai anak bak anaknya sendiri. Sumpah itu hanya bualan semata!. Semenjak aku didiagnosis diabetes saja sudah jarang pulang ke rumah, apalagi akan melakukan sumpahnya.

Andai Bobby mau melakukan nasihatku, tidak akan hidupnya susah hingga kudengar memasak pun harus menggunakan tungku kayu bakar dan mencari sayur mayur di sawah untuk lauk. Aku masih terheran-heran, mengapa anak sulungku rela tinggal hina dina menumpang di rumah orang dibandingkan bersamaku di sini. Rumah yang kubangun bersama suami ini sudah ada lima kamar yang cukup untuk semua anak dan cucuku. Tanah juga milikku sendiri bukan menumpang orang lain. Di sekitar rumah ini, tinggal semua saudara kandungku yang akan sangat senang hati melihat cucuku bermain di halaman lapang tanah warisan keluarga.

Luna, istri Bobby sebenarnya baik, agak pembangkang tapi dia sangat perasa. Kucubit dikit pipinya saat sakit gigi saja sudah menangis tersedu-sedu lalu sama sekali tidak keluar kamar kecuali makan dan ke kamar mandi. Suatu sore, dia bersiap kembali ke rumah 'penampungannya' aku berkata ke Luna, "Bikinlah anak banyak-banyak, Na!. Aku suka sekali anakmu itu ganteng dan cantik semua. Lucu".

"Aih?, Mamak akan merawat semua anakku ke?", sahut Bobby sambil menata barang di mobil pinjaman dari mertuanya.

"Ya, Tidak lah!. Aku sudah puas merawat kalian. Anakku kan empat. Sudah puluhan tahun merawat anak, masa aku akan merawat anakmu?. Rawatlah sendiri!".

"Mak...., Luna pamit dulu", timpal Luna mengalihkan pembicaraan. Tangannya mengamit tanganku seraya diselipkannya uang lembaran biru, seperti bisaanya.

"Doakan aku biar sehat selalu dan kamu segera tinggal di sini bersamaku. Aku kan jadi bisa lihat cucuku bermain setiap hari", ujarku. Tidak lupa kuberi bingkisan bumbu pecel dan udang rebon untuk bekal selama di rantau. Hancur sekali rasanya melihat cucuku tidak bisa tinggal bersamaku. Bobby sangat jarang berkunjung ke rumah bersama anaknya. Ketika aku sakit parah, Bobby baru datang menginap setelah kuusir lewat telpon genggam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline