Latar Belakang
Eksisnya Gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan, karena akumulasi dari beberapa faktor. Faktor yang sangat menentukan adalah persoalan Rasionalisasi dan Demobilisan Tentara.
Sejak tahun 1950, di MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) berkembang dua pendapat, yang saling bertentangan. Pihak pertama dimotori oleh Kol. Bambang Soepeno, Kastaf Territorial Djawa, berpendapat bahwa yang dibutuhkan tentara, adalah semangat revolusioner yang tinggi serta keeratan hubungannya dengan rakyat, sedangkan pendapat kedua dimotori oleh Kol. AH. Nasution, KSAD, yang berpendapat bahwa tentara harus cakap secara tekhnis,terorganisir dalam hierarki yang jelas serta profesional.
Saat pertentangan di MBAD ini kian memuncak, Panglima Soedirman sakit keras, dan akhirnya meninggal dunia. Kelompok Soepeno akhirnya terpojok, dan Kelompok Nasutionlah (Profesional) yang memegang keputusan di MBAD. Akibat dari Rasionalisasi dan Demobilisan Tentara ini, sekitar 15.000 gerilyawan. Yang ada di Sulawesi Selatan tidak akan diterima menjadi tentara oleh MBAD, sebab mereka tidak cukup memiliki pendidikan formal yang tinggi, bahkan kebanyakan dari mereka buta aksara latin.
Adalah Abdul Qahhar Mudzakkar, yang tampil membela hak-hak kaum Gerilyawan. Qahhar kemudian mengusulkan kepada Kol. AE. Kawilarang; Kastaf Terittirial IV Indonesia Timur, agar gerilyawan ini dimasukkan kedalam satu Resimen, yang diusulkan namanya “Resimen Hasanuddin”. Usul Qahhar ini di tolak mentah-mentah oleh AE. Kawilarang, bahkan Ia kemudian mengancam akan membubarkan KGSS (Komando Gerilya Sulawesi Selatan) yang dipimpin oleh Qahhar.
Abdul Qahhar Mudzakkar yang merasa diinjak-injak harga dirinya , pada tanggal 1 Juli 1950 mencopot segala atribut kemiliteran TNI, lalu menyerahkan kepada AE. Kawilarang selaku penguasa Militer di Indonesia Timur. Pada saat itu Qahhar menyatakan keluar dari TNI, Ia kemudian bergabung dengan kesatuan-kesatuan Gerilyawan yang tersebar di pedalaman-pedalaman Sulawesi Selatan. Sejak saat itu, Qahhar menyatakan perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia.
Disinilah awal dari sejarah Gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan. Gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan secara umum dapat dibagi empat periode, yakni:
- Periode 1950-1953, KGSS berubah nama menjadi TKR (Tentara Kemerdekaan Rakyat) yang masuk ke hutan melakukan perlawanan terhadap TNI, mempersoalkan tentang Rasionalisasi dan Demobilisan Tentara.
- Periode 1953-1959, Qahar dan pasukannya menyatakan bergabung dengan Darul Islam Pimpinan SM. Kartosuwirjo, di Jawa Barat, sejak saat itu orientasi perjuangannya berdasarkan pada Islam.
- Periode 1959-1962, TNI perlahan-lahan dapat menekan Gerakan ini, disebabkan karena adanya perpecahan ditubuh gerakan sendiri.
- Periode 1962-1965, ditengah kesendiriannya, Qahhar berusaha merealisasikan idenya, dengan membentuk Negara Islam, Ia kemudian memproklamirkan berdirinya RPII (Republik Persatuan Islam Indonesia). RPII ini merupakan negara yang tidak berada lagi dibawah kekuasaan Kartosuwirjo. Tapi merupakan negara merdeka dibawah kepemimpinan Qahhar, dengan Gelar Chalifah.
Akhir dari gerakan ini secara umum, ditandai dengan meninggalnya Qahhar ditangan Kopda Sadeli, Anggota Pasukan dari Batalyon 330 Kujang I Siliwangi, pada tanggal 3 pebruari 1965 di tepi sungai Lasolo’, desa Laiyu Sulawesi Tenggara. Di wilayah yang sempat dikuasai oleh Gerakan Darul Islam, pernah menegakkan Syariat Islam, yang menyimpan konstruksi sejarah dan liku-liku realitas Gerakan Darul Islam pada masa lalu. Diantara wilayah itu adalah Moncongloe, yang merupakan wilayah Darul Islam, yang terdekat dengan Makassar.
Atas dasar itulah, maka Penulis akan mencoba mengangkat masalah ini kedalam makalah yang bertema Rekonstruksi serta dampak Gerakan Darul Islam di Moncongloe antara tahun 1950-1970.
Bangkitnya Darul Islam
Gerakan Darul Islam adalah sebuah gerakan yang berdasarkan Islam. maksud dan tujuan gerakan ini ialah mendirikan suatu negara yang berdasarkan Islam. Gerakan Darul Islam menggunakan cara perlawanan bersenjata, untuk mencapai tujuannya.
Gerakan ini berpusat di Jawa Barat, dibawah kepemimpinan SM. Kartosuwirjo, tokoh penting di Jawa Barat. Gerakan ini muncul akibat dari kekecewaan Kartosuwirjo akan penandatanganan perjanjian Renville, pada anggal 17 Januari 1948, yang isinya merugikan pihak Indonesia, sebab wilayahnya makin sempit.
SM. Kartosuwiryo kemudian memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), pada tanggal 8 Desember 1948.
Gerakan ini mampu bertahan selama 13 tahun, sebelum akhirnya berhasil dilumpuhkan dengan menggunakan operasi pagar betis dibawah pimpinan Mayjen. Ibrahim Adjie komandan pasukan Divisi Siliwangi, Kartosuwirjo kemudian ditangkap pada tanggal 2 Juni 1962. Ia kemudian dijatuhi hukuman mati, sejak saat itu gerakan Darul Islam Padam di Jawa Barat.
Gerakan Darul Islam pimpinan SM. Kartosuwirjo, merupakan pusat gerakan Darul Islam, kemudian bergabung,diantaranya dari Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan serta Sulawesi Selatan.
Gerakan Darul Islam Versi Sulawesi Selatan
Gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan adalah sebagai hasil akumulasi berbagai persoalan dan watak khas Sulawesi Selatan, yakni :
1.Rasionalisasi Tentara
Untuk dapat bergabung dan menjadi prajurit resmi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) gerilyawan haruslah memiliki pendidikan formal serta memiliki kecakapan fisik yang mendorong, yang oleh Kolonel AH. Nasution dikatakan bahwa tentara itu harus profesional serta mempunyai struktur yang jelas. Gerilyawan yang terdapat di Sulawesi Selatan rata-rata tidak berpendidikan formal secara memadai bahkan mereka buta aksara latin.
Persoalan inilah yang kemudian menjadi faktor utama timbulnya gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan.
2.Siri’ na Pacce
Siri’ na paccesudah lama dikenal dikalangan masyarakat Bugis Makassar, dimana bila seseorang dipermalukan maka orang tersebut harus membalasnya. Dalam hal ini yang dipermalukan adalah gerilyawan, karena mereka dikeluarkan dari ketentraman demi keprofesionalan tentara masa depan, padahal jasa-jasanya kepada kemerdekaan Indonsia tidak terhitung nilainya. Yang mempermalukan adalah pemerintah pada umumnya serta MBAD khususnya.
3.Faktor Agama
Agama turut menjadi “alat ampuh” dalam mengobarkan gerakan Darul Islam semboyan gerakan ini dalam propagandanya untuk mengobarkan perlawanan adalah perjuangannya adalah perang suci (jihad) dalam menegakkan Daar al-islam. Dalam Islam tiga puncak ibadah yakni shalat, puasa serta jihad.
Di Sulawesi Selatan termasuk baris Islam sejak zaman kerajaan Islam sudah mengakar dikalangan masyarakat. Secara formal Islam diterima masyarakat Sulawesi Selatan ditandai dengan di Islamkannya raja Gowa ke-XIV I mangarangi Daeng Manrabia oleh Datu Ribandang (ulama Minangkabau) pada hari jum’at tanggal 22 september 1605, raja Gowa ke-XIV ini setelah masuk Islam bergelar Sultan Alauddin.
Dari Gowa ini, Islam kemudian menyebar keseluruh Jazirah Sulawesi Selatan (kecuali Tana Toraja dan sebagian daerah Mamasa) Islam Disebarkan Gowa baik secara damai maupun secara kekerasan.
Kekerasan yang dilakukan Gowa kepada wilayah lainnya adalah “Musu’ Asselenge” (perang membela Islam).
Tiga setengah abad kemudian, gerakan Darul Islam muncul dan melakukan “musu’ asselenge”gaya baru. Sehingga masyarakat Sulawesi Selatan banyak yang bersimpati kepada gerakan ini, karna gerakan ini berdasarkan Islam serta berseru untuk memurnikan Islam yang selama ini sudah dikotori oleh kepercayaan-kepercayaan pra Islam serta khurafat dan bid’ah.
Abdul Qahhar Mudzakkar Maestro Gerakan
Titik awal dari gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan, yaitu mundurnya Letkol Abdul Qahhar Mudzakkar dari APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Tanggal 1 Juli 1950 Qahhar mencopot tanda pangkat dipundaknya serta segala simbol-simbol kemiliteran, kemudian diserahkan secara baik-baik kepada Kol. AE. Kawilarang, Panglima Territorium IV Indonesia Timur, sejak saat itu Qahhar menyatakan keluar dari APRIS dan bergabung bersama gerilyawan-gerilyawan dipedalaman-pedalaman Sulawesi Selatan.
Apa yang dilakukan Qahhar ini adalah manipestasi dari puncak perdebatan dalam MBAD. Perbuatan Qahhar ini secara tidak langsung didukung oleh Kolonel Bambang Soepeno. Terbukti Soepeno yang waktu itu menjabat sebagai wakil KSAD, pada tahun 1950 mengirim Batalyon 110 Seulawah jantan dibawah pimpinan Kapten Hasan Saleh dalam rangka operasi militer terhadap Batalyon KGSS, namun Batalyon 110 Seulawah Jantan ini, tidak dipersenjatai, sebab Soepeno tidak ingin melihat sahabatnya Qahhar mati dalam operasi Militer.
Abdul Qahhar Mudzakkar adalah putra dari seorang pedagang mapan di Lanipa distrik Ponrang kerajaan Luwu. Qahhar lahir pada tanggal 24 maret 1921 di Lanipa, kerajaan Luwu. setelah berumur 20 tahun, Qahhar “merantau” ke Jawa khususnya di daerah Yogyakarta disana ia bergabung dengan Lasykar atau Tentara Pelajar yang berasal dari Sulawesi Selatan dalam berjuang merebut kemerdekaan dan mempertahankannya.
Atas jasa-jasanya ini dalam diangkat oleh APRIS dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Pangkat yang belum pernah disandang oleh orang Bugis Makassar sebelumnya.
Setelah kemerdekaan, Qahhar tampil membela hak-hak gerilyawan yang dicampakkan begitu saja oleh MBAD. Ia kemudian memimpin KGSS angkat senjata melawan APRIS Qahhar dan pasukannya kemudian bergabung dengan Darul Islam yang dipimpin oleh SM Kartosuwirjo, pada tanggal 7 agustus 1953 sejak saat itu dasar perjuangan Qahhar berdasarkan Islam, sebelumnya dalam tenggang 1950-1953, Qahhar dan pasukannya yakni TKR (Tentara Kemerdekaan Rakyat), masih berdasarkan Pancasila.
Sejak menyatakan bergabung dengan Darul Islam, maka perjuangan dari Darul Islam Sulawesi Selatan kian meluas, serta mendapat respon positif baik dari beberapa tokoh, maupun Organisasi Islam yang ada di Sulawesi Selatan.
Organisasi yang mendukung itu meskipun secara tidak langsung, adalah MASYUMI, MUHAMMADIYAH, PSII, serta lembaga pendidikan Islam DDI pimpinan Anre’gurutta, H. Abdurrahman Ambo Dalle.
Antara tahun 1959 – 1962, TNI mulai berhasil menekan Gerakan ini, karena disebabkan oleh perpecahan di tubuh Gerakan Darul Islam sendiri. Pada tahun 1962, Qahhar mencoba bertahan ditengah kesendiriannya, ia berusaha merealisasikan idenya mendirikan Negara Islam yang beliau cita-citakan selama ini.
Ia kemudian beserta sisa-sisa pasukannya kemudian memproklamasikan berdirinya Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII). RPII ini merupakan negara Islam yang berpusat di Sulawesi Selatan, bukan lagi sebagai bagian dari Darul Islam Jawa Barat, yang pada waktu itu sudah dilumpuhkan oleh TNI. Qahhar sendiri yang menjadi Presiden/Chalifah RPII, dengan gelar militernya yang tertinggi ditubuh Darul Islam ialah Kolonel.
Karena banyak tokoh Darul Islam Sulawesi Selatan menyerah atau ditangkap, diantaranya Bahar Mataliu dan Usman Balo menyerah, serta Nurdin Piso tertangkap. Akhirnya disusul dengan Sang Maestro gerakan Darul Islam Sulawesi Selatan, kemudian menghenbuskan napas terakhir ditangan Kopda Sadeli, prajurit dari Yon 330 Kujang I Siliwangi. Pada tanggal 3 Februari 1965 di Tepi Sungai Lasolo’ di Desa Laiyu Sulawesi Tenggara.
Lazimnya suatu gerakan yang pernah mengakar selama 15 tahun di Sulawesi Selatan, pastilah ada dampak yang ditinggalkannya di masyarakat, terutama diawal-awal lenyapnya gerakan ini. Bahkan sampai saat ini masih segar diingatan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya dipedalaman-pedalaman bahwa gerakan ini pernah meninggalkan dampak terhadap masyarakat.
DARUL ISLAM DI MONCONGLOE
Kondisi Umum Moncongloe
Moncongloe adalah nama salah satu wilayah yang terletak 22 KM sebelah utara Makassar, secara harfiah Moncongloe berarti, tempat yang tinggi. Moncongloe sudah lama dikenal, sejak abad ke-16, sebab wilayah ini adalah salah satu Gallarrang(setingkat distrik) dari kerajaan Gowa-Tallo. Bahkan Pahlawan “Internasaional” Syeikh Yusuf merupakan putra Moncongloe, karena Beliau adalah Cucu dari Gallarrang Moncongloe. Moncongloe terbagi atas dua karakter, karakter pertama terletak disebelah timur, keadaan alamnya berbukit-bukit serta ditumbuhi hutan yang lebat(Moncongloe Bulu’). Karakter kedua terletak disebelah barat, dengan keadaan alam berada didataran rendah, sehingga berawa-rawa dan dilintasi anak sungai Tallo (Moncongloe Lappara’)
Dalam perjanjian Bongaya pada tanggal 18 Nopember 1667, pemerintah Hindia Belanda membagi negeri-negeri Celebes (Sulawesi) menjadi tiga kelompok, yakni:
- Negeri-negeri yang berada langsung dibawah pemerintahan Hindia Belanda.
- Negeri-negeri yang secara tidak langsung dibawah pemerintahan Hindia Belanda.
- Negeri-negeri yang berdaulat, yang hanya menjalin hubungan setara dengan pemerintahan Hindia Belanda
Wilayah Moncongloe masuk kedalam kategori kedua bersama dengan wilayah-wilayah sekitarnya.
Kelompok utara atau kelompok distrik utara (noorder districten) termasuk Maros, Bontoa, Tanralili, Simbang, Sulewattang ri Lau, Tomboro’, Sudiang, Malawwa, Camba, Balocci, Turikale, Moncongloe, dll. Dengan pembesar Hindia Belanda diwilayah ini berkedudukan di Maros, sedangkan kepala daerahnya bergelar Karaeng Lomo Daeng lolo, Aru Sulewattang/Gallarrang. (Arsip Nas. Wil. Sulawesi Selatan).
Dalam perjalanan sejarah pemerintahan Sulawesi Selatan pada umumnya, maka berdasarkan Penetapan Gubernur Grote Oest (Timur Besar) no. 21 BIJBLAD 14377 tanggal 24 Pebruari 1940, Celebes dibagi tujuh Afdeling, diatara Afdeling itu adalah Afdeling Makassar, yang membawahi Onderafdeling Sungguminasa, Pangkajene, Takalar/Turatea, Pulau-pulau sekitar Makassar serta Onderafdeling Maros Sendiri yang didalamnya adalah Distrik Moncongloe.
Setelah jaman kemerdekaan, dengan UU. No. 2, 3, dan 4 tahun 1957, Moncongloe masuk dalam wilayah Makassar bersama Maros, Pangkajene dan pulau-pulau spermonde.
Pada tahun 1959, dengan UU. No. 29 tahun 1959, terjadi lagi perubahan, yakni Moncongloemasuk dalam Wilayah administratif kabupaten Maros, dengan status sebagai Distrik/Desa dibawah kecamatan Mandai.
Tahun 1971, Maros dihadapkan suatu pilihan yang sulit, sebab sebagian wilayahnya dibagian selatan di “caplok” oleh kota madya Makassar dengan PP. RI. No. 51 tahun 1971, tanggal 1 September 1971. Bira, Daya, Tamalanrea, Bulorokeng, dan Sudiang masuk kewilayah Makassar.
Pada tahun 2000, wilayah Moncongloe melepaskan diri dari kecamatan Mandai, dan berdiri sendiri, menjadi salah satu sari 14 kecamatan kabupaten Maros.adapun batas-batas Moncongloe sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Mandai (Maros).
- Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Tanralili (Maros).
- Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Pattallassang dan kecamatan Parangloe (Gowa).
- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Manggala, kecamatan Tamalanrea serta kecamatan Biringkanaya (Makassar)
Masyarakat Moncongloe sebagian besar beragama Islam. namun tetap mempertahankan tradisi pra Islam. terbukti masih ditemui dikampung-kampung wilayah Moncongloe, pemimpin spiritual tradisi pra Islam yang bergelar Pinati(Pemuka Kepercayaan patuntung)
Pinati ini dianggap sebagai penghubung antara manusia yang masih hidup dengan roh leluhurnya. Pinati diangkat berdasarkan garis keturunan dari Patanna Pa’rasangang.(Dewa Tertinggi dalam kepercayaan Patuntung)Tempat untuk melakukan sesembahan kepada leluhur, disebut Saukang
Munculnya Gerakan Darul Islam Di Moncongloe
Wilayah Moncongloe pada tahun 1950, adalah distrik dari Onderafdeling Maros, seiring dengan munculnya Darul Islam secara Umum di Sulawesi Selatan, maka sejak saat itu gerakan ini eksis pula di Moncongloe.
Di Maros (termasuk Moncongloe) diadakan penyambutan, ribuan orang keluar dari rumah menyaksikan datangnya gerilyawan-gerilawan itu, Abdul Qahhar Mudzakkar sempat berpidato pada tempat itu sekitar tahun 1950. (Ramadhan;1988 : 46 ).
Wilayah bagian Selatan dari Sulawesi Selatan dikuasai oleh satu Resimen Darul Islam yang beranggotakan sekitar 3072 personil. yang dibagi kedalam empa Batalyon, yakni Yon I berkedudukan di Maros, Yon II berkedudukan di Pangkajene, Yon III berkedudukan di Jeneberang (Gowa), Yon IV berkedudukan di Takalar/Turatea.
Batalyon I yang berkedudukan di Bonto Somba, Tanralili, Maros, dipimpin oleh Mayor Nurdin Piso, disinilah dikendalikan pemerintahan Militer dan sipil Darul Islam. untuk memudahkan sistem komando dari pemerintahan militer Darul Islam, maka Batalyon I ini dibagi lagi kedalam empat kompi, wilayah Moncongloe diperintah oleh Kompi I yang dipimpin oleh Abidin Kila’, kemudian digantikan oleh wakilnya, Djumarang.
Pasukan Kompi I mampu bertahan sampai 1967, dua tahun lebih lama dibanding dengan induknya yang padan tahun 1965.
TNI dalam memadamkan gerakan Darul Islam di Moncongloe mengunakan pasukan dari Korem 3 Makassar, Batalyon 401,serta milisi yang dipersenjatai (OPR/ Panggabung).
Jalannya Gerakan Darul Islam Moncongloe
Disamping dibawah kekuasaan militer, Darul Islam juga menegakkan pemerintahan sipil di wilayah ini.yang strukturnya tidak jauh beda dengan struktur pemerintahan sekarang.
Galla atau kepala kampung bertugas mengurus segala bentuk pemerintahan sipil dan bertanggung jawab kepada militer. Imam kampung bertugas mengurusi segala urusan keagamaan, Imam Kampung ini dibantu oleh Sariang (Petugas pemungut zakat harta). Tugas militer tidak hanya sebagai alat perang, tetapi juga adalah pasukan pengawal syariat, serta eksekutor dalam setiap pelanggaran syariat.
Syariat Islam di Moncongloe saat itu betul-betul ditegakkan secara menyeluruh. Pada tahun 1955, komandan kompi I Moncongloe, Abidin Kila’, yang dikenal kejam, kedapatan berzinah dengan wanita yang sudah bersuami. Tak pandang bulu, meskipun komandan tertinggi militer di Moncongloe, Syariat harus ditegakkan, Kila’ kemudian ditembak oleh Djumarang, kemudian oleh Djumarang sendiri, wanita pasangan berzinah Kilat, digorok lehernya sampai tewas. Selang beberapa waktu terjadi lagi pelanggaran syariat oleh masyarakat, yakni sepasang remaja kedapatan sedang berkhalwat, maka sepasang remaja ini, dijatuhi hukluman cambuk sebanyak 100 kali, yang dilaksanakan didepan Masjid ba’da shala Jum’at, dan disaksikan oleh orang banyak. Tindakan kriminal membunuh, hukumannya di Qishash (dibunuh pula) atau bila dimaafkan oleh keluarga si terbunuh, maka terdakwa harus membayar Khaffarat (denda). Bila tindak kriminal pencurian, hukumannya adalah potong tangan kemudian dicelupkan kedalam minyak goreng mendidih bahkan masyarakat yang kedapatan tidak shalat wajib atau tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, akan ditangkap oleh militer Darul Islam, lalu diberikan “pembinaan” atau dibunuh.
Daerah yang dikuasai oleh militer Darul Islam di Moncongloe, adalah Jambua, Leko, Manjalling, Pacco Buleng, Batu Lenggang, Diccekang, Moncongloe Lappara, Mangempang sampai Tammu-tammu. Sedangkan wilayah yang dikuasai TNI dan OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat) disekitar Moncongloe, adalah Daya, Lakkang, Tamalanrea, Bira, Sudiang, Paccerakkang, Buakkang Mata, Katimbang serta Tamalabba. Di perbatasan antara Leko dan Tamalabba yang disebut Palayya, sering terjadi baku tembak antara TNI/OPR dengan Pasukan Darul Islam, pada tahun 1958, Daeng Lusa, Imam Kampung Leko tewas diberondong peluru OPR ditempat ini sepulang dari Tamalabba mengambil “upeti” dari wilayah musuh.
Pada tahun 1959,tentara “panggabung”, berhasil merangsek masuk kewilayah kekuasaan Darul Islam, tepatnya di Kampung Leko dan sempat menguasai Leko selama tiga hari, namun dengan semangat berapi-api Djumarang beserta anak buahnya berhasil tentara ini. Selang beberapa hari pesawat dari Angkatan Udara, menembaki kampung Paccobuleng dari udara, dimana Djumarang dan pasukannya sedang beristirahat. Pasukan ini membalas tembakan dan hampir menjatuhkan pesawat ini.
Saat terjadi gerakan, masyarakat Moncongloe masih sangat miskin, kemiskinan ini adalah “warisan” dari pendudukan Jepang di wilayah ini, beras masih sangat langkah, makanan pokok subtitusi pada kalangan masyarakat kala itu adalah Assikapa (Umbi-umbian Hutan/Siapa).Rata-rata penduduk pada waktu itu adalah karung goni. Bahkan pada saat itu seekor kerbau hanya dihargai dengan satu lembar sarung. Itu menandakan bahwa barang-barang pada waktu itu langka dan mahal, ditambah dengan keadaan yang sangat tidak menentu, bila tentara beroperasi dibasis Darul Islam, maka tentara itu membakar rumah-rumah penduduk yang tidak bersalah, merampok harta penduduk, serta memperkosa gadis-gadis yang ditemui.
Begitupun sebaliknya Pasukan Darul Islam membalas dengan melakukan hal yang sama pada daerah yang dikuasai tentara/OPR.
Setelah gerakan ini dapat dipadamkan pada tahun 1967, Djumarang dan pasukannya ditangkap kemudian dibina dan “dicuci otaknya” di Markas TNI di Pakkatto (Sekarang Rindam VII Wirabuana) selama satu minggu, kemudian dikembalikan kemasyarakat.
Dampak Yang Di Tinggalkan Gerakan Darul Islam
Dampak yang ditinggalkan gerakan Darul Islam di Moncongloe antara lain dibidang keagamaan, sosial, serta budaya.
1.Di Bidang Keagamaan
Seperti kita ketahui, bahwa gerakan Darul Islam pada umumnya mencita-citakan berdirinya Negara Islam, begitupun di Moncongloe pernah menggunakan syariat dalam hukum kemasyarakatannya, segala khurafat dan penodaan terhadap Islam di hancurkan, Pinati banyak dibunuh, Saukang dibakar.
Bahkan seandainya tidak menguasai pedalaman-pedalam di Sulawesi Selatan pada umumnya, maka ajaran Nasrani akan tumbuh subur, dipedalaman, karena pada waktu-waktu itu, para Misionaris dan Zending sedang marak-maraknya mencari “domba-domba yang sedang tersesat”. Terbukti disekitar pedalaman Maros bagian timur sampai di Sicini Malino yang luput dari gerakan, sempat ditemukan masyarakat asli yang beragama Nasrani.
2.Di Bidang Sosial
Masyarakat Moncongloe, sebelum Gerakan Darul Islam masih mengenal sistem “kasta”,yakniKaraeng, Daeng, Uwa serta Ata, yang membedakan manusia berdasarkan garis keturunan. Gelar-gelar itu dihapus dan diganti dengan gelar tunggal yang sederajat yaitu “Bung”. Sebab menurut Doktrin dari gerakan ini, yang patut di gelari Karaeng, hanya Allah-lah sebagai pencipta langit dan bumi serta isinya.
3.Di Bidang Budaya
Kebanyakan masyarakat Moncongloe memang Islam secara nominal, namun mereka masih menganut tradisi pra Islam, sejak kemunculan gerakan Darul Islam, Segala Kebudayaan pra Islam “dibersihkan”. Banhkan masyarakat yang berani memberikan sesajen kepada tempat-tempat pemujaan roh leluhur, akan dibunuh. Segala yang kebudayaan fisik pra Islam dihancurkan, seperti kuburan keramat, Kalompoang, Saukang dan segala jenisnya.
Namun sejak tahun 1970-an, pemerintahan pusat yang memerintah, adalah Jenderal Soeharto, stabilitas umum ditegakkan, organisasi islam dipangkas dan diharuskan memakai azas tunggal “Pancasila”, baik golongan kiri maupun golongan kanan, diredam.
Begitupun di Moncongloe, sehingga masyarakat yang tadinya sudah terbiasa dengan syariat, akhirnya meninggalkan syariat ini, sebab mereka takut dicap sebagai sebagai golongan ekstrim kanan.
Masyarakat Moncongloe akhirnya kembali seperti semula, mereka memang secara nominal memeluk Islam namun tetap mengamalkan tradisi pra Islam.
Kesimpulan
Gerakan Darul Islam Moncongloe,yang di Gerakkan oleh Kompi I Yon I Maros yang dibantu oleh pemerintahan sipil dalam mengatur pemerintahan dibawah pemerintahan Darul Islam Pusat Pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Sempat mengukir sejarah di wilayah ini.
Segala aspek kehidupan berhasil “digeser” semasa gerakan ini, oleh kemudi Islam, namun lazimnya pergerakan yang menggunakan metode kekerasan, menimbulkan berbagai korban, baik korban nyawa maupun harta benda. Dibalik keberhasilan Darul Islam yang sempat “menggeser” kehidupan kemasyarakatan di Moncongloe, pada akhirnya “bergeser” kembali seperti semula, yang digerakkan oleh penguasa, yang bertengger dipuncak tirani kekuasaan.
Ketidakberhasilan Gerakan Darul Islam secara umum, serta Gerakan Darul Islam di Moncongloe Pada khususnya, karena timbulya penghianatan terhadap kesepakatan awal, peralatan tempur yang amat sederhana, serta “Over actingnya” sebagian pasukan Darul Islam, seperti yang diakui oleh,Djumarang, eks. Komandan Kompi I Moncongloe, bahwa bila ada perintah dari pimpinannya, Mayor Nurdin pisok, Yang Ia istilahkan “ Punggawaa apassulu’ parentah silama’, sitonrang bulomi katte ri gaukang”(bila Komandan memerintahkan sebanyak satu jengkal, maka yang dilaksanakan dilapangan oleh anak buahnya sebanyak satu batang bambu panjangnya).
Namun lazimnya suatu gerakan pastilah meninggalkan dampak, yang sulit terlupakan oleh ingatan manusia sepanjang manusia itu ada, minimal mereka ingat bahwa “gerombolang” (Pasukan Darul Islam), pernah memaksa mereka untuk shalat, puasa, dan syariat Islam lainnya.
Saran – saran
Selama mengambil data dalam penyusunan makalah ini, Penulis agak riskan dalam mewawancarai nara sumber, yang mencari izin meneliti. Olehhnya itu penulis menyarankan, agar dalam penyusunan makalah seperti ini, kita harus dibekali oleh surat izin dari Universitas.
Ada baiknya eks. Personel Darul Islam, yang pada jamannya pernah berjuang demi tegaknya merah putih, agar diberi semacam “pesangon” oleh Pemerintah, sebab sungguh sangat ironis, kehidupan mereka, mereka hidup didalam gubuk-gubuk reok, yang kalau malam hanya diterangi lampu minyak, ditengah temaramnya nyala lampu listrik pada rumah tetangganya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H