Lihat ke Halaman Asli

Sudah Waktunya Guru ‘Belajar’

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Penulis sebenarnya gak enak ngomongin guru, soalnya gak pernah jadi guru. Pingin sharing aja sebatas yang penulis tahu. Kalau salah tolong dibenarkan ya...

Selama ini kebanyakan orang memahami bahwa ‘belajar’ adalah untuk murid. Murid wajib mendengarkan materi yang disampaikan guru, murid wajib mencatat, murid wajib mengerjakan tugas dan PR, murid wajib mengikuti ujian, dll. Jarang sekali kita dengar bahwa ‘belajar’ itu wajib untuk guru. Yang sering justru guru adalah pengajar, menyampaikan materi di kelas, lalu memberi tugas. Kalau dua tugas itu selesai, lunaslah kewajiban guru.

Mungkin sudah saatnya paradigma itu diubah. ‘belajar’ wajib untuk semua, guru, murid, dan orang tua. Tiga elemen itu saling berkaitan, namun dalam realitasnya keduanya seolah terpisah. Orang tua memasrahkan urusan anaknya pada guru, anak diberi beban untuk belajar dan belajar, guru mengajar dan memberi ulangan. Hal itu seolah menjadi konsep yang hanya menekankan belajar cuma untuk murid. Bagi pelajar tentunya banyak melakukan kesalahan, sehingga selama ini yang sering terbani oleh kesalahan adalah murid. Sementara guru dan orang tua bukanlah pelajar sehingga mereka tidak mungkin melakukan kesalahan.

Tentunya hal itu menjadi konsep yang salah dalam pendidikan kita. Jika guru saja belum menjadi pembelajar yang baik, bagaimana dengan murid yang dia didik. Bagaimana juga kelak jika murid itu menjadi pengajar sementara dia diajar oleh pembelajar yang kurang baik, lalu menurunkan pada muridnya, yang kemudian ini menjadi satu mata rantai yang turun temurun mewariskan pembelajaran yang kurang baik.

Saya teringat satu buah hadits yang berbunyi bahwa menuntut ilmu itu tak ada batasan umur. Itu berate tidak hanya anak-anak usia sekolah yang wajib belajar, guru pun juga wajib.

Namun, kemudian yang perlu diperhatikan adalah ilmu mana yang wajib dipelajari? Di kelas murid belajar matematika, bahasa indonesia, dsb, lalu apakah guru juga belajar itu? Saya jadi ingat waktu ngaji di pesantren. Ada satu bab yang membahas tentang ilmu yang wajib dipelari. Kalau gak salah kitabnya berjudul, “ta’limul mutaallim” yang artinya tuntunan bagi penuntut ilmu. Di sana di sebutkan bahwa ilmu yang wajib adalah ilmu hal, bukan ilmu agama seperti yang banyak dipahami sebagian orang. Berarti ilmu agama gak wajib donk? Tetap wajib karena ilmu agama adalah bagian dari ilmu hal

Apa ilmu hal itu? Penulis kurang kompeten untuk menjelaskan secara rinci, yang jelas ilmu hal sederhananya adalah ilmu tentang keseharian hidup, baik berkaitan dengan hubungan kita dengan alloh, sesama manusia, ataupun dengan lingkungan sekitar. Tidak hanya ilmu agama atau ilmu yang dipelajari di sekolah. Akantetapi semua hal yang kita jalani sehari-hari. Namun, dalam realitasnya banyak kesalahan persepsi tentang kewajiban menuntut ilmu itu sendiri. Dimana seolah ilmu itu ada teori di kelas. Seseorang dipaksa belajar ini itu, sementara ilmu yang wajib justru diabaikan. Misalkan saja, para orang tua lebih disibukkan menuntut ilmu melalui pengajian-pengajian, kursus bahasa, mendalami mata pelajaran tertentu, training-training, seminar-seminar, atau apalah. Justru kemudian ilmu yang seharusnya mereka pelajati jadi terabaikan, semisal bagaimana menghadapi murid bandel, bagaimana menghadapi murid yang kurang pandai dalam teori, bagaimana menghadapi mereka yang lemah dalam soal matematika, dsb. Selama ini kebanyakan para guru masih menggunakan metode lama yang biasa mereka pakai sejak bertahun-tahun yang lalu.

Saya jadi ingat tentang kisah di sd di desaku. Dari dulu sampai sekarang tak berubah. Ada satu orang guru, sebut saja dia x. Dia terkenal killer, dan suka main tangan. Kalau ada murid yang gak bisa ngerjain tugas bisa dipastikan dapat hadiah ‘jemblem’. Sampai-sampai istilah jemblem pun dikenal tak hanya di kalangan sekolah, tapi juga di kalangan masyarakat desa. Sebenarnya jemblem sendiri adalah sebutan dari satu jenis makanan. Jemblem terbuat dari singgkong rebus lalu ditumbuk halus. Setelah itu dibentuk bulat seperti bola, di dalemnya diberi gula lalu digoreng. Rasa jemblem sangat enak, apalagi kalau hangat. Akantetapi jemblem yang ada di sekolah itu adalah jemblem yang lain. Jemblem ini adalah istilah lain dari kepalan tangan yang berbentuk bulat sehingga disamakan dengan jemblem.

Dari model pengajaran ala jemblem itu diakui sukses membuat anak-anak rajin belajar dan mengerjakan pr. Bagus sih, kata sebagian orang. Akantetapi apakah hal itu akan baik bagi anak, terutama untuk perkembangan psikologi mereka. Bukankah itu merupakan bentuk tekanan terhadap dan beban moral sehingga sama halnya dengan penindasan. Seharusnya pembelajaran itu adalah hal yang menyenangkan bukan menakutkan. Meskipun efeknya anak-anak jadi rajin belajar, tapi pembelajaran ala jemblem tetap saja tidak bisa dibenarkan.

Kon malah bahas jemblem. Kita balik lagi ke ilmu hal.

Bisa diartika bahwa ilmu hal adalah ilmu yang bersifat kontekstual, seorang yang menjadi pedagang, wajib belajar ilmu dagang, seseorang yang akan sholat wajib belajar ilmu sholat dan yang berkaitan dengan sholat, kalo mau haji ya wajib belajar ilmunya haji. Nah, kenapa seseorang yang menjadi guru belajar tentang ilmu guru. Ada yang menjawab sudah, pas di bangku kuliah. Yang di pertanyaan sekarang, apakah itu cukup?

Bukankah ilmu itu luas, bahkan untuk hal ilmu keguruan sekalipun, begitu banyak yang perlu dibahasa tidak hanya tentang ilmu yang diajarkan dan bagaimana cara mengajar, tapi juga bagaimana karakter masing-masing anak dan bagaimana menanganinya, juga tentang bagaimana perkembangan usia anak dengan pola pengajaran yang berbeda, bagaimana menangani anak berkebutuhan khusus, bagaimana membuat suasana belajar asyik, bagaimana memotivasi mereka yang minder, bagaimana agar pendidikan dapat mengembangkan kreativitas yang tidak hanya dijejali teori-teori semata, bagaimana membuatpembelajaran lebih kreatif sehingga tidak hanya bergantung pada lks, bagaimana memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sarana pembelajaran. Bagaimana-bagaimana itu seharusnya merupakan ilmu-ilmu hal yang wajib dicari oleh para pengajar, bukan justru lebih mementingkan pengajian yang ‘kurang’ berhubungan dengan keseharian dunia pendidikan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline