Sesulit apapun masalah yang kita hadapi, ketika kita mencoba menuangkannya melalui teknologi komputer atau informatika, seketika masalah itu akan menjadi sederhana bagi perangkat mesin yang menanganinya.
Tanpa rasa, tanpa tanya dan tanpa tendensi mesin segera menerjemahkan rumusan masalah yang disajikan menjadi rangkaian dari sejumlah kombinasi angka 1 dan 0.
Seketika pula 1 dan 0 menjadi rangkaian gelombang listrik berupa deretan sinyal hidup (on) dan mati (off). Dan bergantung seberapa panjang dan banyak kombinasi 1 dan 0 yang disodorkan, dengan segera mesin mengeluarkan kesimpulan. Kita akan menerima atau tidak simpulan tidak menjadi soal bagi mesin, bahkan untuk mengulangpun dengan segera akan dilakukan kalau diperintahkan.
Dua hal yang menarik dari fakta ini.
Pertama, rumusan masalah yang jelas akan mampu diselesaikan oleh komputer atau mesin. Keluaran dari proses ini merupakan keluaran yang obyektif dan paling jujur tanpa polesan untuk menjilat. Ironi bahwa dewasa ini banyak sekali masalah yang dihadapi manusia ternyata penyelesaiannya dibantu oleh benda mati.
Lebih dari sekadar dibantu, banyak juga situasi yang justru kesimpulannya ditentukan langsung oleh komputer dan manusia tinggal menerima. Contohnya kelulusan seseorang dalam seleksi calon karyawan baru sering diatur dan ditentukan oleh rangkaian algoritma yang dieksekusi oleh komputer.
Kenyataan itu memaksa kita untuk jujur mengakui bahwa kemampuan mental manusia dalam memperhitungkan sesuatu (calculating) dan atau sekadar menghitung (counting) ternyata bisa dikerjakan oleh benda mati.
Benda mati bahkan bisa melakukannya dengan teliti, obyektif dan tidak mendua (ambigu). Kalau tidak 1 ya 0, tidak ada nilai tengah di antara hidup (on) dan mati (off) ketika alternatif disodorkan.
Kalkulasi dan perhitungan tidak ada yang rumit, yang sulit barangkali keterbukaan pemilik masalah, keluasan wawasan perumus masalah dan ketegasan bersama keduanya untuk jujur mendedah semua variabel yang terlibat.
Tapi justru di sinilah tahap yang paling sulit.