Lihat ke Halaman Asli

amin yeremia siahaan

penyuka buka fiksi dan sejarah...

Pesan Paskah dari Film "The Two Popes"

Diperbarui: 12 April 2020   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dari freepik.com

Suatu film dikatakan sukses jika ia berhasil menghadirkan atau membangkitkan rasa emosi si penonton. Emosi muncul jika film itu berhasil menyuguhkan adegan konflik, bukan melalui adu fisik, tetapi dari plot dialog. 

Film The Two Popes, menurut saya, telah berhasil. Tidak satu, atau dua, tetapi ada beberapa konflik, yang memuncak pada satu konflik, dan itu pesan yang ingin disampaikan pada audience. 

Konflik di The Two Popes berasal dari dua tokoh, Paus Benediktus XVI dan Jorge Mario Bergoglio, dua orang dengan dua pemikiran yang bertolak belakang.

Benediktus digambarkan sebagai Paus yang konservatif, sedangkan Bergoglio, adalah kardinal yang aktif mengkritik Benediktus. Benediktus dianggap tidak tegas terhadap pastor atau uskup yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak. 

Pelaku hanya diminta mengakui kesalahannya dan setelah itu dipindahkan ke tempat lain. Dan ini masalahnya. Ia mengulangi lagi kejahatannya. Bergoglio, kardinal asal Argentina, mengatakan pengakuan saja tidak cukup. Harus ada penyelidikan lebih jauh. Pengakuan tidak bisa menyembuhkan luka para korban.

Kemudian Bergoglio mengkritik gereja yang giat membangun tembok-tembok dogma terkait persoalan perceraian, pasangan sejenis, aborsi. Benediktus bilang tembok-tembok ini adalah tradisi-ajaran gereja yang sudah ada sejak lama dan harus dipertahankan. 

Bergoglio menyanggah. Gereja tidak perlu tembok, yang diperlukan adalah belas kasih terhadap sesama. Lebih jauh, ketimbang sibuk membangun tembok-tembok itu, lebih baik gereja ambil andil untuk menyelesaikan masalah kesenjangan pembangunan (ekonomi).

Akhir dari perdebatan mereka berujung pada keinginan Paus Benediktus XVI mengundurkan diri sebagai Paus, dan berharap Bergoglio menggantikannya. 

Di sini konflik hadir kembali. Bergoglio merasa tidak pantas karena memiliki lembaran hitam di masa lalunya. Ketika Argentina di bawah kendali diktator militer, alih-alih ikut berjuang melawan seperti pastor lainnya, Bergoglio justru kerja sama dengan junta militer. 

Alasan logis dia adalah tidak ingin ada lagi rekan sejawatnya yang ditangkap, disiksa, dan dibunuh. Ia ingin melindungi mereka, khususnya organisasi Ordo Yesuit, tempat ia berasal. 

Usahanya ditentang. Ia gagal menyakinkan teman-temannya untuk tiarap sementara. Akhirnya mereka ditangkap penguasa dan disiksa. Bergoglio protes dan meminta mereka untuk dibebaskan, tetapi ia gagal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline