Lihat ke Halaman Asli

amin yeremia siahaan

penyuka buka fiksi dan sejarah...

Catatan Kecil dari Live Diskusi IG: Budiman Sudjatmiko dan Faldo Maldini

Diperbarui: 30 Maret 2020   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jadi begini, diawali main instagram, ketemu postingan budimaninovator, saya memang follow sejak lama, di situ ada agenda live bersama: Budiman Sudjatmiko, Ngobrol Politik Online Revolusi 4.0 Setelah Pandemi, dimulai jam 20.00 wib. 

Di bagian bawah postingan itu tertulis @faldomaldini untuk ikuti secara live. Segera ke menu pencarian mencari akun faldomaldini, ketemu, klik mengikuti, tak lama kemudian acara telah dimulai. Proses ini berlangsung tidak lebih dari 15 menit. Kenapa tertarik? Sejak Pandemi Covid-19, baru kali ada yang mengaitkannya dengan Revolusi 4.0.

Sebisa saya menangkap diskusi ini, dengan tambahan pribadi, ada beberapa hal yang menarik, setidaknya bagi saya. Pertama, Budiman Sudjatmiko, selanjutnya BS, menganalogikan Pandemi Covid-19 seperti ujian mendadak dari guru killer. Murid-murid terkejut, nggak sangka si guru akan bertindak demikian. 

Perintah guru, tidak boleh open book. Murid-murid protes. Oke, kalian boleh kerja sama, tetapi tetap tidak boleh open book. Siapa sangka umat manusia di semua negara dikejutkan dengan Covid-19. 

Negara maju, berkembang, negara liberal-kapitalis, sosialis, agama, semua kena. Sembari mengobati yang sakit, mencegah tidak lebih banyak yang tertular, semua negara sibuk menemukan vaksin. Kembali ke ilustrasi. Ketika kerja sama, demi lulus ujian, nggak peduli jawaban berasal dari murid yang dikenal pintar, pendiam, nakal, yang penting lulus. 

Begitu juga dengan Covid19. Siapa pun negara yang berhasil duluan bikin vaksin, semua negara akan minta, atau beli, yang penting rakyatnya sembuh. Ilustrasi ini, bagi saya, mengajarkan bahwa kesombongan umat manusia tidak berarti dihadapan virus. 

Kita menyombangkan diri yang paling suci, hebat, demokratis, berbarengan dengan itu, merendahkan yang lain, tidak berakhlak, penuh dosa. BS, lanjut mengibaratkan, Ibu Pertiwi (Bumi) yang selama ini menggendong anaknya (umat manusia) dan menuruti semua kemauannya (ego) merasa lelah, melepas gendongan, dan ingin bersolek sebentar. Kepongahan manusia ditegur alam.

Kedua, sisi positif work from home (WFH). Revolusi industri, penemuan mesin, membuat orang semakin individualis. Profit oriented. Kapitalisme merusak tata nilai, kekerabatan, solidaritas. WFH mengajak kita kembali untuk menyapa, menegur, ngobrol tetangga di kiri-kanan rumah, bahkan sesama anggota keluarga. 

Pergi kerja pagi hari, pulang larut malam, di rumah sibuk dengan gadget, begitu seterusnya. Tiba-tiba kaget ada bendera kuning dekat rumah, tapi nggak tahu itu siapa dan kenapa bisa meninggal. 

Individualisme mengasingkan kita dari pergaulan sosial. WFH jadi momentum untuk kembali membangun solidaritas, dimulai dari anggota keluarga, kemudian ke kiri-kanan tetangga.

Ketiga, masih terkait WFH, teknologi menjadi alat bantu yang sangat berarti selama WFH, utamanya soal komunikasi-informasi. Di sinilah peran revolusi industri. Teknologi memudahkan pekerjaan manusia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline