Pandemi Covid-19, jika kita mau lihat aspek "positif"nya, berhasil menelanjangi watak dan perilaku umat manusia. Baiklah, kita bisa maklumi mereka yang tetap memberanikan diri keluar rumah dengan alasan "dapur".
Namun tidak demikian dengan yang acuh tak acuh. Nongkrong di kafe atau sejenisnya, atau yang edan: holiday. Selama belum ada vaksin, berdiam diri, menghindari keramaian adalah cara ampuh untuk menekan laju penyebaran Covid-19.
Situasi bertambah runyam dengan polemik "penghentian" sementara kegiatan keagamaan di rumah ibadah. Ada pro-kontra. Menariknya, dua kubu saling mengaitkan iman.
Kubu pro, iman harus dibarengi dengan akal sehat. Ibadah dengan banyak orang justru memperbesar risiko terkena Covid-19. Toh, ibadah bisa dilakukan di mana saja, ibadah di rumah tidak linear dengan berkurangnya kualitas iman. Mereka yang kontra, hakulyakin iman akan melindungi mereka dari berbagai virus, tidak hanya Covid-19. Kuasa Tuhan jauh lebih berkuasa dari apa pun.
Lalu, panic buying. Toko retail mendadak ramai. Daya beli masyarakat, kelas menengah ke atas tentunya, bertambah ketimbang biasanya. Kuatir dengan isu lockdown, lebih cepat lebih baik untuk stok persediaan. Tidak kalah mirisnya adalah kelangkaan tiba-tiba masker dan hand sanitizer, kalau pun ada, harganya bikin "sport jantung".
Kita juga mendadak care terhadap kesehatan. Rajin cuci tangan pakai sabun, hand sanitizer, sunlight (seperti saya, hehe), baju segera dicuci nggak lagi digantung di balik pintu, ke mana-mana pakai masker, beli vitamin berbagai merk, dan lainnya.
Tidak kalah menjengkelkan adalah sikap percaya diri berlebihan elite politik. Ketimbang waspada, mereka yakin Indonesia akan aman-aman saja. Hasilnya? Seperti yang kita alami saat ini.
Semakin muak ketika ada saja politisi yang bersuara kontra-produktif, ketimbang memberikan solusi, bantuan, atau, setidaknya, meyakinkan masyarakat untuk tetap tenang.
Pandemi Covid-19 membuat kita gagap. Sikap abai, remeh, saling menyalahkan menambah kegagapan itu. Ini adalah kesempatan kita, tanpa kecuali siapa pun, untuk, pertama, mengakui bahwa kita gampang menggampangkan sesuatu, kalau sudah kejadian, baru paling sibuk se-dunia.
Seperti bolak-balik ke apotek mencari vitamin daya tahan tubuh. Padahal orang tua dulu sudah mengenalkan kita soal khasiat jahe, temulawak, kunyit, hanya saja kita selama ini malas mengolahnya, atau jangan-jangan karena menyepelekan dan lebih pede konsumsi yang ber-merk.
Kedua, ini adalah kesempatan kita di masa depan untuk serius dalam riset, khususnya riset di dunia kesehatan. Bill Gates mengatakan kekacauan dunia di masa depan bukan karena perang nuklir, namun karena virus.