Lihat ke Halaman Asli

amin yeremia siahaan

penyuka buka fiksi dan sejarah...

Pengalaman Pertama Sidang Mengurus STNK

Diperbarui: 11 Agustus 2017   15:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 30 September 2014 yang lalu saya mengalami kejadian apes. Kena tilang di seberang LP Cipinang, Jakarta Timur. Kronologi singkatnya sebagai berikut: seperti biasa saya mengendarai motor Revo saya dari Cimanggis, Depok ke lokasi kerja saya di sekitaran Rawamangun. Seperti biasa pula saya mengambil rute Jakarta-Bogor. Saya melaju dari arah Pal melewati Cibubur, Kiwi, Cijantung, Pasar Rebo, Kramat Jati, Cawang, lalu berbelok ke kiri dari halte busway Kalimalang sampai pertigaan lampu lalu lintas Jatinegara. Sampai di sini perjalanan lancar. Tidak lama lagi saya akan tiba di kantor, seperti biasa lagi. Lampu lalu lintas berwarna hijau, saya berbelok ke kanan melewati halte busway Jatinegara.

Belum ada tanda-tanda apa pun saya akan apes. Saya enjoy mengendarai Revo yang sudah berusia tujuh tahun ini, kecepatan sudah saya turunkan, karena sesaat lagi akan sampai di lokasi. Mungkin saja karena terlalu enjoy, saya terkejut ketika di depan saya sudah banyak polisi berdiri di pinggir jalan. Ada razia tepatnya. Mereka tidak sendiri. Beberapa pengendara motor disuruh minggir. Dentak jantung saya secepat kilat langsung berdetak kencang tak karuan. Sebabnya satu: saya belum punya SIM.Saya berusaha tetap tenang. Tapi laju detak jantung tidak menuruti.

Saya pernah dengar saran dari teman, jika ada razia, jangan membuat gerakan motor yang mencurigakan. Seperti tiba-tiba mengambil lajur kanan, padahal sebelumnya di sebelah kiri. Atau berusaha menghindar dengan memepetkan motor di balik mobil yang sedang melaju juga. Tentu harapannya akan terhindar dari penglihatan petugas. Teman itu menganjurkan tetap mengendarai normal, jika sebelumnya di sebelah kiri, ya tetap di kiri. Saran teman saya ini sebelumnya pernah saya gunakan. Ketika pulang gereja, ada razia polisi dan saya memang berada di lajur kiri karena jalanan cukup macet ketika itu. Sama persis, jantung saya juga berdetak cepat disertai cemas karena tidak punya SIM. Saya berusaha bersikap tenang. Saya tetap di lajur sebelah kiri, berjalan pelan dan tidak membuat gerakan mencurigakan, termasuk tidak “bersembunyi” di deretan mobil pribadi dan angkot. Dan saya sukses. Polisi membiarkan saya lewat. Saya tersenyum dan laju jantung kembali normal.

Tapi sial, saya tidak mendapat keberuntungan untuk kedua kalinya. Kali ini petugas tidak membiarkan saya lewat begitu saja. Meskipun saya masih mengikuti saran teman, petugas seakan tahu saya tidak punya SIM. Seorang petugas polisi, saya menduga berusia empat puluhan, melambaikan pelan tangannya pertanda saya harus menepikan motor. Dengan sopan petugas memberi salam dan secepat kemudian meminta saya menunjukkan STNK dan SIM. Saya coba bersikap tenang dan pasrah saja. Toh, dari awal memang saya sudah salah: nekat bawa motor tanpa SIM. Saya keluarkan dompet, STNK saya ambil dan serahkan ke petugas. Lalu ia bertanya, “ SIM-nya mana Pak?” Skak mat. Saya katakan belum punya SIM. “Belum punya SIM kok bawa motor, Pak?” katanya pelan. Saya tidak menjawab, hanya senyum saja. Tak lama kemudian ia menuliskan sesuatu di kertas tipis berwarna merah. “Bapak ikut sidang, yah”, lanjutnya. “Di mana Pak?” kataku. “Di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, hari Jumat tanggal 10 Oktober, mulai jam delapan pagi,” balasnya lengkap. Ia memberikan slip merah itu dan saya lihat kena pasal 281. Adegan selesai. Ia mempersilahkan saya untuk pergi. Saya kembali melajutkan sisa perjalanan. Detak jantung sudah kembali normal. Yang terpikir ketika itu adalah berapa besar dendanya?

Sesampainya di kantor, pengalaman apes ini saya ceritakan kepada teman-teman. Banyak respon dari mereka. Tapi satu yang membuat jantung kembali berdetak cepat, “Kalo pasal ini mungkin kau kena 200-250 ribu,” kata seorang teman kerja. Aku terkejut dalam hati. Besar juga pikirku. Lalu aku kembali coba tanya teman-teman melalui grup di WA, dan ada yang mengatakan cuma kena 50 ribu saja. Sesaat jadi bingung. Mana yang benar.

Waktu yang ditunggu tiba. Dengan menggunakan moda TransJakarta, saya berangkat pagi ke Pengadilan Negeri Jak-Tim. Sempat kelewatan karena saya berhenti di halte Walikota Jak-Tim, padahal PN Jak-Tim tidak jauh dari halte Penggilingan. Saya putar balik, tapi kali ini naik angkot karena mengejar waktu. Ya, saya berharap persidangan berjalan cepat agar tidak kelamaan telat ke kantor. Tiba di halte Penggilingan, saya langsung turun dan berjalan kaki ke lokasi. Dan disinilah cerita seru lainnya dimulai. Tidak jauh dari anak tangga halte, saya menyaksikan beberapa orang berdiri di pinggir jalan. Bukan petugas. Mereka mengibas-ngibaskan tangannya sambil memegang kertas kepada setiap pengendara motor dan mobil. Semakin dekat dengan mereka, barulah jelas kertas itu adalah kertas tilang berwarna merah. Dan bisa diduga mereka adalah para calo.

Saya melewati mereka, dan karena berjalan kaki, saya tidak ditawari. Saya terus berjalan, dan sepanjang berjalan ini, calo bertebaran di pinggir jalan. Tua dan muda. Keadaan berubah ketika saya mulai dekat dengan gerbang kantor pengadilan. Seorang anak muda menghampiri saya dengan cepat. Merangkul pundak saya. Menawari jasa. Dengan cepat ia meminta saya untuk mengeluarkan kertas tilang. Saya tetap berjalan dan menolak dengan menggelengkan kepala. Ia tidak menyerah. Bertanya kena pasal apa? Ngurus SIM atau STNK? Saya hanya senyum saja. Tetap lanjut berjalan. Ia terus menempel saya. “Cuma uang rokok saja, 10 ribu, uang dendanya nanti saja kalo urusan sudah selesai”, katanya dengan nada agak memaksa. Saya menolak halus. Tetap berjalan. Dan ia pun melepaskan rangkulan “mesranya”.

“Hanya 10 ribu saja”, kataku dalam hati. Mana mungkin? Bisa jadi uang denda bakal lebih tinggi dibandingkan dengan mengurus sendiri. Dan selisih itulah yang ia dapatkan. Tentunya ditambah uang rokok tadi. Jadi, ia bakal dapat banyak dari setiap mangsanya. Godaan tidak berhenti. Para Calo lainnya kembali menghampiri saya. Kali ini lebih tua dari sebelumnya. Hanya sajatidak ada rangkulan. Mereka hanya mendekati sambil menanyakan ngurus SIM atau STNK. Saya jawab dengan gelengan kepala. Mereka pun tidak memaksa lebih lanjut. Godaan calo ini berlangsung sampai saya mau memasuki gerbang pengadilan. Dalam hati saya, sungguh edan negeri ini, para calo yang bertebaran mulai dari halte sampai depan pengadilan begitu merajalela. Keberadaan mereka nyata dan terang benderang. Tapi sepertinya tidak ada tindakan. Padahal lokasi kantor Walikota Jak-Tim berjarak tidak jauh. Artinya, Walikota pasti tahu dan harus bertindak tegas.

Tapi, di sisi lain, bicara soal calo, kita tidak bisa sekonyong-konyong menyalahkan mereka. Dalam piramida korupsi, mereka berada di lapisan paling bawah. Jumlah mereka banyak tapi hanya mengkorup recehan. Beda dengan level paling atas, jumlahnya sedikit, tapi miliaran hingga triliunan uang rakyat di-embat. Maksudnya, kalau mau adil, hukum tidak boleh tajam hanya ke bawah saja, tapi juga tajam ke atas. Dengan kata lain, hukum harus terlebih dahulu menindak para elite koruptor yang sampai detik ini masih merajalela. Memang KPK sudah banyak menangkapi mereka, tapi yang bebas berkeliaran jauh lebih banyak. Belum lagi hukuman bagi yang “ketiban sial” umumnya rendah.

Jadi, sebanyak dan sesering apa pun razia kepada calo, sepanjang elite koruptor tidak diberantas, maka para calo akan kembali beraksi. Kenapa? Karena berlaku hukum kausalitas. Ya itu tadi, elite koruptor yang masih ongkang-ongkang kaki, menguasai seluruh akses ekonomi. Mereka menguasainya hanya demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Akibatnya, uang untuk perbaikan nasib rakyat tak kunjung dinikmati rakyat. Si Polan atau siapapun tetap nganggur, dan untuk bertahan hidup, pekerjaan apa pun dilakoni, termasuk menjadi calo.

Selain itu, calo tetap eksis karena adanya hubungan simbiosis mutualisme. Tidak bisa dipungkiri, banyak juga di antara kita, dengan alasan praktis dan waktu, lebih memilih menggunakan jasa calo, meskipun tahu dan sadar harus mengeluarkan biaya ekstra. Dalam kasus ini, saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Baik si calo ataupun si pembeli jasa mereka. Transaksi ini berjalan dalam keadaan sadar. Mereka sama-sama tahu bahwa perbuatannya adalah salah. Tapi, karena simbiosis mutulualisme itu, praktik terus berjalan. Satu-satunya cara untuk meniadakan hubungan saling menguntungkan ini adalah dengan cara memperbaiki sistem birokrasi kelembagaan kita. Dan yang mesti pertama kali dilakukan adalah memberantas korupsi. Menangkapi calo hanya menyelesaikan masalah di hilir saja, tapi akar masalahnya tetap ada. Cara seperti ini bisa dipastikan hanya bertahan temporer saja.

Memasuki area pengadilan, saya tidak menemui satu pun calo. Bisa jadi pihak pengadilan menerapkan zona bebas calo. Saya segera mencari loket tilang. Ratusan orang sudah berada di sana. Mereka pastinya senasib dengan saya, meski dengan tuduhan pasal berbeda. Tepat pukul 08.18 wib saya mendapatkan nomor panggil, 185. Tapi salah seorang petugas, berkata dengan lantang kepada kami, bahwa itu adalah nomor panggil bukan nomor urut. Artinya, yang dipanggil nanti tidak berdasarkan nomor tersebut. Alias bisa ngacak. Hal ini disebabkan petugas harus mencari lagi berkas kita apakah sudah dikirim pihak kepolisian atau belum. Berkas yang ditemukan, itulah yang langsung diproses meskipun tidak sesuai dengan nomor panggil.

Saya bersama yang lainnya duduk menuggu ruang sidang dibuka. Tak berselang lama, masih petugas yang sama, bersuara keras menyebut beberapa nomor. Kemudian si-empunya nomor datang. Petugas mengatakan bahwa mereka tidak bisa sidang hari ini karena identitas berkasnya belum diserahkan pihak kepolisian. Mereka coba mendebat. Mereka datang sesuai tanggal yang tertera di slip merah. Petugas menjelaskan bahwa mereka tidak salah, hanya saja berkasnya setelah dicek belum tiba. Ia menyarankan agar hadir satu minggu kemudian. Terlihat raut wajah kecewa. Tapi apa mau di kata, mereka harus terima dan pergi. Saya berpikir kenapa ini bisa terjadi? Toh, jeda kena tilang dan waktu sidang cukup lama. Biasanya tidak kurang dari dua minggu. Jadi, kenapa belum sampai? Saya tidak mau menduga-duga, meskipun terbersit mungkin karena masalah klasik birokrasi.

Tidak lama kemudian, tepatnya pukul 08.39 wib, kami diminta memasuki ruang sidang. Kami dipersilahkan duduk dengan tertib. Mereka yang tidak kebagian, diminta berdiri dengan tidak berkerumun. Sesaat perintah ini berjalan. Tapi ketika kerumunan semakin banyak, keadaan mulai berisik dan tidak karuan. Termasuk ketika petugas berkali-kali meminta pengunjung untuk melepaskan topi mereka. Tapi tetap saja ada yang ngeyel.

Petugas kembali menegaskan bahwa nomor yang kami pegang adalah nomor panggil bukan nomor urut. Tepat pukul 09.00, Hakim masuk ruang sidang ditemani beberapa petugas pengadilan. Salah seorang berkata bahwa kami akan dipanggil sesuai nomor panggil. Dan saat dipanggil, saya mengira-ngira, ada 8-10 orang sekaligus. Proses persidangan berjalan sangat cepat. Hakim melihat slip merah dan langsung membacakan denda ditambah biaya perkara. Beberapa kali hakim menyebut denda sebesar 50 ribu, 70, 75, bahkan ada yang kena 150 ribu. Ini yang saya cemaskan. Tapi melihat besaran denda yang lebih banyak di bawah 100 ribu, hati ini agak lebih tenang. Saya sendiri sudah menyiapkan uang cash 250 ribu, mengikuti “petunjuk” teman kantor saya.

Giliran saya tiba. Nomor yang sedari tadi saya pegang, hingga lecek, akhirnya dipanggil jua. Saya maju ke hadapan hakim bersama beberapa orang lainnya. Lalu hakim memangil saya, mengecek slip merah, dan secepatnya mengatakan, “lima puluh satu ribu rupiah.” Lima puluh ribu untuk denda dan seribu rupiah biaya perkara. Saya tersenyum. Rupanya teman di WA yang benar. Saya pun memasuki ruangan sebelah tempat membayar denda sekaligus mengambil STNK. Saya duduk dan tak lama kemudian dipanggil. Petugas kembali mengulang besaran denda dan saya pun langsung bayar. Setelah itu STNK yang ditunggu-tunggu pun diserahkan. Saya diminta mengeceknya. Saya cek, tidak ada yang salah. Persidangan selesai. Saya melihat pukul 09.20 wib.

Well, saya banyak mendapatkan pelajaran berharga dari pengalaman ini. Pertama, hidup di kota besar seperti Jakarta, mau tak mau harus melengkapi identitas kendaraan. Di daerah, seperti pengalaman saya di Rantauprapat, Labuhanbatu, Sumut, beberapa waktu yang lalu, urusan identitas ini bisa jadi tidak terlalu penting. Tapi, di Jakarta, dan mungkin di kota-kota besar lainnya, ini very important. Kedua, ada baiknya jangan menggunakan calo. Proses persidangan sangat singkat dan cepat. Khusus bagi yang pertama kali, mengikuti proses persidangan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan baru. Bayangan bakal lamanya persidangan karena sindrom birokrasi, ternyata tidak saya alami. Tapi, kalaupun terpaksa menggunakan calo, pandai-pandailah bernego. Semoga tulisan ini berguna bagi semuanya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline