Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia merupakan negara yang mempunyai cita-cita dan tujuan sebagaimana diatur dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk merealisasikan tujuan negara tersebut, Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional melakukan kerjasama dan hubungan internasional yang diwujudkan dalam perjanjian internasional.
Hubungan dan kerjasama internasional di atas semakin berkembang pesat di era globalisasi karena jarak antara satu negara dengan negara lain semakin dekat bahkan jarak bagian-bagian wilayah negara tertentu dengan bagian-bagian wilayah negara lain semakin menipis (borderlines). Keadaan ini membuka peluang bagi daerah-daerah tertentu untuk turut serta melakukan hubungan dan kerjasama dengan negara atau daerah-daerah negara tertentu dalam usaha memajukan daerahnya.
Sampai saat ini dilihat dari doktrin Hukum Internasional belum ada ketentuan yang mengatur atau membolehkan Negara Bagian pada sistem Negara Federal (Serikat) ataupun Daerah pada sistem Negara Kesatuan untuk melakukan hubungan atau kerjasama internasional. Sebagaimana maksud pengertian Hukum Internasional yang dikemukakan Boer Mauna, yaitu: "Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional".
Boer Mauna tidak menjelaskan maksud kata-kata "subjek-subjek hukum lainnya" apakah juga termasuk Negara Bagian pada Sistem Negara Serikat atau Daerah pada Sistem Negara Kesatuan. Namun pada bagian lain Boer Mauna menjelaskan lebih rinci tentang subjek-subjek hukum internasional dengan menyempurnakan pengertian Hukum Internasional adalah: "Suatu kaidah atau norma-norma yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum internasional yaitu negara, lembaga dan organisasi internasional serta individu dalam hal tertentu".
Dewasa ini perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan antar negara. Melalui perjanjian internasional, setiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup negara dan masyarakatnya.
Sama halnya dengan pengertian perjanjian internasional yang dikemukakan di atas, demikian pula Boer Mauna mengutip Pasal 2 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional mengartikan perjanjian internasional sebagai: "Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya".
Pengertian di atas kembali menekankan bahwa pelaku utama atau pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional adalah negara, bukan Negara Bagian pada Negara Serikat atau daerah pada Negara Kesatuan. Demikian pula Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes berpendapat pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional adalah negara sebagaimana pengertian perjanjian internasional yang dikemukakannya, yaitu:
Secara hukum internasional tidak terlihat adanya kebolehan (gebod) daerah dari suatu Negara seperti halnya dengan Indonesia adanya Pemerintah Daerah dapat membuat perjanjian internasional sebagai dasar kerjasama atau hubungan internasional. Namun praktek hubungan internasional berkembang melebihi perkembangan hukum perjanjian internasional ataupun hukum internasional itu sendiri di mana banyak ditemui adanya kerjasama atau hubungan internasional yang dibuat Pemerintah Daerah di Indonesia.
Bergulirnya era reformasi membawa perubahan pada tatanan politik hukum Indonesia dimana pemerintah daerah di Indonesia dapat mengurus dan mengurus rumah tangga daerahnya sendiri berdasarkan "otonomi". Soepomo yang dikutip oleh Rozali Abdullah, yang mengemukakan:
Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan tersebut, otonomi daerah dalam sistem administrasi negara kesatuan Republik Indonesia membenarkan hak, kewajiban dan tanggung jawab ataupun kewenangan tertentu pada pemerintahan daerah, namun untuk bidang-bidang tertentu terdapat kewenangan pusat yang tidak dapat didesentralisasikan kepada daerah. Sebagaimana diketahui hal tersebut telah diakomodasikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksana lainnya.