Lihat ke Halaman Asli

Aminnatul Widyana

Blogger yang suka cari ilmu

Bertolak dari Reok Menuju Ruteng bersama Tolak Angin

Diperbarui: 3 Desember 2018   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dokpri)

Malang, Agustus 2018

Malam yang dingin diwarnai gerimis di sekitar rumah, membawa anganku menuju ke masa lima tahun silam. Sebuah masa penuh perjuangan, tekad, petualangan, juga sarat pengalaman akan makna kehidupan. Cerita yang tak akan ada habisnya untuk bisa kuceritakan ulang. Karena memang hanya tinggal cerita yang bisa kubagikan.

Bermula dari sebuah daerah di pelosok wilayah Nusa Tenggara Timur yang bernama Kecamatan Reok Kabupaten Manggarai, kumulai cerita ini. Tempat dimana aku terdampar selama satu tahun sebagai guru Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal. Sebuah program pemerintahan yang kini tinggal kenangan.

Pantai Torong Besi, Reok, Manggarai (dokpri)

Kecamatan Reok berada tepat di pesisir pantai. Dimana hamparan pasir dan laut yang menawan bisa dinikmati sepanjang tepian. Daerah pantai yang khas dengan suhu udara yang agak gerah dan bau asin air laut. Sungguh bertolak belakang dengan Kota Ruteng, pusat Kabupaten Manggarai.

Di sana terhampar sawah, bukit, dan gunung Ranaka yang menjulang. Sehingga menambah dinginnya suhu udara dan seringnya hujan menerpa. Hampir sama seperti wilayah tempatku bermukim sejak lahir, di Kecamatan Dampit Kabupaten Malang.

Kedua tempat kontras yang mengisahkan beribu cerita. Disertai ketimpangan lain, mayoritas penduduk asli beragama Katolik sedangkan para pendatang beragama Islam. Namun ini tak jadi soal, mereka tetap mampu menjunjung tinggi kebinekaan.

Pemandangan dari atas bukit menuju desa Nggalak, Reok Barat, Manggarai (dokpri)

Lain halnya dengan sebuah desa bernama Nggalak, tempatku bernaung. Desa ini berada di wilayah pemekaran kecamatan Reok, yaitu kecamatan Reok Barat. Di sini, aku jadi seorang muslimah sendirian. Suatu hal yang menjadikan salah satu alasan bolak-balik ke kota untuk sekedar memenuhi kerinduanku, dengan sowan ke masjid. Kerinduan kepada orang-orang tercinta, yang kutinggalkan di tanah Jawa. Dengan pergi ke tempat ibadah, sedikit banyak, kurasa bisa mengobati rindu setelah kutitipkan kepada Yang Maha Pengasih.

Yah, itu hanya salah satu alasan, dari segudang alasan lain aku bolak-balik dari desa ke kota. Seperti karena akan berbelanja, pergi ke Dinas Pendidikan, pertemuan dengan teman-teman, refreshing, atau, alasan klasik seperti mencari sinyal yang bagus.

Apa? Mencari sinyal? Iya... Cek sendiri kalau nggak percaya!

Berbeda dengan Reok yang berada di pantai, wilayah desa Nggalak ini berada di lembah, dikelilingi perbukitan di sekitarnya. Suhu udaranya hangat, tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Suatu sebab yang membuatku cukup nyaman dan kerasan berdiam di pelosok desa.

Senyaman-nyamannya di desa, tetap saja aku mengungsi ke kota Ruteng pada waktu-waktu tertentu. Seperti pada waktu perayaan hari raya Natal dan tahun baru. Bukan karena aku anti dengan hari raya agama tertentu, tapi lebih karena aku tidak ingin terlibat dengan budaya minum bir pada saat tahun baru di desa. Lebih baik aku berdiam diri di dalam masjid kota Ruteng yang dingin selama semalam suntuk. Meskipun perjalanan ke sana membutuhkan perjuangan yang lebih dahsyat daripada hari-hari biasanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline