Lihat ke Halaman Asli

Amini Farida

Kepala SMP Negeri 10 Kota Madiun

Surat Cinta untuk Ayah

Diperbarui: 27 Februari 2021   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mata ini serasa masih kemarin sore, menyaksikan setiap pagi kau ayunkan sapu dari halaman depan hingga belakang,setiap pagi rumah menjadi nampak bersih dan segar.Bunga sepatu,melati dan kantil gembira bermekaran mendapat guyuran air gembor.

Anak-anakmu kau teladani dari bangun pagi hingga mau tidur malam secara tidak langsung kau ajari kami harus mampu menyiapkan diri menyambut pagi dengan tugas masing-masing.

Semua perlengkapan sekolah harus sudah masuk tas, jika terpaksa ada buku tertinggal,maka aku harus berlatih bertanggung jawab apapun resikonya.Hukuman yang diberikan bapak ibu guru,aku harus menerima dengan sadar diri,bahwa itulah akibat mengabaikan disiplin,tidak taat ayah.

Adzan subuh semua harus sudah bangun melakukan kewajiban sebagai muslim,dilanjut tugas sesuai pembagian menata alat makan,menyapu hingga sebelum pukul 06.00 sudah mandi,berseragam,dan tentu sudah harus makan pagi,akulah yang harus menunggu ayah,bukan sebaliknya.Etika yang menumpang itulah yang menunggu,begitu ayah siap aku harus pula segera beranjak.

Saat menunggu itupun tak boleh berpangku tangan, harus digunakan cek perlengkapan,jika masih ada waktu bisa untuk membaca buku atau menulis buku harian.Diantaranya berisi kegiatanku pagi di sekolah hingga siang,apa yang kudapatkan?.Pulang sekolah hingga nanti malam.

Perpustakaan saat itu sangat sederhana,para siswa harus antri mengisi buku daftar peminjam.Awalnya aku heran kok temanku suka pinjam majalah hingga berebut?.

Kucoba ikut pinjam hmm memang tertarik pada gambarnya yang lucu-lucu,namun lama-lama tertarik juga apa isi buku itu.Kumenunggu ayah siap,barulah berangkat bersama ke sekolah.

Kau bonceng gadis kecilmu ini demi keamanan kakiku diikat tali dibawah sadel sepeda jengki warna biru dan siap berangkat mengajar.Sepeda melaju pelan menyusuri jalan makadam,bercampur lumpur.ang belum beraspal kala itu,agak berat jika tadi malam diguyur hujan.Ayahku guru SD,ramah selalu tersenyum,wajar jika ayah termasuk guru yang ditunggu siswa.Begitu turun dari sepeda,aku berlari menuju kelasku,aku tak pernah diajar ayah di sekolah,mungkin ayahku yang meminta kebijakan kepala sekolah,buktinya aku kelas satu ayah mengajar kelas lima,aku kelas lima ayah mengajar kelas tiga,hingga lulus SD.

Kulihat begitu ayah memarkir sepedanya, para murid pun berlari untuk antri bersalaman,ayah dengan senyum khasnya menyambut tangan-tangan kecil itu,seraya"Salam sehat ya,sudah bisa tertib sholat kan,tugas kemarin bisa kan,naa gitu ndak terlambat lagi,wah hebat selamat dapat juara".Begitulah setiap anak mendapatkan komentar yang berbeda-beda sesuai masalah masing- masing..

Dalam mengajar sering menggunakan media mendongeng yang menarik,dengan ekspresi yang hebat,hingga murid terbawa suasana itu,menangis tersedu-sedu hingga tertawa terbahak-bahak.

Dongeng yang sarat nasehat,menganjurkan anak-anak harus selalu berusaha belajar setiap saat dengan banyak membaca.Kala itu majalah masih langka.Majalah Kuncup dengan cerita si Bingu menjadi cerita bersambung yang asyik dinanti.Majalah sekolah yang masih terbatas jumlahnya,harus menunggu giliran sesuai pembagian ayah,selaku guru kami pula,semua layanan sama harus antri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline