Bagi pecinta film action yang berlatar history, saya rasa film ini sangat cocok dengan anda. Dengan latar Gwangju era 1980an seakan membuka Kembali sisi gelap sejarah korea selatan saat itu.
Korea Selatan yang biasanya menunjukan hingar bingar dunia per Kpop an dalam Film ini seakan menunjukan sisi lain yang tidak terlihat oleh sejarah.
Film dengan judul asli "Taeksi Unjeonsa" merupakan film yang diangkat dari kisah nyata. Dengan mengambil sudut pandang dari seorang pengemudi taksi, Kim Man-seob (Song Kang-ho), yang mengantarkan wartawan asal Jerman, Peter (Thomas Kretschmann), ke Gwangju demi mendapatkan uang untuk membayar tunggakan sewa rumahnya.
Walau sebenarnya menggunakan cara licik untuk bisa mendapatkan uang tersebut. Tapi, tanpa disangka, hal itu membuatnya menjadi salah satu orang yang berpengaruh dan ikut menuliskan sejarah.
Taeksi Unjeonsa ini seperti menggambarkan bahwa pahlawan sesungguhnya bukanlah orang yang berseragam dan bersenjata lengkap, tapi seorang supir taxi pun dapat menjadi pahlawan. Bahkan masyarakat biasa hingga mahasiswa pun ikut andil dalam peristiwa Gwangju ini.
Film karya sutradara Jang Hoon ini banyak sekali mendapat apresiasi dari penontonnya, bahkan diluar Korea Selatan. A Taxi Driver sendiri adalah film yang dipercaya sebagai perwakilan Korea Selatan untuk ajang Academy Awards. Tentu ada alasan mengapa Korea menunjuk film ini sebagai utusannya. Film ini telah berhasil memikat 12 juta lebih penonton selama penayangannya. Angka itu juga membuat A Taxi Driver bertengger di peringkat ke-10 sebagai film terlaris Korea sepanjang sejarah.
Film berdurasi 137 menit ini mampu membius penontonnya agar tak merasa bosan. Efek visual dan efek suara yang ditampilkan membuat penonton terhanyut dan seperti tidak memberikan kekosongan didalamnya, bahkan tak sedikit yang ikut meneteskan air mata melihat perjuangan tokoh didalamnya.
Sekilas tentang Taeksi Unjeonsa yang mengangkat tema Gwangju Uprising yang terjadi pada tahun 1980. Gerakan tersebut adalah salah satu reaksi yang timbul pasca tragedi pembunuhan presiden Park Chung-hee pada 26 Oktober 1979. Rezim Park selama 18 tahun yang hancur secara tiba-tiba ini tentunya membuat situasi politik dan sosial menjadi tidak stabil.
Gwangju menjadi salah satu wilayah terparah akibat tindakan represif militer ini. Protes di Gwangju awalnya hanya dilakukan oleh para mahasiswa Chonnam University. Namun situasi semakin memanas setelah pihak militer mulai "melawan" dan menimbulkan korban jiwa dari mahasiswa. Penduduk lokal pun marah, dan konflik semakin membesar. Bahkan, peristiwa ini diperkirakan menelan ratusan korban jiwa sepanjang 18 hingga 27 Mei 1980.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H