Saat ini, tren makanan berkembang sangat pesat. Mulai dari makanan tradisonal hingga makanan dari negara lain yang terus menjamur di Indonesia. Jenis makanan pun beragam, ada yang makanan berat hingga makanan ringan.
Berbicara soal makanan, siapa yang tidak mengenal hamburger, pizza, ayam goreng, French fries, dan kawan-kawannya yang menggiurkan itu? Mayoritas generasi zaman sekarang pasti sudah menyicipi bahkan menjadi makanan sehari-harinya. kebanyakan masyarakat memilih untuk menikmati makanan cepat saji. Alasannya, selain rasanya yang lezat, penyajiannya pun sangat cepat mengingat masyarakat sekarang memiliki kesibukan yang tinggi. Mereka pun menginginkan berbagai hal yang instan termasuk makanan.
Salah satu dampak kemajuan teknologi saat ini adalah perubahan gaya hidup dan pola makan di masyarakat, khususnya dikalangan Remaja zaman sekarang yang menyukai Junk food atau makanan cepat saji.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014, remaja adalah kelompok usia 10 tahun sampai berusia 18 tahun. Remaja dimulai pada usia 12 tahun dan berakhir sekitar usia 17 atau 18 tahun. Remaja memiliki kebutuhan nutrisi yang spesial dibandingkan kelompok umur lainnya. Hal ini karena pada saat remaja terjadi pertumbuhan yang pesat dan perubahan kematangan fisiologis sehubungan dengan masa pubertas.
Saat ini, banyak remaja yang menyukai makanan cepat saji yang biasa dikenal junk food. Junk food mudah ditemukan dan bisa dikonsumsi dalam kondisi apapun. Junk food meningkat di kalangan Remaja karena jenis makanan ini mudah didapat, rasanya lezat, penyajian cepat dan merupakan salah satu life style anak saat ini. Remaja yang memiliki aktivitas sosial yang tinggi, cenderung memperlihatkan interaksi dengan teman sebaya. Di kota besar, banyak dijumpai sekelompok remaja yang makan bersama di tempat makan yang menyediakan makanan cepat saji atau fast food. Makanan cepat saji tersebut berasal dari negara barat yang umumnya memiliki kandungan lemak dan kalori yang tinggi. Apabila dikonsumsi dalam jumlah banyak setiap hari, maka dapat menyebabkan obesitas. Obesitas atau kegemukan ini dapat menyebabkan timbulnya masalah gizi lainnya.
Berdasarkan penelitian di Bangladesh, siswa yang mengonsumsi makanan cepat saji sebanyak 2 hari per minggu berisiko 2,2 kali mengalami obesitas. Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa 90% remaja yang mengonsumsi makanan cepat saji, 22,45% mengalami pre-obesitas dan 9,52% mengalami obesitas. Sebanyak 54,40% siswa menyukai makanan cepat saji dan lebih dari 60% siswa tidak menyadari mengenai fakta bahwa makanan cepat saji adalah makanan yang tidak sehat.
Hasil laporan Riset Kesehatan Dasar JATIM (Riskesdas JATIM) 2018 diketahui bahwa 36,2% remaja di Jawa Timur mengalami obesitas dan overweight di umur 18 tahun. Menurut penelitian Shinta (2011), responden dengan kategori status gizi lebih yaitu sebanyak 46,7% mempunyai frekuensi konsumsi Junk food 1 - 2 kali dalam seminggu. Sesuai data dari beberapa sektor Industri di Indonesia di tahun 2008 pertumbuhan industri makanan mencapai 19,4% pertahunnya.Hal ini membuktikan bahwa konsumen makanan Junk food semakin meningkat dan semakin digemari banyak kalangan terutama kalangan remja.
Selain menyebabkan obesitas atau kegemukan terlalu sering mengonsumsi junk food dapat menyebabkan :
1. Meningkatkan faktor risiko tekanan darah tinggi (hipertensi)
Pada penelitian di Yogyakarta menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan makan makanan cepat saji dengan kejadian hipertensi. Semakin sering kebiasaan makan makanan cepat saji, maka akan memiliki peluang sebesar 0,451 mengalami kejadian hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang disebabkan karena obesitas. Dengan kata lain, obesitas merupakan faktor risiko dari terjadinya penyakit hipertensi.Terdapat hubungan antara angka kejadian hipertensi dan berat badan yang meningkat secara drastis sesuai dengan peningkatan berat badan. Risiko menderita hipertensi meningkat 1,6 kali pada orang yang overweight, menjadi 3,2 kali pada orang yang obesitas kelas 1, serta 3,9 - 5,5 kali untuk obesitas kelas 2 dan 3
2. Meningkatkan faktor risiko diabetes