Ketentuan ketentuan yang menimbulkan konflik hukum baikdalam UU Perkawinan maupun UU Peradilan Agama tersebut disebabkan adanya faktor politik hukum pemerintah yang masih menganggap hukum Islam sebagai hukum yang subordinat dibanding dengan hukum Barat dan hukum Adat. Keberadaan hukum Islam di Indonesia masih dianggap sebagai instrumen belaka dalam rangka menyusun hukum nasional, bukan sebagaih ukum murni yang hidup dan berlaku di mashar'at Muslim Indonesia.
Dengan kondisi politik hukum yang demikian, maka upaya penerapan (positivisasi) hukum Islam di Indonesia pun hanya terbatas pada aspek-aspek hukum formal, sehingga secara legal formal eksistensi hukum Islam di Indonesia, termasuk lembaganya yaitu Pengadilan Agama, terlihat semakin kokoh (atau lebih kokoh jika dibanding masa-masa sebelumnya).
Namun demikian, jika dilihat secara substantif akan nampak bahwa penerapan hukum Islam hanya dilaksanakan secara prosedural semata yang mengabaikan aspek keadilan (justice). Pembentukan sistem hukum Islam dengan dibentuknya hukum positif melalui UU Perkawinan, UU PA dan lain-lain dianggap sudah memenuhi rasa keadilan bagi umat Islam Indonesia.
Padahal, ketentuan-ketentuan didalam aturan perundang-undangan tersebut ternyata banyak menimbulkan kekakuan-kekakuan hukum yang berakibat pada kesukaran bagi para pihak untuk mencari keadilan dan kebenaran karena terhalang oleh tembok-tembok prosedural hukum. Masalah kewenangan Peradilan Agama dari dahulu hingga sekarang memang selalu berada dalam konflik kepentingan,sehingga upaya positivisasi hukum Islam nampak kental dengan nuansa politisnya dari pada nuansa yuridisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H