Lihat ke Halaman Asli

Ada Apa dengan Rasisme

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Isu rasial kembali berhembus kencang di dunia sepak bola. Kampanye FIFA dengan slogan “say no to racism” sepertinya mendapat lawan tangguh. Menghapus masalah rasisme sampai ke akar akarnya menjadi pekerjaan berat buat dunia sepak bola bahkan buat umat manusia. Yang terbaru datang dari Bek Manchester United Rio Ferdinand dan atlet sepak bola olimpiade Swiss Michel Morganella. Rio didakwa Federasi Sepak Bola Inggris (FA) terkait kicauan Lewat akun twitternya yang menyindir Ashley Cole sebagai Choc-Ice, sebutan bagi orang kulit hitam yang membela kulit putih. Hali ini terkait kesaksian Cole yang meringankan Jhon Terry atas dugaan rasial terhadap adik Rio, Anton Ferdinand. Sedangkan Michel Morganella dipulangkan dari Olimpiade London 2012 karena menuliskan pesan rasial tentang Korea Selatan (Korsel) sesaat setelah timnya kalah 2-1 juga melalui akun Twitter pribadinya. Tentu masih lekat dalam ingatan pada piala Eropa 2012 saat partai Italia melawan Kroasia. Dimana beberapa suporter Kroasia terbukti melempar pisang ke dalam lapangan dan melantunkan nyanyian berbau rasis yang diduga ditujukan kepada striker berkulit hitam Italia, Mario Balotelli. Atau masalah rasial yang dilakukan Luiz Suarez yang memanggil Patrice Evra dengan sebutan ‘Negrito’ atau negro (orang kulit hitam) sebanyak kurang lebih 8 kali. Apa sebenarnya itu rasisme? Dan bagaimana bentuk tindakan rasisme saat ini?

Istilah rasisme baru pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an, ketika istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan "teori-teori rasis" yang dipakai orang-orang Nazi dalam melakukan pembantaian terhadap orang Yahudi. Rasisme adalah ideologi rasis yang dipahami sebagai suatu sistem sosial yang kompleks berdasarkan kesukuan atau rasial yang mengakibatan adanya dominasi dan ketidaksetaraan (Dijk, 1993). Pada dasarnya, rasisme adalah pendangan hidup yang mempunyai anggapan bahwa satu kelompok menganggap kelompok tertentu tidak sederajat atau belum sederajat dan bahkan belum berderajat manusia.Celah perbedaan dan keragaman itu, ternyata ditafsirkan secara salah.tak dapat dihindari, kalau dalam rentang sejarah muncul "klaim" terhadap manusia yang berkulit hitam dengan "cap" sebagai manusia yang bodoh, kurang beradab dan terbalakang. Dalam buku Racism: A Short History, George M. Fredrickson, menyadari betul bahwa rasisme bukan sekadar suatu sikap atau sekumpulan kepercayaan yang terpatri dalam masyarakat. Rasisme mengungkapkan diri pada praktik-praktik, lembaga, dan struktur yang dibenarkan dan diakui oleh suatu perasaan berbeda yang mendalam. Lebih jauh rasisme bisa membentuk suatu tatanan rasial, tidak sekadar berkubang dalam teori tentang perbedaan manusia.

Dalam dunia olahraga khususnya sepak bola, masalah rasisme biasanya terjadi akibat mengeluarkan kata kata yang menyinggung masalah rasial seperti asal usul, agama atau warna kulit. Tapi cukup dilematis rasanya meng “klaim” seseorang telah melakukan tindakan Rasis. Tak seperti dulu, dimana jelas terjadi pemisahan yang tegas bahkan pembantaian secara missal antara ras yang satu dan lainya. Semua tau bagaimana Hitler tanpa merasa bersalah, telah menggunakan teori-teori rasis untuk membenarkan pembantaian massal yang ia lakukan terhadap orang-orang Yahudi Eropa, demi alasan menjaga kesucian bangsa. Hal ini juga dilakukan para penguasa di Amerika Selatan dengan menerapkan hukum Jim Crow yang membatasi pergerakan kulit hitam demi menjaga kemurnian supremasi kulit putih. Begitu juga politik Apartheid di Afrika Selatan adalah contoh sejenis. Semua rezim rasis itu telah ditumbangkan, dan ideologi-ideologi yang menjadi landasannya agaknya telah bangkrut. Kembali ke permasalahan tindakan rasisme di saat ini. Kita ambil contoh kasus evra dan suarez, sesuai laporan panel FA, saat Evra bertanya kenapa ia ditendang, Suarez mengatakan dalam bahasa Spanyol, ‘’Porque tu eres negro (Karena kamu hitam).’’ Dalam pembelaannya, Suarez mengatakan, ia mengucapkan kata black (hitam) dan negro untuk meredakan ketegangan emosional dengan Evra. Sebab, di negaranya (Uruguay) menyebut orang lain black atau negro itu justru pertanda keakraban. Panel juri FA dan ahli bahasa tidak sepakat atas pembelaan Suarez, yang dinilainya justru menggampangkan persoalan. Tidak menganggap serius bukti-bukti ucapan rasisnya dan sangat ‘’tidak memuaskan’’ dan berpotensi menyebarkan virus rasis di tubuh sepak bola Inggris. Dilihat pada satu sisi, apa yang dikatakan Suarez mungkin ada benarnya. Suarez bukan penutur asli bahasa Inggris dan tidak berasal dari negara-negara bekas koloni Inggris. Wajar ketika ia tidak memahami cross-culture understanding (pemahaman lintas budaya) untuk memberi pijakan berucap yang sesuai dengan beragam faktor kontekstual. Berucap sesuai latar dan konteksnya. Begitu juga dengan beberapa kasus serupa, seorang yang dituduh mengeluarkan kata kata rasis menyangkal telah melakukanya.

Tapi apapun itu, permasalahan perbedaan adalah sebuah hal yang harusnya kita sukuri sebagai karunia Tuhan. Warna kulit, agama, ras yang menjadi bawaan lahir bukanlah faktor tunggal penentu prestasi. Sepak bola sebagi sebuah olahraga dengan jumlah penonton terbesar dan memiliki pecinta di seluruh pelosok belahan dunia adalah sebuah media efektif untuk menyampaikan misi perdamaian dan pesan pesan moral. Salah satu nya adalah Rasisme. Rasisme harus terus diperangi, karena ia selalu siap meracuni sendi-sendi bermasyarakat dan melunturkan nilai-nilai kemanusiaan. Say no to racism.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline