Lihat ke Halaman Asli

Amien Laely

menyukai informasi terkini, kesehatan, karya sendiri, religiusitas, Indonesia, sejarah, tanaman, dll

Gundah Si Pencari Getah

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14091866391572892031

[caption id="attachment_355775" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: http://www.sayangi.com"][/caption]

Ingin dihempaskan saja rasa itu
Di bawah daun kering yang jatuh subuh tadi
Ketika embun malam mendekap senyap
Ketika lentera langit tertinggal di sudut gelap

Rasa itu seperti resah yang mencekam
Menghanguskan kepongahan
Melantakkan kehendak
Menyerpih-nyerpih kesadaran dengan kejam
Melalap sekejap sisa harap

Dia hampir tak kuasa lagi
Menahan pedihnya rasa hati
Rasa sakit yang menusuk sesak di pedalaman jiwanya
Rasa yang mencengkeram jiwa hampir setengah masa purnama
Yang mencekat nafas-nafasnya di paruh usia

Dia tak tahu mengapa rasa itu menyatu membatu
Melekat rekat dalam jiwa tuanya
Jiwa yang telah lebih dari lima windu menemaninya
Menerjang samudera hidup seorang pencari getah
Rasa yang terpatri mati bersama diri

Jiwanya kini tak mampu lagi me-liat kuat seperti getah-getah itu
Getah yang dicampakkannya di bejana usang di belakang rumah
Jiwa yang kini lemah
Sejak setengah masa purnama
Sejak berasnya habis dan anaknya merengek
Menanyakan air tajin asin yang tak lagi disuguhkan oleh ayahnya

Dulu dia sangat membanggakan getah-getah liat itu
Karena telah memberinya beberapa keping uang
Dan mengajari kerasnya kehidupan
Agar gagah kuat seliat getah

Namun kini uang-uang getah itu tak cukup lagi
Membeli beras, minyak, krupuk, dan membayar listrik
Apalagi membeli susu untuk anaknya
Membeli gincu istrinya yang pernah dia janjikan
Dan dia berkhianat tak menepati janji

Pagi itu kepalanya tertunduk lesu
Malu …………
Kepada diri dan orang-orang yang dicintainya
kepada teman dan tetangganya
Batinnya tersiksa gundah tak bersudah
Meratapi perjalanan seorang pencari getah

Pilu hati di pagi itu ingin dia akhiri
Dengan sehelai kertas putih bertuliskan kata-kata suci
Yang dulu diberikan oleh ibunya
Dua puluh tahun yang lalu

Mantera-mantera dilafalkannya kata demi kata
Butir air mata membasahi pipi dan lubang hidungnya
Dan Satu-satu gundah hatinya berjatuhan
Hanyut terbawa mantera
Entah kemana
Mungkin ke sungai-sungai tawakkal yang masih diyakininya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline