Lihat ke Halaman Asli

Melangkah Mantap di Jalan Senyap

Diperbarui: 5 November 2016   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Melangkah Mantap di Jalan Senyap ( Selamat Pagi, Aku Mau makan, Terimakasih)

Minggu pagi yang mendung, dengan perarakan awan menggantung. Ketika aku sampai di tempat yang kutuju. Aku coba mengetuk pintu. Tak berjawab, kucoba mengetuk lebih keras, masih juga tak berbalas. Ketika tangan akan mengetuk lebih keras lagi, seketika aku ingat mengapa tak seorangpun menjawab ketukan ini. Maka aku urungkan untuk mengetuk lagi, kubuka pelan pintu dan dengan mantap aku melangkah memasuki ruang yang senyap.

Kulewati ruangan Café yang cantik tertata apik dengan dekorasi yang melukiskan café yang unik. Aku menuju ruang induk di samping café, seketika aku melihat beberapa orang tersenyum ramah tanpa kata. Dengan bekal kata yang aku hafal yaitu: “Selamat pagi, aku ingin makan, terimakasih”.

Yaaachhh 3 kata dalam bahasa isyarat tersebut berbalas dengan sambutan hangat namun sunyi kalimat dari seorang remaja pria. Yang belakangan aku tahu bernama Wawan.

Kemudian seorang gadis manis yang ramah mmenghampiriku. Mengibaskan gerai rambutnya yang masih basah. Percik-percik air seperti embun beterbangan di sekitar kepalanya. Menjadi lukisan sempurna di mataku. Dia membawaku ke meja, menyodorkan menu dan membuat gerakan yang meskipun tanpa kata, namun aku mengerti maksudnya.

Saat aku duduk di ruangan, di luar halaman terguyur derasnya hujan. Sang gadis yang memperkenalkan diri bernama Nur mempersiapkan makanan. Sungguh, saat itu aku seperti berada di suatu zona indah tak terperi, seakan pusaran bumi sejenak terhenti. Hanya terdengar kecipak jatuhnya air hujan di genangan, denting alat memasak makanan, dan senyum indah Nur dan Wawan yang terhidangkan. Seperti harmoni orchestra semesta yang luar biasa indahnya. Ada seekor rama-rama yang kuyup sayapnya, hinggap di foto pelajaran abjad bahasa isyarat. Mengajak mataku terpaku dan berusaha mempelajari setiap aksara jari yang terpampang disitu.

Di tempat ini, di Deai Café Finger talk, aku mersakan sensasi indah tak terkata. Membasuh seluruh pekatnya polutan dunia. Menggeser gemuruh tekhnologi dengan siraman sejuk jiwani.

Saat aku menikmati makanan yang tersaji, aku merasa menyantap makanan yang bukan hanya secara ragawi namun juga santapan rohani. Kami sunyi tanpa kata, namun hati kami bicara. Menghubungkan dunia sunyi mereka dengan dunia riuh telinga biasa. Seolah menghubungkan suatu dimensi kasih yang turut aku rasakan yang diciptakan oleh Sang pendiri café tersebut.

Sang pendiri adalah Ibu Dissa Syakina Ahdanisa sarjana lulusan manca Negara, yang memiliki misi kasih luar biasa. Sayang aku tak berkesempatan bertemu dengan Ibu Dissa.

Deaf Café Fingertalk, adalah café yang mewadahi para insan tuna rungu. Café dengan pengelola seluruhnya tuna rungu, tuli bisu. Dengan bangunan cantik, ruang yang cukup apik dan dekorasi menarik, menggambarkan chiri khas unik.

Ada sepasang sofa berbentuk jari, beberapa panduan bahasa isyarat tersaji. Ruang tanpa musik namun bagi yang mendalami, ada nyanyian indah dari hati. Di samping Café ada workshop untuk barang-barang souvenir yang diproduksi. Seluruhnya ditangani oleh insan tuna rungu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline