Tidak dapat dipungkiri, prostitusi merupakan bisnis gelap yang selalu sukses dijalankan dari masa ke masa. Bahkan bisnis perdagangan manusia sebagai alat prostitusi ini telah menjadi budaya yang diturunkan dari zaman ke zaman. Di Indonesia sendiri, bisnis gelap prostitusi bahkan telah ada dari zaman kerajaan, yang berlanjut pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, dan berkembang hingga di era digital saat ini. Prostitusi berkembang dengan berbagai cara dan model yang bervariasi seiring dengan perkembangan gaya hidup dan teknologi. Bahkan, di era digital seperti ini, bisnis gelap prostitusi semakin merajalela, akses para pelanggan terhadap forum forum perdagangan manusia jauh dipermudah, begitu juga bagi pelaku bisnis itu sendiri. Yatim dan Lola Wgner dalam bukunya yang berjudul Seksualitas di Pulau Bantam : Suatu Studi Antropologi (1997) menyebutkan bahwa bagi laki-laki yang belum mempunyai pasangan resmi atau tetap, keberadaan pelacur adalah sarana mempelajari gaya dan permainan seksual yang dilihat dan dibayangkan. Namun, bagi laki-laki yang mempunyai pasangan resmi maupun tetap, keberadaan pelacur dimanfaatkan sebagai sarana mempratekkan tindakan seksual yang selama ini tidak diperoleh dari pasangan resminya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa adanya perdagangan perempuan untuk prostitusi ini akan semakin sulit dihapuskan karena terus berkembangnya ideologi patriarki yang ada di kontruksi sosial kita. Penempatan perempuan yang hanya dilihat dari stereotip laki-laki yang mana dalam kasus ini sebagai objek pemuas nafsu belaka, melahirkan ketidakadilan gender yang akhirnya terus berlangsung. Rosaldo dalam bukunya yang berjudul Women, Culture and Society (1983) menyebutkan bahwa dalam masyarakat patriarkhal, perempuan selalu pada posisi ysng tersubordinasi di dalam kehidupan seksual. Perempuan disini tampak harus memenuhi segala macam standard yang ditentukan oleh laki-laki (atau oleh struktur yang menguntungkan laki-laki). Perdagangan perempuan sebagai alat prostitusi ini termasuk bentuk kekerasan terhadap perempuan yang didalangi oleh mekanisme ekonomi yang jelas merugikan perempuan. Truong dalam bukunya yang berjudul Seks, Uang, dan Kekuasaan Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara (1992) menyebutkan bahwa untuk trafficking, banyak kasus menunjukan bahwa kaum perempuan kerap kali terpaksa dan dipaksa masuk ke dalam prostitusi oleh suatu jaringan sindikat perdagangan perempuan dengan menggunakan beragam sarana, yang berkisar dari sekedar janji-janji muluk pekerjaan, perkawinan atau perbudakan terselubung dari cinta, loyalitas terhadap mucikari, sampai ke penculikan fisik dan penyekapan.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa faktor pendorong paling mendasar dari perdagangan perempuan yakni kebanyakan disebabkan oleh rekruitmen yang menggunakan unsur penipuan, bujukan, hingga ke tindak pemaksaan dan kekerasan. Yayan Sakti Suryandaru dalam artikelnya yang berjudul Hegemoni dan Reproduksi Kekuasaan dalam Perdagangan Perempuan (Trafficking) untuk Prostitusi yang dimuat dalam jurnal Th XIV, No 2, April (2001) menyatakan bahwa selain dijual sendiri oleh orang tua atau kerabat yang lebih tua, ada beberapa “modus operandi” untuk menjaring anak-anak di bawah umur untuk dijadikan PSK. Bahkan ketika di rumah bordil sekalipun, perempuan korban trafficking ini acapkali masih diancam atau dipaksa dengan kekerasan oleh para mucikari atau germonya untuk menonjolkan dorongan seksualnya (meskipun itu hanya kamuflase) ketika melayani pelanggannya. Kemiskinan, kerentanan ekonomi, dan rendahnya tingkat pendidikan dan edukasi seksual juga menjadi faktor esensial masuknya perempuan korban trafficking kedalam prostitusi.
Amilia Harum Dwi Ariani, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H