Lihat ke Halaman Asli

Amilatun Najikha

Mahasiswi Fisip di UIN Walisongo Semarang

Islam dalam Bingkai Pesta Demokrasi

Diperbarui: 18 Juni 2019   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Demokrasi adalah bentuk kenegaraan yang secara optimal menghormati manusia sebagai makhluk yang otonom dan sama derajatnya di publik. Demokrasi tidak berarti bahwa tidak ada elit yang berkuasa, melainkan adanya kaum elit yang berkuasa harus mempertanggung-jawabkan kepemimpinannya kepada masyarakat. Agama memegang peran penting dalam menjalankan kesadaran etis untuk menegakkan cita-cita demokrasi tetapi menyadari keterbatasan kemanusiaan umatnya (Suseno, 1992). 

Karena ajaran agama selain memberi perintah dan larangan agar umat manusia menegakkan akhlaq mulia juga memberi kedaulatan pada manusia untuk memilih. Apakah dia memilih bertaqwa untuk bisa menjadi sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah, atau meninggalkan tegaknya patokan etis dan normatif agama itu seluruhnya, untuk menjadi serendah-rendah makhluk ciptaan-Nya. Cita-cita demokrasi dengan semua kerangka etisnya hanya bisa dilaksanakan dalam konstelasi potensi dan keterbatasan manusia.

Demokrasi tetap bisa beriringan dengan Islam apabila masih mengikuti syarat esensi dan prinsip yang diperjuangkan untuk menegakkan hukum islam. Dinamika islam dalam perpolitikan Indonesia modern dapat dijelaskan dalam beberapa tampilan, diantaranya islam dan politik merupakan sebuah kesatuan yang saling terikat, dimana islam membutuhkan politik (negara) untuk menyebarkan kebaikan dan menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di sisi lain, negara juga membutuhkan nilai-nilai dalam mengawal pelaksanaan pemerintahannya terutama pada aspek moralitasnya. 

Hubungan antara Islam dan Demokrasi itu melalui pendekatan normatif dan empiris, dimana pendekatan normatif tujuannya ingin mengetahui apakah islam secara doktriner mendukung atau menentang demokrasi, pendapat para pemikir islam memahami makna demokrasi, dan mengenai prinsip-prinsip demokrasi bertentangan dengan islam atau tidak, sedangkan pendekatan empiris melihat pengalaman umat islam menjalankan kehidupan politik yang demokratis, prinsip-prinsip demokrasi ditolak atau diterima oleh kaum elite dan pendapat para pemimpin islam dalam mengambil keputusan-keputusan politik ditinjau dari perspektif demokrasi (Baidan, 2001, hal. 195).

Pada abad modern saat ini, khususnya di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, untuk mengangkat pemimpin (kepala negara) tidak lagi adanya bai'at seperti masa Nabi, karena itu harus melalui pencalonan oleh partai politik. 

Kemudian calon yang diajukan oleh parpol itulah yang dipilih oleh rakyat, baik secara langsung ataupun perwakilan. Sebelum berbagai parpol muncul, Al-Qur'an telah mengajarkan kepada umat manusia mengenai prinsip-prinsip dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, yang meliputi Adil, Jujur, Musyawarah, dan Toleransi. 

Dan seorang pemimpin harus memiliki 4 sifat tersebut, dimana setiap parpol diharuskan bersikap adil tanpa membeda-bedakan harkat dan martabat manusia di depan umum, dan sikap jujur telah diajarkan Nabi pula dahulu saat memimpin bangsa Arab, karena sikap jujur akan menuntun seseorang ke jalan yang benar sehingga menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari permusuhan dan perpecahan. 

Pentingnya musyawarah tentu telah tercantum dalam Al-Qur'an (Q.S Al-Baqarah: 233, Ali Imran: 159, al-Syura: 38). Apabila prinsip musyawarah itu diterapkan secara baik dan benar, maka kehadiran berbagai parpol yang beragam akan membangkitkan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka mewujudkan "Baldatum thoyyibatun wa Rabbun Ghafur" (Negara yang adil, maju, makmur, sentosa, dan sejahtera).

Melihat kegiatan Pemilu 17 April 2019 kemarin yang dilakukan serentak diberbagai daerah, dinilai kurang efektif dan efisien dalam pelaksanaan pemilu yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, karena menimbulkan berbagai macam permasalahan seperti konflik yang terus terjadi antara berbagai kepentingan kelompok maupun individu, pemborosan anggaran dalam penyelenggaraannya, maraknya politik uang, politasi birokrasi, tindakan curang beberapa daerah dalam manipulasi kertas pencoblosan, dan banyaknya isu SARA, hoax yang terjadi di media sosial terkait  pasangan capres-cawapres sehingga menyebabkan perpecahan antar masyarakat. Beberapa prasarana yang disediakan oleh KPU kurang representatif, seperti bahannya terbuat dari kardus dan terbukti sekarang menuai berbagai macam polemik (permasalahan) di kalangan masyarakat.

Kemudian melihat dari beberapa partai politik yang memang lebih cenderung membingkai islam dalam demokrasi bukan melainkan demokrasi yang dibingkai dengan Islam sehingga dampak yang ditimbulkan atas hal ini adalah ketika oknum yang bernaung pada partai politik tersebut tersandung masalah misal terjerat hutang ataupun korupsi, maka yang terkena imbasnya adalah agama. Sudah seharusnya mental atau karakter rakyat yang seperti ini harus dibenahi. 

Kondisi yang terjadi saat ini, yang ditantang oleh zaman ialah kepekaan umatnya dalam membaca kalam illahi dan semangat ajaran agamanya. Demokrasi termasuk tatanan kenegaraan yang beradab, yang menghargai otonomi dan kesamaan seluruh anggota masyarakat, demokrasi memungkinkan masyarakat yang pluralistik bersatu tanpa menumpas pluralisme (Supriyanto, 2004). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline