Lihat ke Halaman Asli

Melacak Akar Historis–Filosofis Konsep Rasionalisasi Hukum

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13868741091376411893

Judul Buku   : Ta’lil Ahkam; 'Ardh waTahlil li Thariqat al-Ta’lil wa Tathawwuratiha fi 'Ushur al-Ijtihad wa al-Taqlid Pengarang    : Ust.Muhammad Mushtafa Syalby Penerbit        : Dar al-Nahdhah al-’Arabiyyah Kota Terbit   : Beirut Tahun Terbit: 1401 H / 1981 M (Cetakan Kedua) Tebal Buku  : 419 Halaman Tak ada yang menyangkal, bahwa ajaran Islam tidaklah dibangun semata-mata berdasarkan tumpukan aturan dogmatis yang bersifat kaku. Bertaburnya sejumlah ayat al-Qur’an yang menekankan betapa pentingnya aktivitas berfikir (afala ta’qiluun !), menunjukkan betapa akal menempati posisi yang terhormat dalam Islam, melebihi agama-agama lain. Sebagai risalah terakhir, Islam mensyaratkan kewajiban menjalankan agama bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (taklif). Selain itu, umat Islam bersepakat, bahwa akal adalah sarana utama untuk memahami khitab Tuhan. Penghargaan yang sedemikian tinggi terhadap akal tidak lantas membiarkannya lepas berkelana tanpa batas, khususnya ketika berhadapan dengan ketentuan otoritas wahyu. Maka dari itu, adalah sebuah keniscayaan untuk merumuskan aturan main yang jelas bagi akal (rasio). Hal inilah yang tampaknya benar-benar disadari secara baik oleh para pakar metodologi hukum Islam (Usul Fikih), dan menjadi falsafah dasar dalam melahirkan sebuah konsep yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan istilah ta’lil ahkam (rasionalisasi hukum). Para penolak ide rasionalisasi, yang dalam hal ini dimotori oleh Ibnu Hazm dan para pengikut Madzhab Dzahiri (literalis), berusaha mengampanyekan bahwa upaya pencarian illat (kausa hukum) dibalik ketentuan nas adalah bentuk lain dari penyerahan otoritas tasyri’ kepada rasio. Dan hal itu sama saja dengan menerjang perintah Allah untuk mengembalikan segala perselisihan pendapat kepada dua sumber utama: al-Qur’an dan Hadis, tidak ke yang lain. Asumsi inilah yang lantas mengantarkan mereka secara ekstrem menolak qiyas, istihsan, serta istishlah, sebagai salah satu sumber dasar pencetusan hukum. Nah, kehadiran buku setebal empat ratus sembilan belas halaman ini, seakan hendak membantah tesis yang dibangun madzhab literalis di atas. Penulisnya, Muhammad Mushtafa Syalby,  secara baik merekam perkembangan konseprasionalisasi hukum (ta’lil ahkam) dalam bukunya yangberjudul lengkap Ta’lil Ahkam: 'Ard wa Tahlil li Thariqat al-Ta’lil wa Tathawwuratiha fi 'Ushur al-Ijtihad wa al-Taqlid (Rasionalisasi Hukum ; Analisa Metode Ta’lil dan Perkembangannya pada Era Ijtihad dan Taklid). Bagi Syalby, aktivitas rasionalisasi hukum adalah sebuah keniscayaan  yang selaras dengan jargon bahwa syariat Islam senantiasa relevan di setiap tempat dan waktu. Pakar Usul Fikih Universitas Alexandria ini berkesimpulan, bahwa kesadaran ta’lil sendiri  sejatinya telah berkembang sejak zaman awal-awal Islam. Hanya saja, wacana ta’lil ahkam baru bisa terangkum secara utuh, sebagai bangunan konsep yang tersusun sistematis, pada era para imam mujtahid dan disempurnakan oleh para muridnya di kemudian hari. Setelah menampilkan  sejumlah uslub (gaya bahasa) Ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi yang mengandung semangat ta’lil, Syalby lantas memetakanfase perkembangan ta’lil ahkam ke dalam tiga periode utama: (1) fase Sahabat; (2) fase Tabiin; dan (3) fase kodifikasi usul fikih. Para era Sahabat, konsep ta’lil bisa dianalisa dari sejumlah atsar yang merekam hal tersebut. Khalifah Umar ibn Khattab misalnya, memberhentikan alokasi zakat kepada golongan Muallaf Qulubuhum, dengan alasan bahwa nas perintah mengalokasikan harta zakat kepada mereka adalah didasarkan pada illat untuk memperbanyak jumlah pengikut umat Islam karena kuantitas pengikut Islam yang masih sedikit. Sedangkan di zaman Khalifah Umar, umat Islam telah kuat secara kuantitas, sehingga beliau memandang alokasi zakat bagi mereka ditiadakan. Keputusan Sayyidina Umar ini tidak lebih merupakan sebuah ijtihad dalam mengidentifikasi kausa hukum (tahqiqal-manath). Aktivitas penalaran terhadap ta'lil ahkam semakin meluas di era Tabiin bersamaan dengan meluasnya wilayah teritorial Daulah Islamiyah. Hal tersebut bisa ditilik, salah satunya, melalui fenonema yang terjadi di Kufah (Irak). Letak geografis Kufah yang berada jauh dengan Hijaz, berimplikasi pada minimnya 'stok' hadis yang sampai ke sana. Itulah sebabnya, aktivitas ijtihad ulama di Kufah lebih didominasi pada penalaran dan rasionalisasi teks–teks agama. Sebagaimana bisa kita lihat dalam masalah memprioritaskan qiyas terhadap hadis ahad. Karenanya, Irak lantas menjadi basis intelektual madrasah ra’yi (rasionalis); sebuah metode penalaran hukum yang kemudian berkembang di tangan seorang imam agung: Abu Hanifah, pendiri madzhab hanafi. Selepas era Tabiin, atau yang disebut Syalby sebagai fase kodifikasi usul fikih ('ashr ta’lifal-ushul), wacana ta’lil ahkam memasuki babak baru. Tampilnya sekte Muktazilah di atas panggung teologi Islam memberikan warna baru bagi konseptualisasi ta’lil ahkam, yang sama sekali tak terdapat pada era sebelumnya. Artinya, jika sebelumnya isu ta’lil ahkam hanya digelindingkan dalam ruang diskusi hukum an sich, maka memasuki era ini, perbincangan ta’lil mulai ‘terkontaminasi’ dengan isu akidah. Hal demikian berangkat dari perdebatan sengit antara Muktazilah versus Asy’ariyah dalam sebuah permasalahan: Apakah perbuatan Allah dimotivasi oleh alasan tertentu (Hal Af’alu-Allah Mu’allalah am La)? Akibatnya, tutur  Syalby, diskusi rasionalisasi hukum nyaris tak bisa dipisahkan dari diskursus akidah. Maka yang terjadi selanjutnya, sebagai contoh, perdebatan panjang mengenai status illat ; Apakah ia berposisi sebagai sekedar penanda (mu'arrif/sign), atau hal yang berpengaruh (mu’atsir/stimulus) dalam penentuan sebuah hukum?. Jika dikatakan mu'atsir, apakah pengaruh tersebut muncul dari substansi sebuah illat itu sendiri (mu'atsir fidzatih), ataukah muncul karena kehendak Allah (mu'atsir bi idznillah). Perdebatan teologis semacam ini bisa kita jumpai dengan sangat mudah di hampir seluruh literatur Usul Fikih, khususnya yang ditulis dengan pendekatan metode mutakallimin (teolog). Selain itu, di fase ini pula, konseptualisasi ta’lil semakin matang. Kematangan tersebut ditandai dengan dikukuhkannya metode penelitian kausa hukum (Masalik al-‘Illat), serta standarisasi dalam menyeleksi keabsahan sebuah illat. Salah satu karya yang ditulis secara spesifik dalam bidang ini adalah Syifaul Ghalil fi Bayani Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, karya Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali. Satu hal yang menarik dari buku ini, bahwa penulisnya tak hanya menyajikan analisa kritis melalui kacamata sejarah, melainkan juga berhasil membawa pembaca ke dalam ranah yang lebih filosofis dari konseptualisasi ta’lil ahkam. Ia mencoba menjawab sejumlah pertanyaan-pertanyaan krusial yang mungkin belum terjawab secara tuntas dalam literatur usul fikih klasik, khususnya dalam pembahasan Bab Qiyas(pembahasan analogi). Misalnya, apakah landasan filosofis yang memincu perdebatan ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah dalam hal keabsahan status illat qashirah ?, sejauh manakah teori naqdh memiliki pengaruh dalam menganulir illat yang telah memenuhi standarisasi?, serta pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak mungkin disebut satu-persatu dalam resensi sederhana ini. Di bab akhir, yang merupakan intisari dari buku ini, Syalby berupaya mengurai benang kusut terkait terminologi maslahah, mulai dari pengertian, klasifikasi, hingga bagaimana sikap umat Islam dari generasi ke generasi memposisikannya sebagai poros penting dalam dinamika pencetusan hukum Islam. Tak lupa, ia juga menyinggung pro kontra yang terjadi antara mainstream ulama dengan pakar hukum terkemuka dari madzhab Hambali: Imam Najmuddinal-Thufi. Sebagai penutup risalah ilmiah yang berhasil mendapat gelar cumlaude(imtiyaz) di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar tahun 1945 ini, Syalby mengurai salah satu dalil yang statusnya masih diperselisihkan (al-mukhtalaffiha), yaitu istihsan. Dengan berbagai argumen dan data-data primer lintas madzhab, ia akhirnya berkesimpulan bahwa perbedaan yang terjadi hanyalah perbedaan literal (lafdzi) saja, dan sama sekali tak menyentuh ranah substansi (ma’nawi). Walhasil, buku ini adalah salah satu referensi penting yang pernah dilahirkan dalam sejarah kajian metodologi hukum Islam. Bagi yang saat ini bergelut dengan kajian Usul Fikih, tak berlebihan jika dikatakan bahwa buku ini adalah salah satu  santapan bergizi, khususnya dalam membantu menghidangkan teori-teori ta’lil dalam lanskapnya yang lebih segar dan menjanjikan. Apalagi, urgensitas rasionalisasi hukum di era modern ini semakin menemukan relevansinya, seiring dengan gencarnya tuduhan yang dilancarkan oleh musuh Islam: bahwa syariat Islam adalah sekumpulan aturan dogmatis yang tak memiliki koherensi sama sekali dengan kemashlatan manusia. Tentu kita meyakini, bahwa Islam tidaklah diturunkan untuk menjadi musuh akal sehat. Syariat dan akal adalah dua entitas yang saling bersinergi. Klaim  bahwa syariat Islam relevan di segala tempat dan masa, akan senantiasa menuntut nalar akal untuk memainkan perannya secara maksimal, khususnya dalam menyingkap spirit tabir wahyu ilahi. Pun sebaliknya, mengebiri peran akal dalam aktivitas ijtihad, tak lain dan tak bukan adalah bentuk lain dari pembunuhan terhadap ruh syariat itu sendiri. Wallahu A’lam bis-Shawab. [Dzul Fahmi] Bagi yang berminat, kitabnya bisa di download di link berikut : http://majles.alukah.net/t53692/ http://www.almanhaj.com/vb/showthread.php?t=27455

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline