Lihat ke Halaman Asli

Sirnanya Wibawa & Kharisma Pemimpin

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seberapa bahayakah kalau para pemimpin sebuah negara sudah kehilangan wibawa dan kharisma? Sangat membahayakan, sebab rakyat yang dipimpinnya bakal melakukan perlawanan dan tidak patuh pada petuah para pemimpin. Kalau pemimpin tersebut hanya pemimpin kampung, dampak perlawanan rakyat hanya berkisar kampung saja. Namun kala pemimpin tersebut berada pada tingkat nasional, misalkan menjabat sebagai presiden, celakalah penduduk satu negara.

Pemimpin harus mempunyai wibawa dan kharisma. Dalam termilologi dunia kepemimpinan, wibawa dapat disepadankan dengan kata kharisma. Hanya perbedaannya, wibawa lebih berhubungan dengan kecakapan (intelektualitas) dan ketegasan (disiplin). Sedangkan kharisma lebih bersinggungan dengan persoalan daya tarik spiritual atau kemenarikan seseorang dari sudut pandang rohaniah. Prasyarat mutlak seorang pemimpin yang ideal yakni bisa mengawinkan antara sifat berwibawa dan kharismatik. Dua sifat (karakter) tersebut menjadi modal penting bagi setiap orang yang ingin sukses menjadi pemimpin.

Sirnanya wibawa pemimpin telah menjadikan para penguasa negara beralih profesi menjadi pengusaha. Dalam konteks ini, para penguasa negara mengabdikan kemampuan mereka demi meraup pendapatan pribadi sebanyak-banyaknya. Layaknya para pengusaha yang bekerja keras mengeruk keuntungan termaksimal. Modus kepemimpinan seperti itu menjadikan mentalitas para penguasa negara tingkat eksekutif, yudikatif dan legislatif menjadi tamak, rakus dan koruptif. Mereka gampang terbujuk rayu dengan berbagai gelimang harta dan kemegahan duniawi yang sekilas tampak memanjakan manusia. Meskipun risikonya mereka harus berani mengorbankan kepentingan rakyatnya.

Menjadi penguasa atau pemimpin itu gampang. Lebih sulit menjadi pemimpin yang memiliki wibawa dan kharisma. Keduanya saling melekat. Pemimpin yang berkharisma saja, menjadi gampang ditipu dan diperdayai. Menjadi pemimpin yang berwibawa saja, pun mudah dibujuk rayu melakukan berbagai kejahatan dan praktik penyalahgunaan kekuasaan.

Menjadi penguasa atau pemimpin itu memang nikmat dan enak. Nikmat karena ia bisa berkuasa dan memiliki bawahan yang bisa sewaktu-waktu ia perintahkan mengerjakan segala kehendaknya. Nikmat, sebab pemimpin bisa menikmati berbagai fasilitas negara, gaji yang jumlahnya besar dan kenikmatan hidup lainnya. Menjadi enak karena peluang mendapatkan perlakuan khusus dari berbagai kalangan, menjadikan dirinya menjadi istimewa. Enak juga karena alasan popularitas. Para pemimpin akan dikenang sepanjang sejarah oleh masyarakat.

Itulah kenapa banyak orang yang berambisi menduduki jabatan sebagai pemimpin. Akan tetapi di balik kenikmatan dan keenakan sebagai pemimpin, juga menyangga beban berat yang berupa kewajiban dalam memikirkan berbagai permasalahan yang membelit seluruh rakyat yang dipimpinnya. Para pemimpin harus selalu siap berkorban diri demi kesejahteraan dan keamanan rakyatnya. Jelas itu tugas dan kewajiban berat yang harus dilaksanakan. Setiap ketidaknyamanan dan ketidakberesan hidup penduduk menjadi kesalahan pemimpin yang harus ditebus dengan pengabdian hidup yang total.

Korupsi, seperti yang masih marak di Indonesia, disebabkan sirnanya kewibawaan dan kharisma dari para pemimpin bangsa ini. Triliunan rupiah uang rakyat yang habis dikorupsi dan dimanipulasi oleh para pejabat negara yang koruptif. Tipologi pemimpin seperti ini yang menggejala di Tanah Air. Sehingga menyebabkan beragam keterpurukan dalam berbagai bidang kehidupan.

Apakah negara yang menganut sistem pemerintahan yang mengedepankan demokrasi menjamin bangsa tersebut memiliki pemimpin yang berwibawa dan kharismatik? Pertanyaan serupa juga amat pantas dikemukakan di sini, apakah negara yang memakai sistem pemerintah yang mengadopsi kerajaan (monarkhi) mustahil melahirkan pemimpin yang jujur, amanah, berwibawa dan kharismatik?

Apakah negara komunis, liberalis juga bisa menggaransi untuk melahirkan para pemimpin yang amanah, berwibawa dan punya daya kharisma? Jawabannya sederhana saja. Bahwa bukan masalah sistem pemerintahan yang manakah yang diadopsi oleh sebuah bangsa yang menjadikan para pemimpin berwibawa atau berkharisma, atau justru sebaliknya. Melainkan lebih pada sikap mental dan kejujuran para pemimpin dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apakah di negara komunis seperti China tidak ada pemimpin yang berwibawa dan berkharisma di mata rakyatnya, bahkan dunia? Apakah di negara demokrasi sedemokratis Amerika Serikat tidak ada pemimpin yang berwatak koruptif? Apakah di negara yang mengedepankan nilai-nilai syariah Islam, tidak memungkinkan munculnya pemimpin oportunis yang suka korupsi? Semuanya tergantung pada kualitas karakter masing-masing pemimpin di negara bersangkutan, tidak peduli sistem pemerintahan dan keyakinan (teologis) yang mana mereka anut.

Hemat penulis, Amerika Serikat tidak perlu berkoar-koar mengharuskan seluruh bangsa ini memakai sistem demokrasi dalam mengatur ranah kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Atau China juga tidak usah terlalu fanatik dalam mempropagandakan program komunisme Internasional-nya (sosialisme) ke seluruh jagat raya. Yang perlu digiatkan justru masalah kejujuran mental. Bagaimana seharusnya setiap orang itu mesti hidup dan beraktualisasi diri di dunia ini.

Indonesia, secara takdiriyah memang menjadi basis penduduk yang memeluk agama Muslim. Dan menomorsatukan sistem demokrasi dalam pengambilan setiap pengambilan keputusan dalam kehidupan kenegaraan. Tetapi jika ternyata dari Indonesia lah terlahir banyak pemimpin yang koruptif, kita pantas menyalahkan siapakah? Apakah relevan menyalahkan sistem dan nilai-nilai kebenaran yang dianut oleh sebagian besar penduduk? Tidak, semuanya kembali pada kualitas kejujuran dan mentalitas dari setiap penduduk bangsa ini. Terlepas dari ikatan apakah seseorang menganut jenis keyakinan yang mana, sistem pemerintahan apa, model negara yang mana, dan sistem perekonomian yang manakah yang dijadikan pilar bangsa, kita harus mengedepankan masalah kejujuran dan mentalitas kita masing-masing.

Pemimpin tidak berwibawa dan tidak kharismatik, akan melahirkan rakyat yang antipemimpin dan antikekuasaan. Dan Indonesia sedang berada di ambang jalan tersebut. Kalau tidak segera dihentikan, proses perusakan internal kehidupan bangsa ini oleh para pemimpin sendiri akan terus menghancurkan nasib bangsa. Rakyat yang sengsara. Para pemimpinnya juga bersiap hidup dalam jurang kehinaan dan kehampaan spiritual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline