Lihat ke Halaman Asli

Pada Suatu Petang

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Prolog

...............

Kau menunduk, mengamati ujung sepatumu, barang kali kau berharap kedua matamu bisa menembus isi sepatumu, dan akhirnya kau bisa melihat ujung jemari kakimu. Cukup lama kau tertunduk dan matamu hanya tertuju pada ujung sepatumu saja, tidak yang lain. Sepatu berwarna hitam pemberian seseorang, tapi kali ini kau masih tidak ingin mengingat nama Si Pemberi itu, kan?

Kau pun mendengar irama detak jantungmu yang beradu dengan naik turunnya diagfragma dadamu. Yah...nafasmu tersengal, terengah-engah kau benapas. Tetapi, kau pribadi yang sangat tenang. Kali ini kau pejamkan kedua matamu, kau tidak lagi menunduk. sambil mendengar irama jantungmu yang tidak beraturan, juga nafasmu yang tersengal, kau berusaha untuk memulai menentramkan hatimu yang perih. Sekarang kau biarkan angin menerpa seluruh permukaan kulitmu, yah..meski kau tau, kau akan gampang sekali masuk angin. Sekarang tubuhmu pun semakin rapuh. Seperti hari ini, rapuh, katamu!.

Kau berharap ada angin yang mampu menembus melalu celah pori-porimu, menerobos di setiap lapisan kulitmu, dan akhirnya menyeruap ke jantungmu, mendinginkan semua amarah yang masih..masih..sedang berusaha untuk kau tahan.

Lama kau berdiri memejamkan matamu, ketika detak jantungmu tidak lagi beraturan, kau membuka kedua matamu. Terpaan angin yang kencang juga butir-butir debu merambah matamu, ada pula yang berhasil lolos memasuki jalur pernapasanmu.

Sekarang kau memilih duduk, menyandarkan bahumu pada tubir dinding, kau biarkan kakimu terjulur. Kau goyangkan kedua kakimu tak beraturan, berusaha mengikuti irama jantungmu, kau berharap kepalamu tidak mengajak mengingat apa saja yang sudah kau alamai beberapa menit yang lalu di ruang itu, ketika kau berjumpa para petinggi itu, yang sekarang pun kau berusaha melupakan mereka, sedang berusaha, tapi haruskan di lupakan?. Kau berharap memorimu, atau kau memaksa memorimu tidak mengingat mereka lagi. Apa kau berharap untuk bagian ini?

Kau sebenanya ingin di puncak gunung sekarang, memandang luas awan, juga hijau yang membentang, udara dingin yang segar dan tentunya Senja yang selalu menawan, begitu, kan? Tapi sayangnya kau tidak sedang di puncak gunung, kau sedang di atas gedung, di puncak tertingginya. yang entah karena apa kau memutuskan berlari sekencang-kencangnya mendaki tiap anak tangga yang kau lewati, akhirnya napasmu pun tesengal, tak beraturan.

Semua sudah hancur sekarang, dan..air bening yang bermukim di kelopak matamu pun mulai meluncur, pelan-pelan mengairi kedua pipimu, seperti parit kecil. tapi kau tidak merasakannya.

Lagi-lagi kau bilang, semua sudah hancur sekarang, ada rasa sakit yang tak bisa kau jelaskan yang dari mana datangnya, yang kau sadari semua yang kau bangun sudah hancur, kau menganggapnya demikian, hancur, tidak bersisa dan air matapun turut serta mendramatisasi semua.

Tetapi, tunggu..bukannya kau masih punya sedikit kebahagiaan? benar tidak? hanya sedikit sih..yahh..kau masih punya, meskipun sedikit bukannya kau sangat..sangat sekali menyukainya? dan kau bilang sudah cukup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline