Lihat ke Halaman Asli

Evakuasi dari Tripoli: Kisah Pengungsian Tak Terlupakan Setahun Lalu..

Diperbarui: 25 Juni 2015   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1330157957119940393

Tepat setahun yang lalu kisah evakuasi yang penuh cerita itu di mulai. Evakuasi dari Tripoli yang saat itu sebenarnya adem ayem, belum bergejolak seperti yang diberitakan media saat itu. Kisah yang saya tulis ini berdasarkan cerita suami, di evakuasi keluar dari Tripoli dan pernah saya tulis di sini. Tapi saat itu cerita perjalanan selanjutnya tidak sempat saya tulis. Sekarang setelah setahun berselang saya akan menuliskan bagaimana perjalanan selanjutnya setelah keluar dari Tripoli. Walaupun saya bukan pelaku dalam cerita ini, tapi karena kontak psikologis yang kuat membuat saya merasa ikut dalam perjalanan itu. Dan kisah ini bukanlah kisah dramatis, tapi kisah ini adalah kisah yang tidak mungkin kami lupakan sepanjang hidup kami, karena inilah yang membuat kami akhirnya terdampar di Kairo saat ini.

Setelah terombang ambing di pelabuhan Tripoli selama 3 hari 2 malam karena ombak laut yang kurang bersahabat untuk berlayar, akhirnya kapal sejenis ferry cepat, yang membawanya beserta sekitar 300 orang termasuk beberapa anak-anak itu meninggalkan pelabuhan Tripoli. Cuaca saat itu sebenarnya masih belum cukup dikatakan membaik. Tinggi ombak masih sekitar 3 meter-an, tapi lebih baik dari sebelumnya yang mencapai 6 meter. Perjalanan di mulai selepas dzuhur sekitar jam 13.00 siang waktu Tripoli setelah makan siang. Diperkirakan perjalanan menuju Malta, sebuah pulau kecil di laut Mediterania di sekitar wilayah Yunani memakan waktu sekitar 10 jam. Tidak ada persiapan visa schengen sebagai salah satu syarat untuk masuk wilayah Eropa saat itu. Sempat ada kekhawatiran juga, gimana bisa masuk ke Malta yang masuk wilayah Eropa tanpa visa.

[caption id="attachment_165037" align="aligncenter" width="494" caption="Bersama pengungsi lainnya di dalam Pelabuhan Tripoli (23 Februari 2011)"][/caption] [caption id="attachment_165038" align="aligncenter" width="483" caption="Di atas kapal bersama beberapa WNI, yang masih bersandar di pelabuhan. Penumpang tidak boleh keluar kapal karena paspor sudah distempel keluar dari Libya oleh imigrasi. (25 Februari 2011)"]

1330158073938399482

[/caption]

Awalnya kapal berjalan tenang, orang-orang yang berada di dalamnya masih bisa berjalan-jalan dan sebagian menikmati pemandangan laut. Setelah sekitar 1 jam meninggalkan pelabuhan, tingginya ombak semakin terasa. Kapal berlayar tak lagi tenang. Beberapa orang sudah mulai tidak tahan dengan kondisi ini, ya mabuk laut. Akhirnya satu persatu orang dalam kapal itu kecuali awak kapal tentunya mengalami yang namanya mabuk laut. Hanya satu orang penumpang kapal yang tidak mengalaminya karena kebetulan dia pernah menjadi pelaut. Mungkin kondisi seperti ini biasa dia alami sehingga dia menjadi kebal. Suami sendiri mengalami 5 kali muntah selama dalam perjalanan. Itu pun menurutnya setelah 5 jam perjalanan, karena saat berangkat dia tidak makan siang, hanya pisang yang dimakannya. Berjalan menuju toilet saja sudah tidak bisa dilakukan lagi karena goyangan ombak membuat kapal tidak bisa stabil. Jika ingin ke toilet harus dengan merangkak, agar tidak jatuh. Selama 10 jam itu tidak ada seorangpun bisa tidur dengan nyenyak dan tidak pula ada yang sanggup ngobrol karena sudah tidak bertenaga.

1 jam lebih lambat dari perkiraan akhirnya kapal merapat di sebuah pulau. Sampai di pulau itu sekitar jam 3 dinihari. Menurut ceritanya, melihat pulau itu dia merasa seperti bermimpi, karena kondisi pulau seperti sebuah kota jaman Romawi kuno. Pulau itu terdiri dari bebatuan, dan lampu-lampunya kuning remang-remang. Setelah kapal bersandar, penumpang dalam kapal di sambut bak pahlawan pulang dari medan tempur. Salah satu stasiun televisi yang meliput waktu itu adalah  BBC. Saat turun dari kapal, masing-masing penumpang dibekali simcard salah satu provider telepon seluler (vodafone), diberikan visa schengen, dan diantar ke hotel. Saat tiba di hotel, lalu di data ke negara mana tujuan selanjutnya untuk di berikan tiket pesawat sesuai tujuan. Ada waktu selama 2 hari untuk beristirahat di Malta yang menurut dia adalah pulau yang cantik dan eksotis.

[caption id="attachment_165033" align="aligncenter" width="513" caption="Salah satu sudut kota Valetta di Malta"]

13301570191970410694

[/caption]

Pepatah sengsara membawa nikmat, mungkin menjadi benar adanya saat itu. Sengsara karena meninggalkan pekerjaan di Tripoli dengan terpaksa lalu menuju tempat pengungsian dengan kondisi cuaca yang kurang menguntungkan.  Tapi setelah "kesengsaraan" dilewati, mengungsi di sebuah pulau cantik yang sebenarnya jauh dari angan-angan bisa disebut "kenikmatannya". Gratis pula hehehe.... 2 hari di pulau itu dimanfaatkannya dan teman-temannya sesama pengungsi jalan-jalan menikmati keindahan Malta.

Setelah 2 Hari di Malta, dia dan beberapa teman dari Indonesia dan dari beberapa negara lain diterbangkan menuju Paris, Perancis dengan menumpang pesawat carter perusahaan. Perjalanan ke Paris, Perancis menempuh waktu sekitar 3 jam. Kisah pengungsian yang menyenangkan itu rupanya belum berakhir. Ternyata dari Paris, tidak langsung menuju Jakarta, ada waktu 24 jam di Paris. Lagi-lagi menginap di hotel, dan waktu istirahat bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan menikmati Paris, dan gratis. Setelah 24 jam di Paris, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

[caption id="attachment_165036" align="aligncenter" width="411" caption="Mengungsi ke Paris "]

13301571731419182389

[/caption]

Rangkaian perjalanan penuh cerita dari mulai terombang-ambing di pelabuhan Tripoli, mengarungi laut Mediterania yang cukup ganas, terdampar di Malta lalu memanjakan mata melihat indahnya Paris rasanya mengandung hikmah yang cukup besar. Kebahagiaan itu tiba di saat yang tepat. Besusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian.

Gagal untuk pindah ke Tripoli karena visa yang tak kunjung beres saat itu, membuat saya berpikir bahwa saya dan anak-anak memang tidak ditakdirkan untuk tinggal di negara itu karena akhirnya perang tak membuat Tripoli aman terutama untuk tinggal di sana bersama keluarga. Beberapa bulan setelah itu ada kabar bahwa suami dipindahkan ke Kairo, Mesir. Urusan visa  untuk keluarga tidak serumit saat di Tripoli dulu sehingga 1 bulan setelah suami saya pindah kami berempat dapat segera menyusul. Dan di sinilah kami sekarang tinggal, di negeri 1000 menara. Negeri yang sebelumnya memang sempat ada dalam mimpi kami. Dan Tripoli menjadi bagian dari sejarah hidup kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline