Bila dicermati, ternyata sebagaian besar anak negeri, memang tidak mudah mempertahankan keprofesionalan dengan semakin banyaknya kebutuhan ditambah godaan gaya hidup yang serba glamor dan hedonis.
Apalagi, saat ini anak negeri ini sedang dihadapkan masa sulit, tidak sedikit anak negeri ini yang tergolong kelas menengah sudah "makan tabungan" dan menahan kebutuhannya, karena pendapatan mereka stagnan bahkan cendrung turun.
Di tengah gencarnya godaan tersebut, tidak heran jika keprofesionalan seseorang mulai luntur, cuan/uang mulai memegang peranan penting, cuan "Di-dewakan" atau "Di-Tuhankan". Seakan dengan tidak memiliki cuan yang banyak, hidup terasa hampa, harga diri "terkikis" dan seterusnya.
Kemudian dalam keilmuan, terkadang nilai keprofesionalan ini "menyusut". Bila hendak mentrasnfer ilmu yang kita miliki, biasanya kita mulai menghitung-hitung berapa cuan yang akan diperoleh, apakah dengan mentransfer ilmu tersebut, saya akan memperoleh cuan.
Dinamika yang Berkembang.
Bila disimak, tidak sedikit anak negeri ini yang menahan dan menghentikan kegiatan yang bernilai keilmuan karena mereka merasa tidak ada cuan-nya, keprofesionalan menjadi taruhan, karena mereka mulai merasakan bahwa selama ini biasanya, apabila ia melakukan kegiatan bernilai keilmuan tersebut akan memperoleh cuan.
Misalnya saja, kasus yang terjadi baru-baru ini, mengenai fenomena pemberian gelar doktor honoris causa (HC) pada beberapa anak negeri ini. Lembaga pemberi, kental dengan perhitungan atas cuan yang ia akan peroleh dari penerima gelar. Penerima gelar menyanggupi untuk merogoh "kocek" alias "kantong" untuk mengeluarkan cuan yang tidak kecil. Ini sudah hukum alam, saya tidak berani menggunakan kata sunatullah, takut salah.
Fenomena tersebut, saat ini ternyata tidak hanya berlaku pada fenomena ini saja, ternyata terjadi juga pada fenomena untuk meraih gelar jabatan fungsional akademik (profesor atau lektor kepala). Misalnya, dalam Perguruan Tinggi (PT), seorang pencerdas bangsa (baca:dosen) harus mengeluarkan cuan yang tidak kecil untuk memperoleh gelar jabatan fungsional akademik (profesor atau lektor kepala), karena untuk memenuhi persyaratan yang harus mereka penuhi, menuntut mereka untuk mengeluarkan cuan yang tidak kecil.
Mereka harus mengeluarkan cuan untuk dapat dimuat pada jurnal yang disyaratkan, misalnya jurnal Scopus. Mereka harus mengeluarkan cuan karena ada biaya ilegal (illegal cost) yang sering timbul, belum lagi biaya akibat beberapa kesempatan yang hilang (opportunity cost), karena mulai pengurusan sampai terbitnya SK membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Sebagai contoh, berdasarkan informasi, disinyalir untuk menerbitkan beberapa artikel kedalam suatu jurnal internasional saja, yang disyaratkan untuk dapat memperoleh gelar jabatan fungsional akademik (profesor) tersebut, kita harus mengeluarkan cuan berkisar pada angka puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Suatu angka angka yang tidak kecil, dan suatu fenomena yang sepertinya bertentangan dengan pengembangan keilmuan.