Lihat ke Halaman Asli

Amidi

TERVERIFIKASI

bidang Ekonomi

Mengapa Fenomena "Makan Tabungan" dan Menahan Konsumsi Makin Marak?

Diperbarui: 30 Juni 2024   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI "makan tabungan" dan menahan konsumsi | SHUTTERSTOCK/EGGEEGG via Kompas.com

Kini pasar cenrung sepi, dan "kegairahan" pelaku bisnis dalam melakoni unit bisnisnya mulai menurun. Kondisi ini hampir dialami oleh semua daerah yang ada di negeri ini.  

Fenomena tersebut terjadi, karena masyarakat yang tergolong kelas (ekonomi) menengah terlebih kelas (ekonomi) bawah beberapa tahun terakhir sudah mengurangi  konsumsinya, karena pendapatan mereka tergerus dan atau turun. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan atau untuk melakukan konsumsi, mereka terpaksa "mengorek tabungan" atau "makan tabungan"

Bila disimak tidak sedikit masyarakat yang tergolong kelas memengah bawah dalam memenuhi kebutuhan atau melakukan konsumsi dengan "makan tabungan". Kemudian tidak sedikit pula masyarakat yang mengurangi konsumsi dan atau menahan konsumsi karena tidak memiliki cuan yang cukup.

Pendapatan Turun.

Pendapatan turun yang menyebabkan masyarakat "makan tabungan" tersebut sudah berlangsung dua tahun terakhir ini. Mandiri Spending Index (MSI) mencatat tren masyarakat kelas menegah bawah "makan tabungan" sudah terjadi  sejak April 2023 dan masih akan berlanjut hingga tahun 2024 (Infobanknews.com, 20 Desember 2024)

CNBCIndonesia.com, 7 Juni 2024, menyitir pernyataan Ekonomi UI Telisa Falianty, memang dari data makro ekonomi Indonesia masih cukup kuat. Namun jika ditilik lebih mendalam ternyata terdapat ketimpangan antar kelas masyarakat. Kondisi guncangan ekonomi  paling berdampak pada tekanan daya beli kelas menengah bawah, padahal kelompok ini merupakan penggerak ekonomi domestik terbesar.

Semua kelas masyarakat Indonesia mengalami penurunan kondisi penghasilan terutama kelas menengah  bawah. Berdasarkan hasil survei, kelas menengah bawah yang memiliki penghasilan Rp. 2,1 juta hingga Rp. 4 juta per bulan, mencatat penurunan indeks penghasilan saat ini paling tajam, pada Mei yaitu hingga 8 poin. Sementara kelompok di bawahnya, penghasilan Rp. 1 juta -- Rp. 2 juta, tergerus tipis. Sedangkan konsumen dengan pengeluaran di atas Rp. 4 juta  dan di atas Rp. 5 juta, juga turun 1,4 poin dan 4,4 poin (bloomberg Technoz, 10 Juni 2024)

Pendapatan masyarakat mengalami penurunan tersebut, sebenarnya mulai terjadi pada saat pandemi dan terus bertahan sampai saat ini. Tidak sedikit pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan atau diberhentikan sepihak pada tempat mereka bekerja dengan alasan tidak mampu lagi membayar gaji/honor. Kemudian, bagi masyarakat yang memperoleh pendapatan dari melakukan bisnis, bisnisnya stagnan dan turunnya permintaan atau daya beli, sehingga menyebabkan pendapatan mereka  ikut menurun.

Tidak hanya itu, turunnya pendapatan masyarakat juga disebabkan oleh adanya kecendrungan harga-harga terus naik, ditambah adanya beban yang tidak kecil yang harus mereka pikul. Beban potongan ini dan itu, potongan pajak (PPh), adanya kenaikan PPN, adanya potongan Tapera akhir-akhir ini dan katanya sebentar lagi akan ada pula potongan kepemilikan tanah bagi pekerja. Dengan demikian,  pendapatan masyarakat mengecil dan atau secara riil pendapatan masyarakar turun.

Contoh Beban Nyata Saja.

Dalam fenomena yang ada, kita bisa menyimak apa yang dirasakan saudara kita dan bahkan kita bisa merasakan sendiri  betapa "berat"nya menghadapi kondisi saat ini.

Contoh sederhana dalam satu keluarga dengan lima anggota keluarga (ibu, ayah dan tiga anak), dalam keluarga tersebut hanya sang ayah yang mencari nafkah atau bekerja. Sang ayah bekerja dengan pendapatan lebih kurang Rp. 5 juta per bulan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline